Sheng nu (剩女; shèngnǚ; terjemahan umum: "wanita sisa" atau "perempuan sisa") adalah sebuah istilah ejekan yang dipopulerkan oleh Federasi Wanita Seluruh Tiongkok yang mengklasifikasikan wanita yang masih belum menikah pada usia akhir dua puluh tahunan atau lebih.[1][2][3][4] Istilah tersebut banyak dipakai di Tiongkok, termasuk program dan pengarahan yang disponsori negara, selain juga dipakai untuk menyebut wanita di sepanjang Asia, India, dan Amerika Utara.[5][6] Istilah tersebut banyak dipakai di media umum dan telah menjadi subyek dari beberapa serial televisi, majalah dan artikel surat kabar, dan publikasi buku yang berfokus pada aspek baik dan buruk dari istilah tersebut dan budaya sekitarnya.[7] Xu Xiaomin dari The China Daily menyebut sheng nu merupakan "sepasukan sosial yang diperhitungkan" sementara yang lainnya berpendapat bahwa istilah tersebut harus dianggap positif sebagai pengartian "wanita sukses".[8][9] Istilah slang, 3S atau 3S Women, yang artinya "single, seventies (1970s), and stuck" ("lajang, tujuh puluhan (1970an), dan tersangkut") juga dipakai untuk menggantikan sheng nu.[9][10] Istilah setara untuk pria, guang gun (光棍) yang artinya cabang tunggal, dipakai untuk menyebut pria yang belum menikah dan belum bisa menambahkan 'cabang-cabang' pada pohon keluarga.[11] Secara bersamaan, shengnan (剩男) atau "pria sisa" juga dipakai.[9][12][13]

Latar belakang

 
Sex ratio pada kelahiran di Tiongkok daratan, laki-laki per 100 perempuan, 1980-2010.

Kebijakan satu anak (Program Keluarga Berencana) dan aborsi selektif jenis kelamin di Tiongkok menyebabakan pertumbuhan ketimpangan dalam keseimbangan gender di negara tersebut.[1][2] Sejak tahun 1979, saat kebijakan satu anak diperkenalkan, sekitar 20 juta laki-laki lahir melebihi perempuan, atau 120 laki-laki dari 100 kelahiran perempuan,[14][15] dan pada tahun 2020, Tiongkok diperkirakan memiliki 24 juta laki-laki melebihi perempuan.[16] Rata-rata global adalah 103 banding 107 perempuan.[17]

 
Tanda pemerintah menyatakan: "Demi negara makmur, berkuasa dan keluarga bahagia, mohon pakai kelahiran berencana."

Menurut The New York Times, Dewan Negara Republik Rakyat Tiongkok (Pemerintahan Rakyat Pusat) mengeluarkan sebuah "edik" pada tahun 2007 terkait Program Keluarga Berencana dan Populasi (kebijakan satu anak) untuk melayangkan ketidakseimbangan gender dan menyebutnya sebagai "ancaman stabilitas sosial" yang besar.[18] Dewan tersebut kemudian mengutip "kualitas populasi yang ditingkatkan (suzhi)" sebagai salah satu tujuan utamanya dan menghimpun Federasi Wanita Seluruh Tiongkok, sebuah badan kenegaraan yang didirikan pada thaun 1949 untuk "melindungi hak dan kepentingan wanita", untuk mempelajari dan menyelesaikan masalah ini.[18]

Etimologi yang ada dari istilah tersebut secara konklusif tak diketahui, namun banyak sumber yang mengutipnya saat muncul pada tahun 2006.[19] Pada tahun 2011, China Daily mengabarkan bahwa Xu Wei, ketua penyunting Cosmopolitan Magazine China, mencanangkan istilah tersebut.[20] Istilah tersebut, sheng nu, secara harfiah diterjemahkan menjadi "perempuan sisa" atau "wanita sisa".[15][21][22] Pada tahun 2007, Kementerian Pendidikan Republik Rakyat Tiongkok merilis sebuah pernyataan resmi yang mendefinisikan sheng nu sebagai "wanita yang belum menikah di atas usia 27 tahun" dan menambahkannya pada lexicon nasional.[18] Kementerian tersebut meluaskan pengartiannya menjadi "gagal menemukan suami" karena "terlalu berekspekstasi tinggi untuk pasangan pernikahan" dalam pernyataan berikutnya.[23] Menurut beberapa sumber, pemerintah memandatkan Federasi Wanita Seluruh Tiongkok untuk menerbitkan serangkaian artikel yang menstigatisasikan wanita yang belum menikah yang berusia akhir dua puluhan tahun.[1][18][24]

