Irwansyah (politikus)
Irwansyah, lebih dikenal dengan nama Tgk. Mukhsalmina (lahir 22 November 1972) adalah tokoh pejuang GAM. Dia pernah menjabat sebagai Juru Bicara GAM wilayah Aceh Rayeuk. Dia sekarang mejabat sebagai Anggota DPRA Fraksi Partai Nasional Aceh.
Irwansyah | |
---|---|
[[Ketua Umum Partai Nasional Aceh]] 1 | |
Masa jabatan 2012 – 2017 | |
Presiden | Susilo Bambang Yudhoyono Joko Widodo |
Pendahulu tidak ada ; jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 22 November 1972 Cot Keueung, Kuta Baro, Aceh Besar, Aceh |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Berkas:Partai Aceh.jpg Partai Aceh (2007-2012) Partai Nasional Aceh (2012-sekarang) |
Suami/istri | Deviyanti (2001-2015) Jesica Novera |
Anak | Dari Deviyanti
Dari Jesica Novera
|
Karier militer | |
Pihak | Gerakan Aceh Merdeka |
Masa dinas | 1989–2005 |
Pertempuran/perang | Pemberontakan di Aceh |
Sunting kotak info • L • B |
Latar Belakang
MUCHSALMINA bukan nama sejatinya. Ini nama samaran. Dia menggunakan nama itu saat menjadi juru bicara GAM Aceh Besar. Dia lahir pada 22 November 1972 dengan nama Irwansyah. Dia ingin menggunakan nama lahir di masa damai, tapi nama aliasnya terlanjur populer. Bahkan sebagai perwakilan GAM di AMM, dia dikenal sebagai Teungku Muchsalmina. “Apa tidak bisa memakai nama asli?” rutuknya. “Abang lebih terkenal dengan Muchsalmina,” sahutku, sekenanya. Masa kecil dihabiskan lelaki ini di kampung halaman, di desa Cot Keueng, Aceh Besar. Desa itu terkenal sebagai basis GAM. Banyak anggota GAM asal Cot Keueng. Letak geografis desa yang dekat dengan perbukitan membuat para anggota GAM sering mencari perlindungan atau logistik di desa tersebut. Militer Indonesia menganggapnya zona berbahaya. Zona hitam. Muchsalmina bergabung dengan GAM pada 1989, saat dia masih di kelas satu Sekolah Menengah Atas Mughayatsyah, Banda Aceh. Dia bertugas sebagai pendukung biro penerangan GAM, Aceh Besar. Ketika lulus pada tahun 1991, dia resmi sebagai staf biro penerangan. Pada 1997, dia diminta bergabung dengan pasukan GAM. Latihan militer diikutinya di Sigli, Pidie, langsung di bawah pengawasan Panglima GAM kala itu, Teungku Abdullah Syafei. Para pelatih adalah alumni pertama Maktabah Tajurra, kamp latihan militer GAM di Libya. Setelah itu dia mulai bergerilya di hutan-hutan Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Alat perjuangannya berubah, dari kata ke senjata. “Saya biasa memegang AK-56,” kisahnya. Dia pernah beberapa kali ditugaskan membeli senjata, termasuk ke Thailand. Pembelian senjata juga dilakukannya di Jakarta, dua kali. Dia juga membeli senjata dari pasar gelap di perairan Aceh. Meski perang masih berlangsung, tak mengurungkan niat Muchsalmina untuk berumah tangga. Dia menikahi Deviyanti, anak seorang pegawai negeri yang tinggal di Ajun, Banda Aceh, pada pertengahan 2001. Pasangan ini hanya beberapa bulan sempat menikmati hidup bersama. Muchsalmina harus meninggalkan istrinya untuk kembali bergerilya. Bila situasi memungkinkan, dia sesekali datang menjenguk sang istri. Namun, orang tua serta mertua paham aktivitas Muchsalmina. Mereka suka rela menanggung kebutuhan hidup pasangan baru ini. Pada Februari 2002 dia resmi menjadi ayah. Putranya lahir. Dia memberinya nama: Muhammad Khalid. Gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM terjadi pada 9 Desember 2002, yang disebut COHA. Di masa-masa inilah Muchsalmina punya lebih banyak kesempatan menjenguk istri dan anak semata wayangnya. Kendati gencatan senjata telah dilakukan, kontak senjata tetap saja terjadi. Ayah Sofyan, Juru Bicara GAM Aceh Besar, meninggal dalam sebuah kontak senjata di masa tersebut. Dua hari kemudian Muchsalmina resmi ditunjuk sebagai penggantinya. Kontak senjata makin gencar. Gencatan senjata pun gagal. Presiden Megawati Soekarno secara resmi menetapkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer atau disingkat DM pada 19 Mei 2003. Perang kembali pecah di Aceh. Dia kembali bergerilya, dari satu hutan ke hutan lain. Keluarganya tak luput dari sasaran musuh. Beberapa kali tentara menggeledah rumah orang tuanya. Adik iparnya ditahan, karena dianggap bisa memberi informasi tentang keberadaannya. Perang bukan lagi soal benar dan salah, melainkan kalah dan menang. Membunuh atau dibunuh. Selama bergerilya tak terhitung lagi jumlah kontak senjata yang dialami Muchsalmina dengan tentara maupun polisi.
