Ki Wasyid
Kiai Haji Wasyid bin Muhammad Abbas (lahir dengan nama Qosyid[2]) atau lebih dikenal dengan nama Ki Wasyid adalah seorang pejuang yang memimpin Perang Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888 hingga gugurnya di medan perang pada tanggal 30 Juli 1888 di Banten.[3] Pada praktiknya, gerakan Ki Wasyid dalam perang tersebut banyak dipengaruhi oleh pemikiran guru-gurunya: Nawawi al-Bantani[1] dan mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Abdul Karim al-Bantani.[4] Dalam perjuangannya, ia memiliki keahlian dan kemampuan strategis, seperti bagaimana ia melakukan komunikasi-komunikasi politik dengan para ulama, jawara, dan pejuang-pejuang lainnya di Banten dan luar Banten untuk terlibat dalam perang melawan penjajah Belanda.[5]
K. H. Wasyid bin Muhammad Abbas | |
---|---|
Lahir | Qosyid 1843 Ciwandan, Cilegon, Banten |
Meninggal | 30 Juli 1888 (umur 44–45) Cilegon, Banten |
Sebab meninggal | Gugur dalam perang |
Kebangsaan | Indonesia |
Nama lain | Ki Wasid |
Pekerjaan | Ulama, pejuang, penasihat Mahkamah Agung (qadhi) |
Dikenal atas | Geger Cilegon 1888 |
Suami/istri | Atikah |
Anak | Muhammad Yasin Siti Hajar |
Orang tua | Muhammad Abbas (ayah) Johariah (ibu) |
Keluarga | Syam'un (cucu) |
Biografi
Kehidupan awal
Ki Wasyid lahir pada tahun 1843 di kampung Delingseng, Ciwandan, Cilegon, Banten. Ia terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan Kiai Muhammad Abbas dan Nyai Johariah.[6] Dari garis ayah dan ibunya, ia merupakan keturunan seorang pejuang, yaitu Ki Mas Jong. Silsilah lengkapnya adalah Ki Wasyid bin Ki Abbas bin Ki Qoshdu bin Ki Jauhari bin Ki Mas Jong.[2] Ki Mas Jong merupakan tangan kanan Prabu Pucuk Umun, raja Pajajaran. Setelah kekalahan Kerajaan Sunda oleh Kesultanan Banten, ia kemudian masuk Islam dan menjadi pengikut dan orang kepercayaan Maulana Hasanuddin, sultan Banten.[7]
Wasyid lahir dari keluarga pejuang yang memberontak terhadap penjajah. Ayahnya, Abbas, mengambil bagian dalam pemberontakan Wakhia (Perang Gudang Batu) tahun 1850.[8] Wasyid kecil tumbuh di tempat pengasingan karena ayahnya sering mengajak keluarganya berpindah-pindah tempat untuk menghindar dari kejaran tentara Belanda.[2]
Pendidikan
Ki Wasyid memperoleh pendidikan perdana seperti ilmu agama dasar dari ayahnya, Kiai Muhammad Abbas yang juga seorang pejuang dan guru agama. Ia juga pernah berguru kepada Ki Wakhia, teman ayahnya yang memimpin Perang Gudang Batu di Serang. Ia kemudian menempuh pendidikan ke pesantren-pesantren lokal di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.[9]
Setelah memperoleh pendidikan di pesantren lokal, Ki Wasyid kemudian memperdalam ilmu agamanya di Mekkah sambil menunaikan ibadah haji. Di tanah suci, ia berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani.[10] Sekembalinya dari Mekkah, Ki Wasyid banyak melakukan perjalanan dari kampung ke kampung memenuhi undangan penduduk untuk berdakwah.[9] Selain melakukan perjalanan dakwah, ia juga mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fikih, dan Tasawuf. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir, dan Haji Tubagus Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat.[11]
Keluarga
Ki Wasyid menikah dengan Atikah, gadis asal Beji, Cilegon. Dari pernikahannya ia dikarunia dua anak: Muhammad Yasin dan Siti Hajar. Siti Hajar menkah dengan Ki Alwi dan memiliki seorang anak bernama Syam'un yang merupakan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, pendiri Al-Khairiyah Citangkil, dan Bupati Serang periode 1945-1949.[2]
