Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara
Tumaluntung merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia
Tumaluntung | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sulawesi Utara | ||||
Kabupaten | Minahasa Utara | ||||
Kecamatan | Kauditan | ||||
Kode pos | 95372 | ||||
Kode Kemendagri | 71.06.02.2010 | ||||
|
Desa Tumaluntung berbatasan langsung dengan desa Paslaten di sebelah timur dan desa Airmadidi di sebelah timur.
Tumaluntung memiliki kekayaan peninggalan budaya khas Sulawesi Utara, yaitu "Waruga". Waruga adalah makam kuno orang terdahulu di Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah kecil yang terbuat dari pahatan batu, terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian persegi sebagai badan rumah dan bagian atap yang memiliki pahatan sesuai jenis pekerjaan dan keahlian orang yang dikubur di dalamnya. Ukuran waruga bermacam-macam, semakin besar waruga maka semakin tinggi pula derajat orang yang dikubur di dalamnya. cara penguburannya adalah dengan didudukkan (seperti posisi bayi dalam kandungan). Biasanya pada saat penguburan, barang berharga dan perhiasan orang tersebut akan ikut ditaruh di dalam waruga tersebut.
Tumaluntung berada tepat di bawah kaki gunung Klabat, gunung tertinggi di pulau sulawesi.
Sejarah
Sekitar tahun 1665, 37 orang Dotu datang dari negeri Kembuan (Tonsea Lama) besera para kawulanya. Pemimpin rombongan ini adalah seorang Tunduan (Tonaas, Wadian, Teterusan, Kumekooko, atau Kumekomba) bernama Dotu Rotti, didampingi isterinya yang bernama Karagian. Rombongan ini berpindah dari Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan si Kooko (sekarang Desa Tanggari), Saduan, Sawangan, Koyawas, ke Kadimbatu. Setelah tinggal beberapa tahun di Kadimbatu, Dotu Wagiu, adik Dotu Rotti, memboyong kawulanya berpindah ke arah timur dari Kadimbatu atas izin seluruh Dotu.
Dalam perjalanan meninggalkan Kadimbatu, rombongan Dotu Wagiu berpapasan dengan dua ekor burung yang sedang bersabung. Karena dianggap sebagai suatu pertanda ilahi, rombongan pun menghentikan perjalanan (dumena). Setelah memohon petunjuk dari Opo Empung Waidan (Yang Maha Mulia), Dotu Wagiu memberitahukan kepada kawulanya bahwa pertarungan kedua ekor burung itu adalah tanda bahwa mereka harus menunda perjalanan agar terhindar dari mara bahaya. Tiga hari kemudian, mereka didatangi seekor burung celepuk (Manguni Rondor), yang ditafsirkan bahwa mereka sudah boleh melanjutkan perjalanan, tetapi bukan ke arah timur melainkan ke arah barat dari Kadimbatu. Rombongan akhirnya turun ke Sungai Dinamunen, melanjutkan perjalanan ke arah utara, dan akhirnya menemukan sebuah mata air setelah menempuh jarak sejauh kurang lebih 150 km. Dotu Wagiu memutuskan untuk berhenti dan mendirikan tempat berteduh. Mata air yang mereka temui sekarang ini disebut Doud Tumetenden.
Sementara itu di Kadimbatu, sepeninggal rombongan Dotu Wagiu, Dotu Makalew juga tergerak untuk berpindah ke arah barat dari Kadimbatu, akan tetapi setelah mereka ketahui bahwa Dotu Wagiu dan rombongannya bukan ke timur, melainkan ke barat, maka Dotu Makalew dan rombongannya berpindah jauh lebih ke barat, menelusuri kali besar Tondano. Dalam perjalanan, tiba-tiba seekor ular hitam (Teken ni Opo) melintang menghalangi perjalanan mereka yang menurut kepercayaan mereka tandanya mereka tidak boleh lewat. Maka Dotu Makalew, setelah meminta petunjuk dari para leluhurnya kemudian berkata kepada rombongannya, "sudah jauh kita berjalan, sampai disini kita berhenti". Tempat itu mereka namakan Kinaengkoan, sekarang menjadi desa Kawangkoan, Kelawat Bawah.
Setelah rombongan Dotu Wagiu dan rombongan Dotu Makalew mendirikan pemukiman sendiri, Dotu Rotti memimpin rombongan yang tersisa meninggalkan Kadimbatu ke arah timur, dengan berpatokan pada arah terbitnya matahari. Setelah menempuh perjalanan sehari mereka tiba di suatu tempat dataran yang dikelilingi pegunungan. Mereka berhenti dan membuat tempat berteduh untuk menetap. Suatu waktu, setelah kira-kira 30 meter mereka berada di tempat tersebut, pada saat mereka sedang makan bersama di tempat terbuka, dimana semua makanan dicurah pada satu tempat yang dialas dengan daun pisang, seekor burung besar terbang melintasi tempat itu, sambil mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas makanan mereka sehingga mereka tidak dapat melanjutkan makan. Atas peristiwa itu mereka menamakan tempat itu pata'ian ko 'ko'. Mereka menetap disana selama 23 tahun.
Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Disana mereka menemukan air terjun yang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi "teng, teng, teng", yang merupakan paduan bunyi gema air yang jatuh. Karena itu mereka akhirnya menamakan tempat itu Matalenteng yang artinya "Bunyi Air Jatuh".
Setelah beberapa lama mereka di Matalenteng, Dotu Umboh, Dotu Koloay dan Dotu Runtukahu beserta rombongan masing-masing pergi meninggalkan Matalenteng, menuju ke timur, melewati tempat bernama Wua' kendis dan terus menuju ke Sawangen. Dotu Rotti dan isterinya Karagian, bersama dengan rombongan mereka menetap di Matalenteng selama kurang lebih 50 tahun, kemudian mereka merubah nama Matalenteng menjadi Mataluntung.
Pada tahun 1725, nama Mataluntung berubah menjadi Tumaluntung. Pada masa itu banyak perompak dari Kema, menelusuri Kali Sawangen, mencari-cari orang dan apabila mereka menemukannya, mereka tangkap kemudian dibawa ke kapal mereka yang berlabuh di Kaburukan (Kema). Perompak-perompak itu adalah orang Loloda, Mangindanao dan Tasikela. Pemimpin mereka yag sangat terkenal bernama Santerina.
Pada suatu waktu Dotu Rotti menugaskan Dotu Gerung dan anak buahnya untuk mengawasi wilayah kekuasaanya yang lokasinya terbentang dari Tumaluntung ke timur sampai ke Kema. Di Kayawu (sekarang desa Kawiley) mereka bertemu dengan para perompak Kema. Pada pertemuan itu terjadilah perkelahian, bahkan perang hebat di antara mereka yang mengakibatkan pemimpin mereka Santerina melarikan diri meninggalkan jenazah anak buahnya bergelimpangan.