Hukum dagang adalah hukum yang mengatur hubungan antara suatu pihak dengan pihak lain yang berkaitan dengan urusan-urusan dagang.[1] Definisi lain menyatakan bahwa hukum dagang merupakan serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan.[2]

Hukum dagang masuk dalam kategori hukum perdata, tepatnya hukum perikatan. Alasannya karena hukum dagang berkaitan dengan tindakan manusia dalam urusan dagang. Oleh karena itu hukum dagang tidak masuk dalam hukum kebendaan. Kemudian hukum dagang juga berkaitan dengan hak dan kewajiban antarpihak yang bersangkutan dalam urusan dagang. Hukum perikatan mengatur hal ini. Itulah sebabnya hukum dagang dikategorikan ke dalam hukum perikatan. Hukum perikatan adalah hukum yang secara spesifik mengatur perikatan-perikatan dalam urusan dagang.[1]

Sejarah Hukum Dagang di Indonesia

Perkembangan hukum dagang di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19. Pada masa pra-kemerdekaan, tepatnya 30 April 1847, Belanda memberlakukan Wetboek van Koophandel yang diadaptasi dari Code du Commerce asal Prancis. Code du Commerce ini terdiri dari dua kitab dan di dalamnya ada yang membahas hukum dagang. Meski telah dipublikasikan sejak 1847, penerapan Wetboek van Koophandel baru berlangsung sejak 1 Mei 1848. Itulah yang menjadi cikal bakal dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang kemudian menjadi salah satu sumber dari hukum dagang Indonesia.[3]

Sumber Hukum Dagang[2]

Hukum dagang di Indonesia tidak tercipta begitu saja, melainkan berdasarkan pada sumber. Terdapat tiga jenis sumber yang menjadi rujukan dari hukum dagang, yakni hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, hukum tertulis yang belum dikodifikasikan dan hukum kebiasaan.

Pada hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan, hal yang menjadi acuan adalah KUHD yang mempunyai 2 kitab dan 23 bab. Dalam KUHD dibahas tentang dagang umumnya sebanyak 10 bab serta hak-hak dan kewajiban sebanyak 13 bab. Selain KUHD, sumber lainnya adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau juga dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Salah satu bab pada BW membahas tentang perikatan.

Pada hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, ada 4 Undang-undang yang menjadi acuan. Keempat UU itu adalah Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan Undang-undang Nompr 8 tahun 1997 tentang dokumen perusahaan.

Adapun pada hukum kebiasaan, hal yang menjadi sumber adalah Pasal 1339 KUH Perdata dan Pasal 1347 KUH Perdata.

Subjek hukum

Pendukung hak dan kewajiban hukum yang dimiliki oleh manusia sejak lahir hingga meninggal dunia dan juga dimiliki oleh pribadi hukum yang secara sengaja diciptakan oleh hukum sebagai subjek hukum.[4] Definisi lain menjelaskan bahwa subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban sehingga memiliki wewenang hukum (rechtbevoegheid).[5]

Dalam hukum dagang, hal yang menjadi subjek hukum adalah badan usaha. Istilah lain dari badan usaha adalah perusahaan, baik perseorangan ataupun telah memiliki badan hukum. Ada 8 jenis badan usaha, yakni[4]:

  1. Perusahaan Dagang/Usaha Dagang (PD/UD)
  2. Firma (fa)
  3. Commanditaire Vennotschap (CV)
  4. Perseroan Terbatas
  5. Koperasi
  6. Perseroan
  7. Perum
  8. Holding Company/Grup/Concern

Referensi

  1. ^ a b Halim, A. Ridwan (1985). Hukum Dagang dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia. 
  2. ^ a b Suwardi (2015). Hukum Dagang Suatu Pengantar. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 9786024011017. 
  3. ^ Kansil (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 302. 
  4. ^ a b Permata, Cahaya (2016). Buku Ajar Hukum Datang. Medan: UIN Sumatera Utara. hlm. 10–12. 
  5. ^ Algra (1983). Kamus Istilah Hukum. Bandung: Bina Cipta. hlm. 453.