KINI aktivitas gerilyanya tinggal kenangan. Dia resmi ditunjuk jadi perwakilan GAM di AMM. Hidup Muchsalmina memasuki babak rapat dan seremoni. Rapat pertama yang diikutinya berlangsung pada 30 Agustus 2005, yaitu rapat komite ini dengan pemerintah Indonesia. Sehari kemudian dia ikut rombongan ke bandar udara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, untuk menjemput mantan tahanan GAM yang pulang dari penjara-penjara Pulau Jawa, pascaamnesti besar-besaran. Pada hari itu pula Teuku Darwin, Kepala Kantor Wilayah Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Aceh, menyatakan bahwa pemberian amnesti tadi berdasarkan Keputusan Presiden No 22 Tahun 2005, tentang pemberian amnesti umum dan abolisi kepada orang yang terlibat GAM. Secara otomatis, segala proses hukum pidana yang terkait dengan GAM telah dihapuskan atau ditiadakan bagi mereka. “Amnesti adalah upaya untuk melanjutkan rekonsiliasi dan juga menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), mengakhiri konflik yang permanen dan membuat damai secara menyeluruh di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujar Darwin, dalam pidato sambutannya. Sebanyak 1.424 tahanan serta narapidana GAM memperoleh amnesti pada hari tersebut. Di antaranya, 463 orang yang ditahan di Pulau Jawa. Mereka akan dipulangkan ke Aceh tanpa kecuali. Tetapi hampir setahun setelah amnesti, ternyata tidak semua tahanan bebas. Enam belas orang masih mendekam di penjara Pulau Jawa dan Sumatera Utara, sampai hari ini. “Mereka masih dikaji kasus hukumnya, karena dianggap terlibat kasus kriminal, seperti kepemilikan senjata, ganja, teror bom, dan perampokan,” kata Munawarliza Zain, wakil juru bicara GAM, pada saya. Pelucutan dan penghancuran senjata GAM adalah tahap berikutnya. Muchsalmina selalu hadir dalam momen ini. Dia mengkoordinasi para mantan gerilyawan, memeriksa dan menghitung jumlah senjata yang diserahkan. Demobilisasi militer GAM secara berangsur-angsur berada dalam pengawasannya bersama petinggi GAM lain. Sayap militer GAM atau lebih dikenal sebagai Teuntra Neugra Acheh (TNA) resmi dibubarkan pada 27 Desember 2005. GAM kemudian membentuk Komite Peralihan Aceh atau KPA. Komite inilah yang akan mengorganisasi semua mantan TNA, termasuk membantu mereka mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perdamaian telah berjalan setahun sejak Kesepakatan Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM. Tetapi sebagian mantan gerilyawan masih menganggur. Mereka yang biasa memegang senjata dan bertempur, kini harus rela bekerja apa saja untuk membiayai kebutuhan keluarga. Dana reintegrasi yang dijanjikan pemerintah Indonesia hanya diterima segelintir orang dan itu pun dalam jumlah yang jauh lebih sedikit dari yang dijanjikan. Sebagian besar malah tidak pernah mencicipinya sama sekali. Muchsalmina tidak perlu ikut protes sana-sini soal kesejahteraan. Bulan Juli 2006 lalu, dia dikontrak setahun oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias untuk membantu di Bagian Komunikasi dan Komunitas Lembaga. Posisinya di AMM juga tak bergeser. Tubuhnya mulai berisi. Gaji rutin tiap bulan. “Cukuplah untuk menghidupi keluarga,” ucapnya, tanpa memberi perincian angka. Dia bahkan berencana meramaikan ajang pemilihan kepala daerah di Aceh pada Desember mendatang. Lelaki dari perbukitan tandus Cot Lame itu siap terjun ke politik. Dia sudah pensiun mengokang Ak-56. Dia kembali bersenjata kata.[1]
Riwayat Jabatan
- Anggota DPRA[2] (2017-sekarang)
Riwayat Organisasi
- Juru Bicara GAM wilayah Aceh Rayeuk (2002-2005)
- Juru Bicara KPA wilayah Aceh Rayeuk (2005-2009)
- Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA)[3] (2009-2012)
- Ketua Umum Partai Nasional Aceh (PNA) (2012-2017)
- Ketua Dewan Penasehat Partai Nanggroe Aceh (PNA) (2017-sekarang)
Referensi
Jabatan partai politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: tidak ada ; jabatan baru |
Ketua Umum Partai Nasional Aceh 2012 - sekarang |
Petahana |