Suku Kokoda

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 8 November 2017 07.08 oleh Abdullah Faqih (bicara | kontrib) (ss)

Suku Kokoda adalah suku lokal yang bermukim di wilayah Provinsi Papua Barat. Pemukiman Suku Kokoda tersebar di dua lokasi besar, yaitu di Kelurahan Klasabi, Distrik Manoi, Kota Sorong dan daerah IMEKO (Inanuatan, Matemani, Kais, dan Kokoda). Suku Kokoda yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal penggunaan teknologi, mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan dengan lapangan terbang DEO, Kota Sorong. Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal di daerah IMEKO masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah sagu. Letak perkampungan itu sendiri sangat sulit dijangkau, baik dijangkau melalui jalur laut, darat, dan udara. Secara geografis, mereka merasakan dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Ketika musim panas tiba, Suku Kokoda akan mengalami kekurangan air. Namun demikian, mereka akan menggali sumur sedalam mungkin sampai kemudian menemukan sumber air. Hal itu telah berlangsung secara turun temurun.

Gambaran Kondisi Sosial

Secara garis besar, jumlah penduduk Kokoda yang bertempat di Kelurahan Klasabi berjumlah 6.528 jiwa pada tahun 2010. Mayoritas, Suku Kokoda bekerja di sector formal dan informal seperti guru, buruh tani, buruh nelayan, dan buruh bangunan. Dalam hal keagamaan, Suku Kokoda menganut dua agama besar, yaitu Islam dan Kristen Protestan. Islam masuk ke wilayah mereka pada tahun 1960-an. Masuknya agama Islam ke wilayah tersebut tidak terlepas dari peran Sultan Tidore yang bernama Syekh Alam Syah. Meskipun terdapat dua perbedaan agama besar, Suku Kokoda hidup sangat rukun dan berdampingan satu sama lain. Hampir tidak pernah dijumpai konflik agama terjadi dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang terlihat justru hubungan yang harmonis dan tolong menolong satu sama lain. Seperti misalnya, ketika umat Islam menggelar perayaan hari besar keagamaan seperti Isra’ Miraj dan Idul Fitri, yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru Suku Kokoda dari agama Kristen Protestan. Begitu pula ketika umat Kristen akan menggelar perayaan hari besar agama seperti Hari Raya Natal, yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru Suku Kokoda yang beragama Islam. Di wilayah tempat mereka tinggal terhitung ada 5 masjid, 2 mushola, dan 4 gereja.

Dalam hal pendidikan, Suku Kokoda terhitung masih sedikit yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Banyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas). Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi (S1) umumnya adalah para pemuka agama dari kalangan mereka sendiri. Namun demikian, beberapa kalangan dari kelompok mereka juga ada yang telah mengerti akan pentingnya pendidikan. Terutama bagi yang beragama Islam, mereka membangun yayasan pendidikan berbasis pesantren sebagai tempat belajar bagi generasi muda di sana.

Tradisi Peminangan

Beberapa tradisi yang sangat terkenal di kalangan Suku Kokoda adalah tradisi peminangan. Tradisi ini dilakukan ketika seorang laki-laki Suku Kokoda akan meminang (mengajak menikah) perempuan dari suku yang sama. Mula-mula, tua-tua adat sebagai orang yang dipercaya dan “ditokohkan” oleh Suku Kokoda akan meminta ibu-ibu untuk berkumpul di titara, yaitu suatu balai pertemuan yang biasa mereka gunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan merundingkan berbagai macam hal. Di tempat ini, pihak laki-laki akan bermusyawarah terkait rencana pernikahannya dengan penduduk yang hadir di sana. Ketika sudah mendapat persetujuan, keluarga laki-laki akan mendatangi pihak perempuan yang akan dilamar dengan maksud untuk menyampaikan keseriusannya. Setelahnya, keluarga pihak perempuan akan melakukan musyawarah terkait permintaan pinangan pihak laki-laki berikut mas kawin atau mahar yang diharapkan. Ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki tersebut untuk menyampaikan hasil musyawarah mereka, apakah lamarannya diterima atau tidak.

Mas kawin atau mahar yang diharapkan biasanya dalam bentuk 1500-2000 jenis barang. Barang-barang tersebut di antaranya adalah 10 buah guci, 20 buah piring besar, 20 buah tombak, 20 buah mancadu, 5 manik-manik tali besar, 5 manik-manik tali kecil, dan sisanya adalah barang-barang campuran seperti kain dan lain sebagainya. Tradisi peminangan dengan menggunakan 15000-2000 jenis barang tersebut telah berlangsung lama. Meskipun tidak ada sanksi adat, apalagi sanksi berupa hokum formal yang mengikat, tradisi ini sangat mendarah daging dalam diri mereka. Apabila tidak mampu memenuhinya, si pelamar biasanya akan sangat malu dan kembali pulang ke kampong halamannya sendiri.

Dalam tradisi ini, ditemukan dua macam istilah, yaitu Bani dan Warotara. Bani disebut sebagai prosesi musyawarah sebelum lamaran dilakukan dengan mengumpulkan keluarga laki-laki dan pemuka-pemuka adat setempat di suatu tempat yang disebut sebagai Titara atau balai pertemuan. Sementara Waworata disebut sebagai anak perempuan yang telah dilamar, dinaikan seekor kuda bersama saudara laki-lakinya menuju ke tempat sang calon suami. Anak perempuan tersebut akan disuapi oleh keluarga sang laki-laki. Hal itu dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan kepercayaan dari keluarga perempuan untuk menitipkan anak perempuannya kepada keluarga laki-laki tersebut.



Referensi