Pada Maret 2011, Federasi Wanita Seluruh Tiongkok mengeluarkan sebuah artikel kontroversial berjudul 'Wanita Sisa Tak Memperdulikan Simpati Kami' tak lama setelah Hari Wanita Internasional.[18] Seorang pakar menyatakan, "Gadis-gadis cantik tak butuh lahan pendidikan untuk menikah dalam keluarga kaya dan berkuasa. Namun, gadis-gadis dengan penampilan rata-rata atau jelek akan menemukan kesulitan" dan "Gadis-gadis tersebut lebih mengharapkan pendidikan mereka untuk meningkatkan persaingan mereka, Tragedinya adalah, mereka tak menyadari bahwa saat wanita menua, mereka makin dan makin memburuk. Sehingga saat mereka meraih MA atau PhD, mereka menjadi tua — seperti mutiara-mutiara yang menguning."[1] Berasal dari setidaknya 15 artikel yang tersedia di situs webnya terkait subyek sheng nu, yang sekarang telah dihapus, itu meliputi nasehat dan tips mak comblang.[1]

Tiongkok

Budaya dan statistik

 
Model, superstar film, dan televisi Lin Chi-ling, kelahiran tahun 1974, mewakili "wanita kualitas A" yang kaya, sukses secara finansial, dan terdidik di universitas yang masih belum menikah di atas usia akhir dua puluh tahunan.

Angka-angka Biro Statistik Nasional Republik Rakyat Tiongkok (NBS) dan sensus negara melaporkan sekitar 1 dari 5 wanita yang berusia antara 25-29 tahun masih belum menikah.[1] Sebaliknya, proporsi pria yang lebih menikah pada rata-rata usia tersebut berjumlah lebih tinggi, berkisar 1 dari 3.[5] Dalam sebuah Survei Pernikahan Nasional Tiongkok tahun 2010, mereka mengabarkan bahwa 9 dari 10 pria meyakini bahwa wanita harus menikah sebelum mereka berusia 27 tahun.[1] 7.4% wanita Tiongkok yang berusia antara 30-34 tahun belum menikah dan persentasenya jatuh menjadi 4.6% antara usia 35–39.[7] Dalam perbandingan dengan negara-negara tetangga lainnya dengan nilai-nilai tradisional yang sama, angka-angak tersebut membuat Tiongkok memiliki peringkat pernikahan perempuan tertinggi di dunia.[7] Disamping dikategorisasikan sebagai demografi "yang relatif langka", budaya sosial dan tradisi Tiongkok menempatkan masalah tersebut dalam sorotan sosial.[7]

Sebuah kajian dari pasangan berumah tangga di Tiongkok menyatakan bahwa pria memutuskan untuk menikahi pasangan yang lebih rendah secara sosio-ekonomi.[5] "Terdapat sebuah opini bahwa pria-pria kualitas A akan menemukan wanita kualitas B, pria-pria kualitas B akan menemukan wanita kualitas C, dan pria kualitas C akan menemukan wanita kualitas D," kata Huang Yuanyuan.[1] "Masyarakat menyisakan wanita kualitas A dan pria kualitas D. Sehingga jika kamu menjadi wanita sisa, kamu adalah kualitas A."[1] Seorang demografer University of North Carolina yang mengkaji ketidakseimbangan gender di Tiongkok, Yong Cai, lebih lanjut menyatakan bahwa "pria di bawah masyarakat meninggalkan pasar pernikahan, dan susunan yang sama tersebut datang untuk membuat wanita berada di puncak masyarakat".[15]

 
Aktris Hong Kong Adia Chan membintangi serial dalam Tiongkok-Singapura You Are the One dimana ia memerankan anak sulung yang memikirkan karir.

Tiongkok, dan beberapa negara Asia lainnya, berbagi sejarah panjang pandangan pernikahan konservatif dan patriakhal dan struktur keluarga meliputi pernikahan di usia muda dan hipergami.[5][23][25] Tekanan dari masyarakat dan keluarga telah menjadi sumber kritikan, permaluan, penyudutan sosial dan anksietas sosial bagi beberapa wanita yang belum menikah.[5] Chen, wanita lain yang diwawancara oleh BBC, berkata bahwa sheng nu adalah "membuat teman-teman dan tetangga-tetangga mereka akan menganggapku tak normal. Dan orangtuaku juga akan mereka mereka benar-benar kehilangan muka, saat teman-teman mereka semua memiliki cucu".[1] Sentimen serupa telah dialami wanita lainnya di Tiongkok, terutama di kalangan lulusan universitas. Sebuah laporan dari CNN mengutip survei 900 lulusan universitas perempuan di 17 universitas Tiongkok dimana sekitar 70 persen dari mereka yang disurvei berkata "kekhawatiran terbesar mereka adalah menjadi perempuan 3S".[26]