Aktivitas
Penasihat mahkamah agung
Selain sebagai seorang pejuang dan ulama yang menguasai ilmu keagamaan, sebelum pecahnya Geger Cilegon 1888 Ki Wasyid juga menjabat sebagai seorang penasihat Mahkamah Agung (Qadhi) di Afdeling Cilegon.[12]
Dakwah
Ki Wasyid dikenal sebagai seorang ulama yang berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengobarkan semangat jihad dan mengajak umat menjauhi perbuatan syirik di tengah masyarakat yang saat itu percaya terhadap tahayul.[5] Pada tahun 1887, sebelum peristiwa Geger Cilegon 1888, di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan mengabulkan permintaan asal memberikan sesajen kepada penunggu pohon yang merupakan Jin. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari.[11] Penghancuran pohon tersebut menimbulkan kemarahan dari pemilik pohon. Ia kemudian mengadukan peristiwa tersebut kepada pemerintah Belanda dengan tuduhan bahwa Ki Wasyid telah melakukan kerusakan dan merugikannya sebagai pemilik karena dari pohon tersebut ia memperoleh penghasilan.[13] Atas dakwaan-dakwaan tersebut akhirnya Ki Wasyid ditangkap dan diadili di pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ki Wasyid divonis dengan hukum cambuk dan dipenjarakan, serta dikenakan denda sebesar 7,50 gulden.[14]
Geger Cilegon 1888
Ki Wasyid merupakan seorang pimpinan Geger Cilegon 1888 atau juga disebut sebagai Perang Wasyid. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristia tersebut telah diuraikan sendiri oleh Ki Wasyid: pertama, dua pejabat pemerintah kolonial, yaitu patih dan jaksa telah melarang umat Islam melakukan ibadah di Masjid. Kedua, dinaikkannya pajak perahu dan pajak-pajak usaha yang lain. Ketiga, para pejabat sama sekali tidak menghiraukan para kiai, bahkan memusuhi Islam, melarang shalat dengan suara keras dan melarang membuat menara-menara masjid tinggi, dan menyebar terlalu banyak mata-mata untuk mencari-cari kesalahan orang yang melanggar peraturan.[15][16]
Didorong faktor-faktor tersebut, Ki Wasyid membuat perencanaan dan mengorganisir seluruh elemen rakyat Banten untuk melakukan perlawanan. Ki Wasyid mengadakan pertemuan di berbagai tempat dan menggunakan tarekat sebagai tempat berkumpul dan bersama-sama melakukan sembahyang dan zikir. Ki Wasyid dan para kiai lainnya dapat bertemu dalam kesempatan ini untuk mengatur strategi dan taktik-taktik serta koordinasi.[17]
Disela-sela kesibukannya berpropaganda, tiga bulan sebelum pertempuran Ki Wasyid memimpin persiapan perang dengan mempergiat latihan-latihan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata-senjata, dan sembari membakar semangat melalui khutbah-khutbahnya untuk melaksanakan perang dan berjihad.[18]
Selaku pimpinan operasi, Ki Wasyid mulai mengatur strategi penyerangan, ia membagi pasukan dalam beberapa kelompok yang masing-masing bertugas menyerang penjara, yang lain membebaskan tahanan, menyerang Kepatihan, dan menyerang rumah Asisten Residen. Pada hari Senin, 9 Juli 1888 perang dimulai dan pada sore harinya Cilegon dapat diduduki oleh Ki Wasyid dan para pasukannya. Namun, di bawah komando Kapten A.A. Veen huyzen, Belanda melakukan operasi mematahkan perlawanan dan melakukan pengejaran terhadap Ki Wasyid dan kawan-kawannya. Pertempuran terus berlangsung hingga pada tanggal 30 Juli 1888 Ki Wasyid, Ki Tubagus Ismail, Haji Usman, dan Haji Abdul Gani terbunuh sebagai syahid dan pahlawan Geger Cilegon 1888.[19]
Referensi
Catatan kaki
- ^ a b Ahmad, Hijrah (2014-03-16). "Kiai Wasid". NU Online. Diakses tanggal 2017-11-01.
