Sepauk, Sintang
Sepauk (disebut juga Nanga Sepauk) adalah kota kecamatan yang berada di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Terletak dipertemuan Sungai Sepauk dengan Sungai Kapuas.
Sepauk | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Kalimantan Barat | ||||
Kabupaten | Sintang | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | - jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 61.05.03 | ||||
Kode BPS | 6107110 | ||||
Luas | - km² | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | - | ||||
|
Penduduk
Sepauk di huni oleh berbagai suku yaitu Suku Dayak, Tionghoa suku Hakka dan orang Melayu.
Menurut cerita orang tua, orang orang Hakka datang dari Meixien di Cina selatan dengan tujuan mencari emas di akhir abad 19 (tahun 1800an). Setelah menetap beberapa lama, timbul perselisihan antara pencari emas ini dengan pemerintah penjajah belanda. Perairan sungai Kapuas sempat di blokir oleh tentara Belanda selama beberapa lama. Tentara Belanda berharap dengan di blokir mereka akan menyerah karena kehabisan sumber makan. Ternyata para pencari emas telah menjalin hubungan tukar menukar dengan orang dayak se tempat. Bahkan banyak yang telah ber cocok tanam dan hidup berkecukupan se iring dengan orang dayak setempat.
Perlahan lahan mereka tidak lagi ada pikiran untuk pulang ke Tiongkok, suatu yang sangat jarang terjadi di bagian dunia lain pada waktu itu. (sumber: Encyclopaedia Britanica dan cerita lisan)
Keluaran / Pengungsian
Beberapa kali pada abad 20 terjadi pengungsian dari Sepauk. Ini terjadi karena berbagai sebab: ekonomi, sosial, pendidikan, dan juga kekerasan. Biasanya anak anak muda yang baru dewasa keluar dari Sepauk untuk mencari ilmu atau mencari kerja di ibukota provinsi Pontianak dan kemudian ibukota Jakarta. Bencana alam seperti kemarau berkepanjangan atau bencana hama yang merusak sumber makanan juga menyebabkan pergolakan sosial dan memaksa penghuni untuk mengungsi ke kota Pontianak. Pertentangan antara orang asli suku dayak dan orang suku Madura pada tahun 1990an juga menyebabkan pengungsian massal dari Sepauk dan sekitarnya.
Orang asli sepauk memiliki adat dan tradisi yang berbeda dengan orang daerah lainnya, sebab orang asli sepauk adalah orang dayak seberuang. Suku dayak seberuang adalah orang yang sangat ramah, dayak seberuang telah lama menghentikan tradisi 'mengayau', yaitu memotong kepala manusia untuk berbagai kebutuhan. Sejak itu, karena orang dayak seberuang tidak melakukan tradisi mengayau lagi, mulai lah berdatangan gelombang transmigrasi yang pada saat itu datang dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, namun setelah transmigrasi itu jumlah para transmigran semakin bertambah, karena desakan para transmigran ini orang asli sepauk yaitu suka dayak seberuang semakin terusik keberadaannya. dayak seberuang semakin hari semakin didesak, yang pada awalnya tinggal di tepi sungai semakin terdesak tinggal ke dalam hutan. Ini lah kebaikan serta kebodohan orang dayak seberuang yang membiarkan begitu saja para orang luar mengambil tanah mereka. Kebaikan dari orang dayak yang memberikan tananya untuk didiami oleh orang lain yang bukan siapa-siapanya. Untung saja tradisi mengayau telah di hapuskan, bila tidak akan sering terjadi pertumpahan darah dimna-mana.
Pembauran
Penduduk Hakka di Sepauk hidup terisolasi dari dunia luar lebih dari seratus tahun, tidaklah heran terjadi pembauran dengan penduduk asli dayak. Karena rasa identitas yang kuat, pembauran ini agak terbatas di bidang transaksi ekonomi. Pembauran ini juga terbukti di kata kata dan istilah asing yang muncul di bahasa masing masing.
Diaspora
Keturunan penghuni Sepauk dan sekitarnya sekarang tersebar di kota kota besar di Indonesia dan bahkan luar negri. Terutama di Jakarta dan Pontianak. Di Jakarta, mereka di katagori kan orang Pontianak. Walau ini tidaklah 100% tepat.