Kambing etawa adalah kambing didatangkan dari India yang juga disebut kambing Jamnapari. Tinggi kambing jantan berkisar antara 90 sentimeter hingga 127 sentimeter dan yang betina hanya mencapai 92 sentimeter. Bobot yang jantan bisa mencapai 91 kilogram, sedangkan betina hanya mencapai 63 kilogram. Telinganya panjang dan terkulai ke bawah. Dahi dan hidungnya cembung. Baik jantan maupun betina bertanduk pendek. Kambing jenis ini mampu menghasilkan susu hingga tiga liter per hari. Keturunan silangan (hibrida) kambing etawa dengan kambing lokal dikenal sebagai kambing “Peranakan etawa” atau “PE”. Kambing PE berukuran hampir sama dengan etawa namun lebih adaptif terhadap lingkungan lokal Indonesia. Orang pertama yang menghasilkan Peranakan Etawa di Indonesia adalah Tarsisius Wartono, kakek asal Purworejo yang sekarang berusia 110 tahun. Ia mengaku kalau dirinya yang pertama kali menurunkan kambing PE di Jawa Tengah. Menurutnya, PE merupakan persilangan Kambing Etawa dengan Kambing Benggala. Awal mula persilangan itu adalah adanya bantuan dari Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Semarang. "Pemerintah Belanda sepertinya memang bertujuan mengembangkan Etawa, kambing asli India yang memang ukurannya demikian besar. Kemungkinan setelah berhasil, akan dimanfaatkan untuk memakmurkan kolonial," tuturnya kepada KRjogja.com, Kamis (15/9).

Bantuan kambing indukan jantan itu disalurkan tahun awal dekade 40-an. Ketika itu, Wartono berumur sekitar 37 tahun dan sudah menjadi peternak Kambing Benggala. "Seluruh daerah di Jawa Tengah kabarnya dapat bantuan itu. Lalu kenapa saya yang dapat? Camat Kaligesing kala itu yang dipasrahi kambing oleh Bupati, jatuh cinta dengan perempuan Tlogoguwo, akhirnya menyerahkan Etawa kepadanya," terangnya.

Pranala luar

[[1]]