Tradisionalisme Jawa

Revisi sejak 20 Oktober 2017 04.11 oleh Triana Agustin (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Politik Tradisionalisme Jawa''' Tradisionalisme jawa merupakan salah satu bentuk konsep aliran pemikiran politik. Aliran pemikiran politik tersebut antara lain Nas...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Politik Tradisionalisme Jawa

Tradisionalisme jawa merupakan salah satu bentuk konsep aliran pemikiran politik. Aliran pemikiran politik tersebut antara lain Nasional Radikal, Tradisionalisme jawa, Islam, Sosialisme demokrat, dan komunis. Konsep pemikiran tradisionalisme jawa merupakan konsep satu-satunya yang asli berasal dari nusantara, sedangkan pemikiran politik lainnya berasal dari pengaruh budaya barat. Dengan adanya konsep pemikiran politik tersebut, seseorang dapat dengan mudah untuk menganalisis bagaimana cara kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang ada di seluruh dunia. Dalam praktiknya, konsep pemikiran politik tradisionalisme jawa ini pernah digunakan oleh salah satu presiden Indonesia yaitu Soeharto. Dengan menerapkan konsep tradisionalisme jawa tersebut pemerintahan Soeharto dapat dikatakan sukses untuk mempertahankan kepemimpinannya yang terbukti telah memipin Indonesia selama 32 tahun.

Pemikiran politik tradisionalisme jawa memiliki ciri yaitu, yang pertama, kekuasaan bersifat konkrit dimana kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada benda seperti air, tanah, api. Biasanya sifat konkrit ini juga dimaknai sebagai suatu kekuasaan politik, dimana kekuasaan yang ada adalah suatu bentuk ungkapan dan seorang penguasa tersebut memiliki kekuatan yang sakti. Yang kedua adalah kekuasaan bersifat homogen, semua kekuasaan berasal dari sumber yang sama dan memiliki kualitas yang sama. Yang ketiga adalah kekuasaan tidak mempermasalahkan keabsahan, contohnya ketika kerajaan Mataram lama masih berjaya, mereka membuat monumen, namun rakyat sekitar tidak suka, sehingga mereka memindahkan kerajaannnya ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan yang berada di Jawa Timur, kekuasaan yang berada di Mataram lama semakin merosot. Yang keempat adalah kekuasaan bersifat konstan atau tetap, artinya pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain, jadi apabila terdapat seorang pemimpin yang akan menempati suatu kedudukan, maka harus terdapat penurunan suatu penguasa juga sehingga jumlah nya akan tetap atau konstan. Yang kelima adalah kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan, semakin besarnya suatu kekuasaan maka dapat diperlihatkan dengan semakin besarnya penguasa tersebut dapat memonopoli suatu wilayah. Yang terakhir adalah tidak membutuhkan legitimasi, dimana segala kekuasaan dan hukum berasal dari raja karena raja adalah sumber kedaulatan. Dengan demikian, tidak dibutuhkan hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan.[1]



Referensi