Aku (puisi)

puisi karya Chairil Anwar

Aku adalah sebuah puisi berbahasa Indonesia tahun 1943 karya Chairil Anwar, karya ini mungkin adalah karyanya yang paling terkenal dan juga salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Puisi ini menggambarkan alam individualistis dan vitalitasnya sebagai seorang penyair.

Chairil Anwar, penulis "Aku"

Puisi

Perilisan

Anwar pertama kali membaca "Aku" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943.[1] Puisi ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan tokoh dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih mempromosikan gerakan kebebasan.[2] "Aku" kemudian menjadi puisi Anwar yang paling terkenal.[3]

Penulis Indonesia, Muhammad Balfas mencatat bahwa salah satu penulis kontemporer yang sezaman dengan Anwar, Bung Usman, menulis "Hendak Jadi Orang Besar???" dalam menanggapi "Aku".[4] Balfas menyebut bahwa Usman sangat kesal dengan "vitalitas dan cara hidup yang baru" yang ditunjukkan Anwar dalam puisi itu.[4]

Analisis

 
"Aku" karya Anwar pada sebuah dinding di Belanda

Menurut seorang akademisi sastra Indonesia asal Timor, A. G. Hadzarmawit Netti, puisi "Aku" menekankan sifat individualistis Anwar, sedangkan puisi "Semangat" mencerminkan vitalitas.[5] Netti menganalisis puisi itu sendiri sebagai cerminan kebutuhan Anwar untuk mengendalikan lingkungannya dan tidak dibentuk oleh kekuatan luar, melalui penekanan dua bait pertama.[5] Menurut Netti, dengan mengendalikan lingkungannya, Anwar mampu melindungi kebebasan dan sifat individualistisnya.[6] Netti menilai baris terakhir sebagai cerminan kebanggaan Anwar di alam individualistis, dan menyimpulkan bahwa Anwar seharusnya setuju dengan filosofi Ayn Rand tentang objektivitas.[7]

Akademi sastra Indonesia, Arief Budiman mencatat bahwa "Aku" mencerminkan pandangan Anwar, bahwa orang lain tidak harus peduli padanya, sebagaimana ia tidak peduli terhadap orang lain.[8] Budiman juga menilai bahwa bait ketiga dan keempat mencerminkan pandangan Friedrich Nietzsche bahwa penderitaan membuat seseorang menjadi lebih kuat.[9]

Lihat juga

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Netti 2011, hlm. 37.
  2. ^ Jassin 1978, hlm. 170.
  3. ^ Djamin & LaJoubert 1972, hlm. 51.
  4. ^ a b Balfas 1976, hlm. 73.
  5. ^ a b Netti 2011, hlm. 38.
  6. ^ Netti 2011, hlm. 39.
  7. ^ Netti 2011, hlm. 40.
  8. ^ Budiman 2007, hlm. 41.
  9. ^ Budiman 2007, hlm. 28.
Bibliografi
  • Balfas, Muhammad (1976). "Modern Indonesian Literature in Brief". Dalam L. F., Brakel. Handbuch der Orientalistik. 1. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2. 
  • Budiman, Arief (2007). Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (dalam bahasa Indonesian). Tegal: Wacana Bangsa. ISBN 978-979-23-9918-9. 
  • Djamin, Nasjah; LaJoubert, Monique (1972). "Les Derniers Moments de Chairil Anwar". Achipel (dalam bahasa French). 4 (4): 49–73. doi:10.3406/arch.1972.1012. Diakses tanggal 30 September 2011. 
  • Jassin, Hans Bague (1978). Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 30051301. 
  • Netti, A. G. Hadzarmawit (2011). Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (dalam bahasa Indonesian). Surabaya: B You Publishing. ISBN 978-979-17911-4-4.