Aku (puisi)

puisi karya Chairil Anwar

Aku adalah sebuah puisi karya Chairil Anwar, karya ini mungkin adalah karyanya yang paling terkenal dan juga salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Aku memiliki tema pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin "hidup seribu tahun lagi", namun ia menyadari keterbatasan usianya, dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya.

Chairil Anwar, penulis "Aku"

Puisi

Bahasa Indonesia
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!

Bahasa Inggris
If my time has come
I don't want anyone to beg
Not even you

I don't need that sniveling!

I'm but a wild animal
Exiled even from his own group

Even if bullets pierce my skin
I will still enrage and attack

Wounds and poison I'll take running
Running

Until the pain leaves

And I will care even less
I want to live a thousand more years

Rilis

Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943. Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" kemudian menjadi puisi Anwar yang paling terkenal . Penulis Indonesia, Muhammad Balfas mencatat bahwa salah seorang yang sezaman dengan Anwar, Bung Usman, menulis "Hendak Jadi Orang Besar???" dalam menanggapi "AKU". Balfas menunjukkan Usman yang sangat kesal oleh "vitalitas dan cara hidup yang baru" yang menunjukkan Anwar dalam puisi itu.

Analisis

 
"Aku" karya Anwar pada sebuah dinding di Belanda

Menurut seorang sarjana sastra Indonesia asal Timor, AG Hadzarmawit Netti, judul "Aku" menekankan sifat individualistis Anwar, sedangkan judul "Semangat" mencerminkan vitalitas. Netti menganalisis puisi itu sendiri sebagai mencerminkan kebutuhan Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk oleh kekuatan luar, menekankan dua bait pertama. Menurut Netti, dengan mengendalikan lingkungannya, Anwar mampu melindungi kebebasan dan sifat individualistis. Netti melihat garis akhir sebagai cerminan kebanggaan Anwar di alam individualistis, akhirnya diduga bahwa Anwar akan setuju dengan filosofi Ayn Rand tentang objektivitas. Sarjana sastrawan Indonesia, Arief Budiman mencatat bahwa "Aku" mencerminkan pandangan Anwar, bahwa orang lain tidak harus peduli untuk dia karena ia tidak peduli terhadap sesama. Budiman juga mencatat bahwa bait ketiga dan keempat mencerminkan pandangan Friedrich Nietzsche bahwa penderitaan membuat orang kuat.

Lihat juga

Referensi

Catatan kaki
Bibliografi
  • Balfas, Muhammad (1976). "Modern Indonesian Literature in Brief". Dalam L. F., Brakel. Handbuch der Orientalistik. 1. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2. 
  • Budiman, Arief (2007). Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (dalam bahasa Indonesian). Tegal: Wacana Bangsa. ISBN 978-979-23-9918-9. 
  • Djamin, Nasjah; LaJoubert, Monique (1972). "Les Derniers Moments de Chairil Anwar". Achipel (dalam bahasa French). 4 (4): 49–73. doi:10.3406/arch.1972.1012. Diakses tanggal 30 September 2011. 
  • Jassin, Hans Bague (1978). Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 30051301. 
  • Netti, A. G. Hadzarmawit (2011). Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (dalam bahasa Indonesian). Surabaya: B You Publishing. ISBN 978-979-17911-4-4.