Persekusi
Persekusi atau Main Hakim Sendiri (bahasa Inggris: persecution) adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi merupakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai persekusi.
Pengertian Pesekusi Menurut Ahli
Menurut Damar Juniarto (Anggota Koalisi Anti Persekusi dari Safenet) Damar mengungkapkan bahwa, Persekusi itu beda dengan main hakim sendiri, dalam makna yang sebenarnya persekusi itu adalah tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu.
"Adalah tindakan suatu pihak secara sewenang-wenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan main hakim sendiri," jelas Damar saat mengahadiri konferensi press bersama YLBHI serta Koalisi Anti persekusi, di kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (1/6).
Contoh Kasus Persekusi
"Kasus ini menimpa remaja berusia 15 tahun berinisial PMA yang merupakan salah satu warga Cipinang Muara, Jakarta Timur serta Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat."
Kedua korban di atas mengalami tindak persekusi bermula melalui media sosial. Persekusi terhadap PMA terjadi pada 28 Mei 2017. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang dianggap telah menghina salah satu ormas dan pimpinannya melalui media sosial. Video yang viral di media sosial menunjukkan PMA dikerumuni sejumlah orang yang mengaku simpatisan ormas tersebut.
Remaja 15 tahun itu diinterogasi mengenai maksud unggahan statusnya di media sosial. Sedangkan Fiera, didatangi oleh beberapa orang ketika tengah berada di dalam mobil bersama kedua anaknya pada 22 Mei 2017. Hal ini diduga karena Fiera mengunggah tiga status pada akun Facebook-nya pada 19 hingga 21 Mei 2017 menanggapi berita kasus yang menimpa pimpinan suatu ormas.
Demi menghindari aksi persekusi semacam ini terulang kembali, kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Hal-hal di bawah ini sebaiknya kita pertimbangkan sebelum memposting sesuatu di media sosial.
Cara Menghindari Kasus Persekusi
Ada beberapa cara untuk menghidarkan diri kita terkena pesekusi seperti kasus yang pernah ada di Indonesia, adapun caranya adalah sebagai berikut:
- Bayangkan bila mengucapkannya secara langsung. Sebelum mengunggah suatu pernyataan, komentar, berita atau apapun itu, bayangkan kamu menyampaikannya secara langsung di hadapan orang yang kamu tuju. Bayangkan apakah saat itu kamu benar-benar berani menyampaikannya? Atau justru ragu dan takut. Bila keraguan itu muncul, lebih baik diurungkan saja deh niatnya.
- Pikirkan konsekuensinya Jika merasa bahwa pernyataan, komentar, berita yang akan diunggah itu tidak akan menyinggung orang lain, pikirkan tentang hal apa yang kira-kira akan terjadi nantinya. Apakah hal yang ingin kamu sampaikan itu bisa menjadi manfaat untuk orang banyak atau justru tidak ada gunanya sama sekali, atau bahkan mengundang perpecahan.
- Pahami dan cek kembali informasi. Terakhir, namun tak kalah pentingnya adalah pahami segala informasi mengenai hal yang ingin kamu sampaikan itu. Lihat dari berbagai perspektif dan sumber berita. Cek sumber yang kamu dapatkan. Jangan sampai ternyata kamu hanya menyebar berita-berita hoax.
Statuta Roma
Dalam Pasal 7.1 Statuta Roma, persekusi terhadap suatu kelompok dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan:
Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu: (h) Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah