Orang Krowe
Orang Krowe atau disebut sebagai Ata Krowe adalah sekelompok masyarakat lokal yang hidup di Kampung Romanduru, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Indonesia. Julukan sebagai Ata Krowe merujuk pada makna kata “Krowe” yang berarti gunung dan Ata yang berarti orang. Dengan demikian, Orang Krowe sering diidentikan sebagai orang gunung karena wilayah dan tempat tinggalnya. Mereka juga menggunakan Bahasa Sikka sebagai penutur kesehariannya. Orang Krowe memiliki cara dan sistem sendiri dalam hal pengaturan lahan. Berbeda dengan masyarakat Nias yang menggunakan batas alam sebagai penanda batas antarkomunitas, Orang Krowe justru menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan secara turun temurun kemudian disimbolkan dalam bentuk budaya materi. Mereka tidak mengacu pada bentang alam seperti bukit dan jurang layaknya masyarakat Nias, tetapi mengacu pada simbol-simbol berupa budaya materi. Penelitian dari Utama (2014) menyebutkan bahwa beberapa simbol materi atau bendawi yang digunakan Orang Krowe untuk menandai suatu wilayah adalah watu mahang yang berarti batu sudut; wisung wangar yang berarti lokasi di mana terdapat rumah utama tiap-tiap klan; wu’a mahe yang diartikan pula sebagai batu mahe; ai tali yang juga diartikan sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang berlokasi di kebun adat setiap klan. Seluruh simbol-simbol bendawi tersebut berlokasi pusat permukiman dan mengelilingi permukiman. Kondisi Permukiman Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, Orang Krowe bermukim di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, wilayah Sikka merupakan daerah landai dan perbukitan yang memiliki luas wilayah 1.713,91 km2. Kabupaten Sikka juga berbatasan dengan daerah-daerah lain, seperti Utara : Laut Flores Selatan : Laut Sawu Barat : Kabupaten Ende Timur : Kabupaten Flores Timur. Di dalam Kabupaten Sikka terdapat 18 pulau, baik pulau yang didiami maupun yang sudah tidak didiami. Orang Krowe yang tinggal di Sikka amat akrab dengan keberadaan pegunungan, sebab daerah tersebut didominasi oleh pegunungan dan dataran rendah. Mereka tidak hanya bermukim di gunung, melainkan juga memberikan makna khusus terhadap gunung. Gunung mereka anggap sebagai “mama” yang memberikan mereka makanan dan menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang menitipkan gunung-gunung itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Dalam beberapa cerita lisan yang berkembang, Orang Krowe juga sangat memberikan keistimewaan pada keberadaan Gunung Mapitara yang berada di sebelah Gunung Egon, gunung vulkanik yang masih aktif hingga saat ini. Di dalam permukiman itu, juga masih banyak dijumpai perkampungan tradisional yang ditandai dengan pohon bambu setinggi dua meter yang mengeliling permukiman dan masih adanya lokasi untuk berperang. Sebagai misal, sebuah desa Watublai di tahun 1890-an masih dijadikan sebagai lokasi untuk berperang suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut. Secara khusus, Orang Krowe bermukim di kampung-kampung tua di wilayah pegunungan Sikka Tengah. Ada beberapa kampung di wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola, Kampung Eha, Kampung Hewokloang, Kampung kewagahar, dan lain-lain. Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru. Tradisi Ngen Tradisi Ngen dalam perspektif Orang Krowe diartikan sebagai cara hidup yang berpindah-pindah tempat atau migrasi. Tradisi tersebut telah diterapkan oleh Orang Krowe sejak masa silam bahkan sejak zaman bahari masih menyelimuti kehidupan suku-suku lain di sana. Tradisi Ngen tersebut juga ditujukan dengan penggunaan bendawri materi sebagai simbol yang masih dipertahankan di tempat tinggal barunya sebagai keberlanjutan dari budaya di tempat sebelumnya. Selain dapat ditelusuri melalui materi bendawi, tradisi ngen juga dapat dilacak melalui mitos-mitos yang diturunkan kepada keturunan mereka. Mitos-mitos yang ada mampu menjelaskan bentuk persebaran Orang Krowe di permukiman itu. Selain itu, Orang Krowe juga memiliki cerita tentang kedatangan sekelompok orang ke kampung tua dengan menggunakan perahu. Mitos itu diwariskan secara turun temurun sebagai asal usul penghuni kampung tua di permukiman Orang Krowe. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan miniature perahu yang terbuat dari logam, yang disebut sebagai Jong Dobo. Jong dalam Bahasa Sikka diartikan sebagai perahu, sedangkan Dobo diartikan sebagai tempat keberadaan perahu tersebut saat ini, yaitu berada di Desa Dobo. Menurut cerita yang ada, perjalanan orang-orang dari kampung lain itu dimulai dari India, Thailand, Selat Malaka dan berlanjut ke Indonesia melalui Sumatera, Jawa, Irian Jaya, Bima, Labuan Bajo. Kelompok pendatang itu berlayar ke pesisir pantai utara Pulau Flores dan mampir ke Koli Dobo hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke Ende. Dari Ende, kelompok tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Waipare yang kemudian menyebabkan jangkar kapal mereka terputus sehingga mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Setelah melalui perjalanan panjang ke beberapa wilayah, kelompok tersebut kemudian melabuhkan kapalnya ke Wolon Gele dan bekas tarikan kapal mereka dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai jalan kampung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Dobo karena keberadaan mereka tidak diterima di wilayah yang sebelumnya. Di Kampung Dobo mereka yinggal sejenak karena diterima oleh Moat Wogo Pigang. Setelah menetap di Kampung Dobo, Jong Dobo berubah menjadi perahu kecil yang terbuat dari logam. Menurut beberapa peneliti dari Belanda dan Australia, perahu logam tersebut dinilai berasal dari Sumeria pada abad ke-3 SM. Di dalam kapal tersebut terdapat 20 figur manusia, lonceng, dan ayam. Ayam tersbut mereka gunakan sebagai penanda waktu, sebagaimana penanda waktu yang ada saat ini. Tradisi Ngen hampir dikenal baik oleh seluruh Orang Krowe yang tinggal di Romanduru. Meskipun begitu, jumlah Orang Krowe yang tinggal di setiap kampung jumlahnya tidak sama. Di Romanduru misalnya, terdapat sepuluh suku yang terdiri dari Ili Lewa, Wodon, Buang Baling, Mana, Keytimu, Waen, Weweniur, Lio Watu bao, Lio Lepo Gai, Keytimu Lamen, dan Kluku Mude Lau. Masing-masing suku tersebut memiliki seorang Tana Pu’an, yaitu seseorang yang tokoh adat yang bertanggung jawab untuk memimpin ritual serta mengatur urusan pertanahan, pertanian, peternakan, dan perburuan. Dengan demikian, kedudukan Tana Puan hanya berada di level kampung. Kepercayaan Lokal Orang Krowe di Romanduru memercayai kekuatan ghaib sebagai “hakikat mutlak”. Kekuatan ghaib itu mereka sebut dengan “Nian Tana Lero Wulan” yang merupakan perpaduan dari Nian Tana (bumi) dan Lero-Wulan (matahari-bulan). Dengan demikian, mereka percaya dan menyembah pada unsur mutlak sebagai Tuhan, yaitu Tuhan Bumi dan Tuhan Matahari dan Bulan. Wujud penghambaan kepada dua unsur mutlak itu dipandang sebagai ekspresi masyarakat Krowe atas “wujud tertinggi”, bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa mereka menyembah lebih dari satu Tuhan. Selain pada “unusr mutlak” tersebut, Orang Krowe juga percaya pada roh-roh halus. Bagi mereka, roh halus mampu memengaruhi kehidupan manusia di bumi. Oleh sebab itu, bagi Orang Krowe, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan roh-roh halus tersebut. Setidaknya, ada tiga jenis roh halus yang mereka kenal. Pertama disebut dengan Nitu Noan yang mana “Nitu” diyakini sebagai penguasa dunia bawah atau bumi dan “Noan” yang diyakini sebagai pengiasa dunia atas atau langit. Kedua adalah Ata Ube yang mewujudkan dirinya sebagaimana manusia biasa namun memiliki kekuatan ghaib seperti roh-roh jahat lainnya. Ata Ube diyakini sebagai makhluk pemakan manusia. Ketiga adalah Ata haling yang diyakini sebagai kelompok roh halus yang berasal dari roh-roh jahat. Terlepas dari ketiga roh tersebut, Orang Krowe juga percaya bahwa arwah nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan Ata Krowe. Mereka meyakini bahwa kematian adalah proses dimana orang yang meninggal bersatu kembali dengan para leluhur. Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upaya pernikahan di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan antarkeluarga menjaid makin baik setelah melakukan pernikahan. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu adalah alam, arwah, dan Allah. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, gunung memiliki kekuatan yang berguna bagi kehidupan manusia sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan kerabat yang ditinggalkan. Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan arwah para leluhur melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan Kristiani kini telah mewarnai sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa agama Kristen baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang Portugis. Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penghormatan kepada leluhur melalui praktik-praktik kepercayaan adalah hal yang sangat penting bagi Orang Krowe. Mereka kemudian membedakan leluhur ke dalam tiga kelompok, yaitu arwah leluhur yang masih menjalani proses penyucian atau disebut dengan ina nitu pitu wali higun, ama noan walu wali hulu; para leluhur yang telah menjalani proses penyucian atau dikenal dengan ina nian tana wawa, ama lero wulan reta (ibu yang berada di bumi, bapak yang berada di atas angkasa); dan leluhur yang menguasai alam atau ina du’a ei mula pu’an, ama mo’an ei ongen unen. Bentuk penghormatan yang mereka lakukan terhadap arwah-arwah tersebut adalah dengan melakukan ritual di tempat-tempat yang dianggap sackal. Tiga tempat sakral yang digunakan oleh Orang Krowe untuk menghormati arwah nenek moyang adalah watu mahang yang disebuah sebagai sebuah piringan batu di salah satu ruangan rumah; wu’a mahe yang merupakan perkampungan arwah leluhur yang telah mengalami proses penyucian; ai taliya yang berarti altar persembahan kepada leluhur yang berada di bawah pohon tertentu di dalam hutan. Pola Perkampungan Tua Pola perkampungan di Kampung Romanduru, tempat tinggal Orang Krowe, terbilang khas. Menurut cerita lokal yang berkembang, para penduduk mendiami Kampung Romanduru karena di sana terdapat sumber mata air yang merupakan kebutuhan vital manusia, termasuk untuk minum, mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Setelah menemukan sumber mata air, mereka kemudian menggarap ladang, lalu mendirikan mahe. Pendirian mahe tersebut mereka sebut sebagai wisung wangar yang berbentuk sebidang tanah di mana di dalamnya terdapat rumah induk milik satu suku. Apabila masih ada sisa lahan, mereka diperkenankan untuk mendirikan satu rumah lagi, tetapi tidak dijadikan rumah induk. Rumah induk itu dikenal sebagai Lepo Gete ditinggali oleh anak laki-laki tertua dari setiap suku. Meskipun demkian, kondisi itu tidak berlaku ketat. Rumah induk tersebut tidak harus ditinggali oleh satu anak laki-laki tertua saja, anak kedua pun diperkenankan tinggal di rumah induk. Di dalam Lepo Gete tersebut juga terdapat sebuah batu bernama watu mahang yang letaknya ada di dalam kamar paling depan tepatnya di sudut sebelah kanan. Di atas batu tersebut diletakkan beberapa benda seperti gading, emas, biji-bijian, batu-batu kecil, dan kayu-kayu kecil. Di dalamnya juga terdapat batang bamboo yang berisi benda-benda pusaka atau dinamakan dengan mokung. Mokung tersebut menjadi penanda bahwa mereka memiliki hak atas Tana Howakhewer, sementara mereka yang tidak memiliki hak atas tanah itu hanya memiliki lempengan batu mendatar saja. Watu mahang tersebut biasa digunakan Orang Krowe untuk ritual-ritual domestik dalam lingkup keluarga inti. Pola perkampungan Orang Krowe seluruhnya hampir serupa, yaitu memiliki wisung wangar, mahe, watu mahang, dan ai tali. Seluruh kampung juga dikelilingi oleh tempat yang digunakan untuk buang air kecil dna buang air besar yang disebut dengan Siok Linok Ogor Wokor. Tempat itu dahulu dipergunakan oleh Orang Krowe untuk melakukan aktivitas ekskresi bersama-sama, sebelum mereka memiliki kamar mandi pribadi seperti saat ini. Tempat itu biasanya terletak di bawah pohon, utamanya adalah pohon beringin yang juga mengelilingi kampung mereka sekaligus dijadikan sebagai batas antara permukiman dan hutan serta tanah garapan. Meskipun digunakan secara bersama-sama, Orang Krowe menggunakan pohon yang tumbuh di dekat rumahnya masing-masing. Perlu diketahui, pohon beringin tersebut jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka tidak perlu memakai pohon beringin “milik” orang lain. Dalam Bahasa sederhana, antar-keluarga tidak saling bergantian tempat ekskresi. Selain itu, pohon-pohon beringin tersebut juga dikelilingi oleh semak-semak belukar yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi penutup bagi mereka ketika melakukan aktivitas ekskresi. Kotoran-kotoran yang mereka hasilkan juga kemudian menjadi fases dan dimakan oleh binatang-binatang peliharaan seperti babi dan anjing yang hidup secara bebas di sana. Perlu diketahui pula, Orang Krowe tidak mengandangkan binatang-binatang tersebut, sehingga keberadaan binatang itu mampu mempermudah mereka mengurai kotorannya. Setelah batas Siok Linok Ogor Wokor, terdapat sebuah hutan dan tanah garapan yang dapat dimanfaatkan warga untuk melakukan aktivitas pertanian dan mengumpulkan kayu.