- ^ a b c d Adia, 2007, hlm. 10.
- ^ Darmadi, 2015, hlm. 77.
- ^ van Bruinessen, 1994, hlm. 13.
- ^ a b Siregar, 2017, hlm. 57.
- ^ Adia, 2007, hlm. 9.
- ^ Hamid, 1987, hlm. 68.
- ^ Kartodirdjo, 1996, hlm. 188.
- ^ a b Adia, 2007, hlm. 11.
- ^ Hamid, 1987, hlm. 72.
- ^ a b Pratomo, Angga Yudha (2013-12-23). "Geger Cilegon 1888, perlawanan rakyat Banten terhadap kezaliman | Haji Wasid". MERDEKA.com. Diakses tanggal 2017-11-02.
- ^ Lubis, 2004, hlm. 84.
- ^ Adia, 2007, hlm. 13.
- ^ Firmansyah, Andri (2016-10-14). "Ki Wasyid, Tokoh Pejuang Geger Cilegon 1888". Biem.co. Diakses tanggal 2017-11-02.
- ^ Abdullah dkk., 1991, hlm. 204.
- ^ Kartodirdjo, 1996, hlm. 474-477.
- ^ Siregar, 2017, hlm. 65.
- ^ Alfian, 1994, hlm. 9.
- ^ Abdullah dkk., 1991, hlm. 207.
Bibliografi
- Hamid, Abdul (1987). Tragedi Berdarah di Banten 1888. Cilegon: Yayasan Kiyai Haji Wasyid.
- Abdullah, Taufik; dkk. (1991). Sejarah ummat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
- Kartodirdjo, Sartono (1996). The Peasants' Revolt of Banten in 1888. New York: Springer Publishing. ISBN 9789401763516.
- Ambary, Hasan Muarif; Michrob, Halwany (1998). Geger Cilegon 1888: Peranan Pejuang Banten Melawan Penjajah Belanda. Serang: Panitia Hari Jadi Ke-462, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Serang. OCLC OCM22759197 Periksa nilai
|oclc=
(bantuan). - Mansur, Khatib (2001). Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi: Catatan Kesaksian Seorang Wartawan. Serang: Kadin Banten. ISBN 9789799258076.
- Lubis, Nina Herlina (2004). Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES. ISBN 9793330120.
- Darmadi, Dadi (2015-06-01). "The Geger Banten of 1888: an Anthropological Perspective of 19th century Millenarianism in Indonesia". Heritage of Nusantara: International Journal of Religious Literature and Heritage. 4 (1): 65–84. ISSN 2303-243X.
- Siregar, Parlindungan (2017). "Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi Tentang K.H. Wasyid". Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama. Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 23 (1): 55–70. ISSN 0853-1692.
- Adia, Sa'atu (2007). Gerakan Haji Wasyid Serta Relevansinya Terhadap Konsep Jihad Dalam Islam (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7504/1/SA'ATU%20ADHIA-FUH.pdf.
- van Bruinessen, Martin (1994). "The origins and development of Sufi orders (tarekat) in Southeast Asia" (PDF). Studia Islamika - Indonesian Journal for Islamic Studies. 1 (1): 1–23. ISSN 0215-0492.
- Alfian, Tengku Ibrahim (1994-08-29). Semangat Keagamaan Rakyat Banten dalam Mempertahankan Kemerdekaan (Speech). Seminar Puncak-puncak Perkembangan Warisan Budaya Banten. Serang: Gedung DPRD Banten.