Kedewan, Bojonegoro

kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

Kadewan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Kadewan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenBojonegoro
Pemerintahan
 • Camat-
Populasi
 • Total14,641 jiwa
Kode Kemendagri35.22.25 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS3522241 Edit nilai pada Wikidata
Luas56,51 km²
Desa/kelurahan-

Kecamatan kedewan merupakan salah satu wilayah Kabupaten Bojonegoro yyang terletak di bagian paling barat dan paling utara, dan merupakan daerah perbatasan dengan propinsi jawa tengah. kecamatan kedewan dibatasi oleh :

Pembagian Administrasi

Berkas:PETA WILAYAH KECAMATAN KEDEWAN.JPG

Kecamatan Kedewan terdiri dari beberapa desa:[1]

  • Beji
  • Hargomulyo
  • Kawengan
  • Kedewan
  • Wonocolo

Tambang minyak di Kecamatan Kedewan

Berkas:Pompa angguk Pertamina Distrik Kawengan.jpg
Pompa angguk PT. Pertamina EP Region Jawa Field Cepu, Distrik Kawengan.
Berkas:Sumur minyak tradisional Wonocolo.jpg
Sumur minyak tradisional Wonocolo.
Berkas:Tambang Minyak Tradisional.jpg
Mahasiswa dan pelajar sedang melakukan studi tour. Wisata Tambang Minyak Tradisional adalah pertambangan minyak tradisional yang letaknya berada di Desa Hargomulyo dan Wonocolo, Kecamatan Kedewan.

Pertambangan minyak tradisional yang dilakukan rakyat Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro tidak bisa lepas dari sejarah pertambangan Blok Cepu, sejak zaman Belanda. Pemerintahan Kolonial Belanda melakukan penambangan minyak tradisonal di Wonocolo banyak menggunakan tenaga kerja penduduk lokal dengan memanfaatkan warga setempat, secara turun temurun warga setempat melakukan usaha penambangan minyak tradisional. Setelah ditinggalkan Belanda karena pindah ke Kawengan, sumur di Wonocolo tersebut ditambang oleh warga sampai sekarang.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut, latar belakang penambangan minyak tradisional adalah karena di Desa Wonocolo terdapat banyak sumur tua peninggalan Belanda yang di manfaatkan kembali pada tahun 1970an terjadi kenaikan harga minyak yang tinggi, sehingga kegiatan penambangan minyak itu secara ekonomis akan menguntungkan. Proses kegiatan penambangan tersebut awalnya dilakukan secara tradisonal, namun setelah tahun 1980-an menggunakan teknologi baru dengan mengggunakan mesin diesel dan mobil bekas untuk menggerakkan pompa minyak. Secara ekonomis kegiatan penambangan minyak kurang menguntungkan masyarakat penambang, karena sistem pembagian yang kurang adil dan harga yang relatif murah. Namun dibandingkan dengan usaha pertanian tetap lebih menguntungkan. Dampak negatif dari usaha penambangan adalah adanya konflik horisontal antar warga dan pencermaran lingkungan yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah.

Sejak ditinggalkan Belanda, ratusan sumur minyak di daerah setempat banyak bertebaran. Saat ini dari ratusan sumur, hanya puluhan saja yang masih aktif. Dan kawasan ini pun kemudian dikenal sebagai 'Blok Wonocolo'.

Sebagian dikelola oleh PT Pertamina di Kawengan dan yang lain dikelola oleh warga setempat secara berkelompak. Jarak sumur minyak yang dikelola tradisional dengan yang dikuasai Pertamina ini cukup dekat, sekitar 1 kilometer. Pusat sumur tradisional ini berada di perbatasan Bojonegoro dengan Cepu Jawa Tengah. Sejak diijinkan mengelola sumur minyak Wonocolo oleh Pertamina selaku pemilik wilayah kerja, warga yang menambang diwajibkan menyetor hasil mereka ke Pertamina. Solar dan minyak tanah merupakan produk yang dihasilkan warga dari pengelolaan sumur Wonocolo.

Minimnya pendapatan juga dipengaruhi oleh tingginya biaya produksi dan peralatan penambangan, serta pembagian hasil bagi para pekerja. Hasil minyaknya ini dikirim ke Peramina. Pertamina memang tidak mengeluarkan anggaran untuk pengelolaan sumur, tapi pengelolaan sumur dikelola oleh masyarakat sendiri. Satu kelompok ada yang 10 orang, ada yang 30 orang, hasilnya dari per-minggu itu dibagi anggota kelompoknya. Kondisi ini, membuat perekonomian masyarakat penambang semakin sulit. Pemerintah bersama Pertamina mulai membuat alternatif baru, untuk menciptakan lapangan kerja selain di sektor pertambangan.

Mereka memanfaatkan mesin diesel truk yang sudah tak terpakai. Dengan bantuan tali baja atau slink, sumur berkedalaman 100 meter pun ditambang. Yang keluar bukan langsung minyak jadi. Melainkan, minyak mentah yang disebut lantung yang mengalir deras bercampur air. Lantung itu kemudian dipisahkan dari air. Kemudian di lokasi yang sudah disedikan semacam tandon mini itu dipakai untuk penampungan lantung. Setelah dipastikan terbebas dari air, lantung itu pun disuling dengan cara direbus. Lantung di tuang di dalam drum-drum hingga mendidih dalam waktu 3-7 jam. Penduduk desa Wonocolo merebus air lumpur itu dengan cara tradisional. Mereka memanfaatkan alam sekitarnya untuk menyuling air lumpur jadi minyak.

Tanah berbukit di sekitarnya dijadikan tempat memasang alat penyulingan minyak bumi secara sederhana. Tungku api dibuat di terowongan bawah tanah. Api itu memanaskan tong berisi air lumpur sampai mendidih. Perebusan lantung di dalam drum yang ditutup itu pun menghasilkan uap panas. Dari hasil uapnya itulah kemudian didinginkan melalui pipa berpendingin air menjadi bahan bakar siap pakai. Air berlumpur yang mendidih, lalu menghasilkan uap minyak. Sedikit demi sedikit, uap minyak didinginkan akhirnya terkumpul hingga satu drum besar.

Meski tidak sesempurna produksi industri migas, namun minyak hasil sulingan warga desa itu bisa untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin diesel maupun minyak tanah. Bahkan, meski tak banyak kadang juga menjadi bensin. Baik lantung maupun minyak hasil sulingan itu dijual para penambang ke pembeli yang sudah biasa menjadi pelanggan. Selain itu ada pula yang dikirimnya ke sejumlah koperasi yang kemudian disalurkan ke Pertamina.

Referensi