Peristiwa Sanggau ledo adalah sebuah konflik etnis yang melibatkan suku Dayak dengan suku Madura yang terjadi di Sanggau Ledo (sekarang masuk Kabupaten Bengkayang), provinsi Kalimantan Barat pada bulan Desember 1996 hingga Januari 1997.[1]

Kronologi

Kerusuhan terbesar dan terluas terjadi akhir tahun 1996 yang dimulai di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas. Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut bermula dari kejadian sepele: "senggolan dangdut".

Awalnya, menjelang tahun baru 1997, ada pertunjukan musik dangdut untuk merayakan sebuah resepsi perkawinan di Pasar Ledo. Anak muda dari beberapa kecamatan, termasuk dari Sanggau Ledo yang bertaut sekitar 30 kilometer, pun ramai-ramai bertandang.

Di antara keremangan Minggu malam 29 Desember itu, ketika anak-anak muda tersebut asyik berjoget, dua pemuda tuan rumah menyenggol seorang wanita yang dibawa pemuda Sanggau Ledo. Tak senang kawan wanitanya disenggol, sekelompok pemuda dari Sanggau Ledo melabrak. Mereka kemudian mengeroyok kedua pemuda tadi. Di antara pengeroyok, tiba-tiba ada yang menghunus senjata tajam, lalu tubuh kedua pemuda itu bergantian rebah bersimbah darah. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit Bethesda di Kecamatan Samalantan, tak jauh dari sana.

Lantas saja tersiar kabar, kedua pemuda setempat suku Dayak itu mati dalam perjalanan. "Padahal mereka masih dirawat di rumah sakit," kata Kolonel Zainuri Hasyim --waktu itu Komandan Korem Kalimantan Barat--. Namun desas-desus telanjur menyebar.

Esoknya, 30 Desember, ratusan warga Ledo menyerbu Kecamatan Sanggau Ledo. Orang-orang Sanggau Ledo menyongsong. Maka tawuran massal tak terhindarkan di kampung yang berjarak sekitar 250 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, tersebut.

Warga Sanggau Ledo asal Madura yang diserang tak mampu menahan. Maka sekitar 800 warga Sanggau Ledo diungsikan ke Pangkalan Udara Supadio II, yang terletak di kota kecamatan tersebut. Sekitar 200 warga lain diungsikan ke asrama Kompi C di Batalyon 641/Beruang Hitam di Singkawang, sekitar 120 kilometer dari Ledo.

Penyerbuan tak berlangsung sekali, pada tanggal 1 Januari, massa malah mengepung Pangkalan Udara Supadio II, yang telah menjadi kamp pengungsi itu. Untung mereka berhasil dihalau satuan Brimob dan pasukan Beruang Hitam. Berangsur-angsur pengungsi dari Supadio ini diangkut ke Asrama Haji Pontianak dengan lima pesawat Cassa milik TNI Angkatan Udara.

Kerusuhan tak berhenti di kampung kecil yang letaknya tak jauh dari perbatasan negeri Serawak, Malaysia Timur, tersebut. Beberapa penduduk asal Madura yang tinggal di kecamatan tetangga, seperti Ledo, Bengkayang, dan Samalantan, juga terpaksa mengungsi. Hingga 2 Januari 1997, empat hari setelah Kerusuhan Sanggau Ledo, sekitar 4.000 orang telah "hijrah" ke Singkawang. Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang berkantor di Balikpapan, Kalimantan Timur, datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan pasukan tambahan.

Kerusuhan mulai bisa ditanggulangi. Bersama pimpinan daerah Kalimantan Barat, tepat di hari tahun baru itu, Pangdam menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh Dayak dan Madura di Singkawang. "Kedua belah pihak telah bersedia membantu aparatur keamanan untuk menenangkan situasi," ujar Namoeri Anoem seusai pertemuan tersebut. Namun, di pelosok-pelosok suasana masih panas. Arus pengungsi terus berdatangan ke tempat aman.

Menurut Bupati Sambas, Tarya Aryanto, para pengungsi belum bisa kembali ke desa asal. "Mereka sudah tak memiliki tempat berteduh", kata Tarya. Sekitar 1.094 rumah, menurut Tarya, habis terbakar dalam kerusuhan yang disebut aparatur keamanan mengakibatkan lima orang meninggal dunia tersebut.[2]

Referensi

Lihat pula