Sejarah astrologi mengkaji perkembangan astrologi dari masa ke masa dalam berbagai kebudayaan di berbagai belahan dunia. Astrologi merupakan suatu jenis kegiatan ramal-meramal terhadap bumi dan manusia berdasarkan berbagai pengamatan serta intrepertasi dari benda-benda langit seperti bintang dan konstelasinya, Matahari, Bulan, dan planet-planet. Penggiat astrologi mempercayai bahwa dengan memahami pengaruh planet-planet dan berbagai bintang terhadap peristiwa yang terjadi di Bumi mereka dapat memperkirakan dan mempengaruhi takdir atau jalan hidup dari suatu individu, kelompok, bahkan negara. Meskipun dalam kajian sejarah astrologi dulunya sempat dianggap sebagai bagian dari sains, saat ini praktik-praktik astrologi dinilai sama sekali bertentangan terhadap kaidah-kaidah ilmiah keilmuan modern.

Astrologi
Lambang astrologi
Cabang Astrologi
The planets in astrology
Astrology project

Praktik-praktik astrologi dapat terlacak di berbagai kelompok masyarakat atau kebudayaan dalam berbagai periode waktu. Astrologi memiliki asal-usul sejak zaman prasejarah dan terus berkembang hingga ke zaman modern, yang mana bisa dimengerti melalui kajian etnoastronomi–astronomi yang dipraktikan dalam masyarakat. Dalam kebudayaan Barat, yang mana astrologi disini berasal dari peradaban Mesopotamia dan kemudian berkembang pada peradaban Yunani Kuno, telah mengalami berbagai pengkajian oleh peneliti-peneliti terkait. Namun, terdapat pula tradisi astrologi yang berkembang pada kebudayaan masyarakat India yang tetap bertahan selama 2.000 tahun. Selain itu, sistem astrologi yang cukup kompleks juga dikembangkan oleh kebudayaan Tiongkok dan Mesoamerika, ketika saat itu seluruh masyarakat tengah mencari keterkaitan aspek sosial-religius terhadap makna dari benda-benda langit dan pergerakannya.

Kemunculan awal

Astrologi dalam pengertian yang luas merupakan pencarian makna langit yang dilakukan oleh manusia— pencarian ini bertujuan untuk memahami keterkaitan benda-benda dan fenomena di langit terhadap sifat manusia baik secara umum maupun mendetail. Terdapat gagasan yang menyatakan bahwa astrologi mulai dipelajari di saat kehidupan manusia telah menyadari kemudian menghitung dan mencatat bahwasannya peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi seperti contohnya perubahan musim dapat di prediksi dengan menggunakan siklus astronomis tertentu.

Bukti tertua praktik-praktik ini berupa berbagai jejak atau guratan yang tertera di tulang-tulang dan dinding-dinding gua, yang mana menunjukan bahwa perubahan fase bulan telah dikenal oleh manusia setidaknya pada 25.000 tahun yang lalu. Ini merupakan langkah awal sebelum manusia dapt menghubungkan bulan dengan fenomena pasang-surut air laut atau menggunakannya sebagai patokan kalender dalam kebudayaan mereka. Dengan berkembangya teknologi pertanian pada zaman Neolitikum, masyarakat pada masa ini juga telah menyadari pentingnya pengetahuan terhadap konstelasi-konstelasi bintang tertentu untuk memprediksi perubahan musim atau banjir yang dapat mempengaruhi produktivitas pertanian mereka. Kemudian di akhir abad ke-30 SM, peradaban-peradaban manusia telah mengembangkan pemahaman yang cukup kompleks terkait benda-benda dan fenomena di langit, dan mereka juga telah melibatkan ini dalam kepercayaan mereka— dapat terlihat dari kuil-kuil atau pemakaman peninggalan mereka yang memiliki orientasi tertentu terhadap pergerakan matahari atau bintang-bintang tertentu.

Terdapat berbagai bukti yang menunjukan bahwa refrensi astrologi tertua dalam bentuk tertulis berasal dari periode ini, terutama yang berasal di Mesopotamia. Dari kuineform peninggalan Bangsa Mesopotamia yang diperkirakan di buat pada pemerintahan raja Sargon (2334-2279 SM) ditemukan catatan mendetail mengenai hasil observasi Venus di periode tersebut, dan juga terdapat kalimat-kalimat yang menghubungkan hasil ini sebagai suatu pertanda untuk kekuasaan Sargon. Selain itu terdapat juga catatan berupa pertanda astrologi yang dikaitkan dengan pemilihan raja, contohnya adalah saat raja Gudea dari Lagash naik tahta sebagai pemimpin Bangsa Sumeria (2144-2124 SM). Catatan ini menggambarkan bagaimana dewa-dewa memberi petunjuk kepada Gudea dalam mimpinya, suatu konstelasi bintang yang paling baik untuk menjadi arah orientasi dari kuil-kuil peribadatan. Bukti-bukti di periode selanjutnya (1950-1651 SM) menunjukan bahwa penggunaan astrologi paling awal sebagai suatu sistem pengetahuan terintegrasi dan telah memiliki kajian yang sistematik diatributkan pada dinasti-dinasti di peradaban Mesopotamia kuno.