Peningkatan populasi wanita yang belum menikah di Tiongkok telah sebagian besar diakreditasikan ke pertumbuhan kelas menengah terdidik.[8] Wanita lebih bebas dan hidup mandiri dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.[8] Pada tahun 2013, Forbes mengabarkan bahwa, "11 dari 20 wanita berdikari terkaya di dunia adalah Tionghoa".[27] Selain itu, mereka menyatakan bahwa para CEO perempuan Tiongkok meliputi 19 persen dari wanita dalam pekerjaan manajemen membuatnya terbesar kedua di seluruh dunia setelah Thailand.[28] Yang lainnya menyatakan bahwa hal ini telah mengurangi niat para pria untuk mengkencani wanita yang secara profesional lebih sukses ketimbang mereka atau tak berniat untuk bekerja atau keduanya.[23] Sebuah tren pertumbuhan cepat dalam hubungan di luar nikah telah menjadi umum disurvei dan dikenal di kalangan wanita di Tiongkok.[25] Pada 1989, 15% wanita Tiongkok menjalani hubungan di luar nikah bertentangan dengan tahun 2013 dimana antara 60-70% telah melakukannya.[25] Profesor Chinese Academy of Social Sciences Li menyatakan bahwa ini menunjukkan peningkatan dalam jenis-jenis hubungan di kalangan generasi baru di Tiongkok.[25]

Sebuah gerakan di Tiongkok agar kata tersebut dicekal dari sebagian besar situs web pemerintahan, termasuk situs web Federasi Wanita Seluruh Tiongkok, secara marginal sukses.[2] Pemakaian kata tersebut diubah menjadi "wanita tua yang belum menikah", namun sheng nu masih merebak dan menjadi gagasan umum.[2] Istilah tersebut juga dikecam oleh beberapa feminis dengan pembukaan klub-klub sosial 'sheng nu'.[5] Dalam sebuah wawancara dengan penyunting fashion Sandra Bao oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting, Bao menyatakan bahwa "beberapa wanita lajang modern di Tiongkok menikmati kemerdekaan mereka dan merasa nyaman memegang hak pria, bahkan saat mereka beranjak tua." Ia kemudian menjelaskan, "Mereka tak ingin membuat kompromi karena usia atau tekanan sosial".[5]

