Aturan 50+1 merupakan bentuk regulasi kepemilikan klub sepakbola, terkhusus di kultur sepakbola Bundesliga. Sesuai namanya, aturan 50+1 berarti saham kepemilikan klub professional sebesar "50% tambah satu" harus dikuasai pihak non-komersial atau non-profit. Aturan ini diadopsi oleh DFL tahun 1999 untuk mengantisipasi penanaman modal besar-besaran taipan minyak atau pengusaha konglomerat dan akhirnya kelompok suporter kehilangan posisi tawar dalam pengambilan keputusan klub. Meskipun dilakukan beberapa penyesuaian, seperti aturan bahwa investor yang telah menanamkan sahamnya selama 20 tahun[1] boleh memiliki saham mayoritas, secara esensial aturan ini tetap dihormati dan dilaksanakan guna menyeimbangkan pengaruh suporter dan pemodal. RB Leipzig menjadi salah satu klub yang sempat terjerat kontroversi kasus pelanggaran aturan ini, setelah dibanjiri modal besar dari perusahaan minuman Red Bull asal Austria yang membuatnya terus promosi dari liga kasta keenam hingga berhasil menembus Bundesliga pada musim 2016-2017. Ancaman potensial terhadap kelangsungan aturan ini berasal dari rezim dagang dan investasi regional Uni Eropa yang tidak memperbolehkan, dalam derajat tertentu, ditetapkan restriksi atau pembatasan. Dalam skema ekonomi makro, hal ini dinilai dapat menghambat laju ekonomi terutama dari aliran investasi dalam bentuk saham. Bahkan, persoalan ini dapat diadukan ke ranah hukum dari kelompok yang merasa tidak puas dengan berlakunya aturan ini; Martin Kind dari klub Hannover 96 menjadi salah satu contohnya. Di sisi lain, penegakan aturan ini mesti dikaji prosesnya, mengingat kasus RB Leipzig yang dapat melenggang mulus sejak promosi kasta keenam hingga menembus Bundesliga. Fenomena ini mengindikasikan kekurangan upaya preventif dan pengawasan administrasi dari pihak berwenang.


Referensi

  1. ^ "Does the 50+1 rule stand for a fall?" (dalam bahasa Inggris). 2017-05-12. Diakses tanggal 2017-11-08.