Antara 2008 dan 2012, sosiolog Sandy To, saat di University of Cambridge, memakai kajian 'metode teori menurun; di Tiongkok terkait topik tersebut.[22] Riset To berfokus pada "pilihan mitra rumah tangga" oleh wanita profesional Tiongkok dalam bentuk tipologi dari empat "strategi pilihan mitra" yang berbeda.[22] Temuan utama dari kajian tersebut menemukan bahwa kepercayaan masyarakat bahwa wanita lajang dan berpendidikan tinggi yang masih belum menikah, atau tak ingin mengambil peran tradisional dalam pernikahan, karena niat sendiri berseberangan dengan mereka yang umumnya berniat untuk menikah dan tantangan utama mereka ada;lah sikap patriarkhal tradisional.[22] Kajian tersebut juga menekankan bahwa di negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, dimana wanita meraih pendidikan tinggi, yang secara bersamaan, rata-rata usia pernikahan di kalangan mereka berjumlah lebih tinggi.[29] People's Daily dari Tiongkok mengutip sebuah servei Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2012 yang menemukan 74 persen wanita di Britania Raya dan 70 persen wanita di Jepang adalah lajang antara usia 25 dan 29 tahun.[6] The China Daily menerbitkan sebuah artikel yang mengutip angka dari Data Pernikahan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2012 yang mengabarkan 38% wanita di Amerika Serikat, dan lebih dari 50% wanita di Inggris masih belum menikah pada usia 30an tahun.[7]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j Magistad, Mary Kay (20 February 2013). "BBC News - China's 'leftover women', unmarried at 27". BBC News. Beijing. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  2. ^ a b c d Simpson, Peter (21 February 2013). "The 'leftover' women: China defines official age for females being left on the shelf as 27". Mail Online. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  3. ^ Sebag-Montefiore, Clarissa (21 August 2012). "Romance With Chinese Characteristics". The New York Times. Diakses tanggal 2013-12-24. 
  4. ^ He Fing (30 November 2012). "The marry-by date outlives its usefulness". The China Daily. Diakses tanggal 2015-03-12. 
  5. ^ a b c d e f g Lee, Deborah Jian; Sushima Subramanian (17 October 2011). "China's Educated Women Can't Find Eligible Men". Pulitzer Center on Crisis Reporting. China. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  6. ^ a b HuangJin, Chen Lidan (26 February 2013). 中国"剩女"现象引热议 国外网友称欲学中文来中国 [China's 'leftover women' phenomenon arouses heated debate in West]. People's Daily (dalam bahasa Tionghoa). Diakses tanggal 23 April 2013. English
  7. ^ a b c d e Ng, Valerie; Nilsson, Erik (12 February 2012). "Much ado about shengnu". The China Daily. Diakses tanggal 2014-04-16. 
  8. ^ a b c Pratten, Nyima (19 March 2013). "Don't pity China's 'leftover women', they've got more going for them than you realise". The Independent. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  9. ^ a b c Schott, Ben (15 March 2010). "Leftover Ladies & 3S Women". The New York Times. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  10. ^ Yao, Joanne (13 August 2010). "Love letters: The A, B, C and D of finding 'the one' in Shanghai". CNN. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  11. ^ "Asian demography: The flight from marriage". The Economist. Seoul and Taipei. 20 August 2011. Diakses tanggal 18 April 2013. 
  12. ^ Lin Qi (2010-04-24). "The Dating game by Jiangsu TV". China Daily. Diakses tanggal 2017-07-10. 
  13. ^ di Francesco Pietrobelli (20 June 2017). "Amore con appuntamento: delirio occidentale a Chinatown". L'Intellettuale Dissidente (dalam bahasa Italia). Diakses tanggal 2017-07-10. 
  14. ^ 花勇军 (23 February 2013). 英国网民热议中国"剩女":结婚越早离婚率越高_雅虎资讯. Yahoo! News (dalam bahasa Chinese). China Radio International. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  15. ^ a b c Subramanian, Sushma; Lee, Deborah Jian (19 October 2011). "For China's Educated Single Ladies, Finding Love Is Often a Struggle". The Atlantic. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  16. ^ "China's Bachelors: When Men Outnumber Women". Pulitzer Center on Crisis Reporting. 
  17. ^ Wee, Sui-Lee; Li, Hui (21 January 2013). "In China, signs that one-child policy may be coming to an end". Reuters. Jiuquan, China. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  18. ^ a b c d e Fincher, Leta Hong (12 October 2012). "OP-ED CONTRIBUTOR; China's 'Leftover' Women". The New York Times. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  19. ^ To, Sandy (2015). China's Leftover Women: Late Marriage among Professional Women and its Consequences. Routledge. ISBN 9781317934189. 
  20. ^ Tian, Gan (13 March 2011). "A woman's way". China Daily. Diakses tanggal 7 April 2013. 
  21. ^ Sorcha Pollak (8 Feb 2013). "Chinese Relatives Pressuring You to Marry? Try a Rent-a-Boyfriend". TIME. Diakses tanggal 2015-03-12. 
  22. ^ a b c d To, Sandy (28 Feb 2013). "China's "leftovers" are rejects in a man's world". University of Cambridge. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  23. ^ a b c Simpson, Peter; De Lacey, Martha (28 February 2013). "'Chinese men want wives who are easier to control': How China's high-flying single women are rejected because male suitors are intimidated by their successes". Mail Online. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  24. ^ "China stigmatises educated single women as 'leftovers'". The Independent. 25 February 2013. Diakses tanggal 7 April 2013. 
  25. ^ a b c d Larson, Christina (23 August 2012). "China's 'Leftover Ladies' Are Anything But". Bloomberg Businessweek. China. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  26. ^ "Shanghai women's biggest fear: Life without a man". CNN. 25 August 2010. Diakses tanggal 29 March 2013. 
  27. ^ "Leftover women are 'yellowed pearls'". Times of India. 21 October 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-20. Diakses tanggal 30 March 2013. 
  28. ^ Keenlyside, Sarah; Wang, Lily (30 July 2012). "You Do Not Want To Be A Single Lady Over 28 In China". Business Insider. Diakses tanggal 30 March 2013. 
  29. ^ 者 俞陶然; 邬思蓓 (7 March 2013). "港大博士发表论文 称甲男配乙女观念催生剩女_雅虎资讯". Yahoo! News. Beijing. Diakses tanggal 23 April 2013. 

Bacaan tambahan