Astrologi di peradaban lampau

Mesopotamia

Daerah Mesopotamia seringkali disebut sebagai tempat lahirnya peradaban manusia, dikarenakan banyak dari gagasan dan teknologi dari peradaban kuno di daerah ini yang kemudian diadopsi ke dalam peradaban modern.  Pada tulisan-tulisan di kuneiform (sejenis prasasti) yang ditemukan, diketahui bahwa sejak akhir abad ke-30 SM, peradaban di Mesopotamia telah mengidentifikasi dan membuat daftar yang berisi nama "bintang" dan konstelasinya di langit. Bintang dalam pengertian kebudayaan Mesopotamia adalah segala objek nampak yang ada di langit termasuk planet, komet, meteor, ataupun bintang dan konstelasinya. Dari berbagai kajian arkeoastronomi, benda-benda langit diketahui mempunyai peran yang sangat penting dalam tradisi Mesopotamia terutama untuk yang berkaitan dengan kepercayaan dan ritual peribadataan masyarakat. Salah satu tradisi peninggalan peradaban Mesopotamia yang paling terkenal adalah tradisi ramal-meramal atau pembacaan pertanda dengan merujuk fenomena-fenomena yang terjadi di langit. Tradisi ini juga diperkirakan telah muncul bersamaan dengan saat catatan-catatan mengenai pengamatan bintang dibuat, yakni di awal abad ke-30 SM dan kemudian menjadi cikal-bakal astrologi oleh masyarakat modern. Saat ini, terdapat ratusan peninggalan kuneiform yang menjelaskan berbagai pertanda atau ramalan yang dapat disimpulkan dari pengamatan benda-benda langit.

Bukti-bukti peninggalan lain yang berupa catatan sejarah mengenai pembacaan pertanda astrologi secara komprehensif dan sistematis diberi nama Enuma Anu Enlil. Catatan ini berasal dari kurun abad ke-16 dan terdiri dari 70 tablet kuneiform yang menjelaskan sekitar 7.000 pertanda yang dapat diamati di langit. Pada masa ini penggunaan ilmu astrologi hanya untuk hal-hal yang bersifat aplikatif seperti untuk meramal musim, cuaca atau yang berkaitan dengan politik. Pada abad ke-7 SM aplikasi dari astrologi di peradaban Mesopotamia semakin meluas, terdapat simbol-simbol astrologi yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas masyarakat yang dilakukan berdasarkan musim seperti bertani, berburu dan menangkap ikan, atau mempersiapkan cadangan air untuk musim kemarau. Hal ini kemudian berlanjut dan pada abad ke-4 SM, perkembangan metode matematis membuat peradaban Mesopotamia telah mampu memprediksi pergerakan planet dengan akurasi tertentu yang mana kemudian membuat bermunculannya catatan-catatan yang lebih mendetail mengenai pergerakan benda-benda langit.

Astrologi yang berkembang pada peradaban Mesopotamia didasarkan pada keperluan ramal-meramal. Terdapat kumpulan lebih dari 32 kuineform berbentuk hati yang berasal dari kurun tahun 1875 SM, dan berisi tentang kaidah yang sama tentang bagaimana suatu pertanda di langit dapat diinterpretasikan. Jejak dan berbagai tanda yang kemudian ditemukan pada hati hewan kurban diinterpretasikan sebagai simbol-simbol yang berkaitan dengan pesan para dewa kepada raja.

Para dewa juga dipercaya mentransformasikan bentuk mereka ke dalam suatu benda-benda langit baik planet, bulan, ataupun bintang sesuai gambarannya masing-masing. Suatu pertanda buruk juga melekat pada planet-planet tertentu yang mana planet-planet tersebut dianggap sebagai indikasi ketidakpuasan atau kemarahan dewa-dewa yang digambarkan oleh planet tersebut. Indikasi yang diintepretasikan tersebut membuat kebudayaan Mesopotamia memiliki ritual atau cara tertentu untuk membuat senang para dewa. Ritual-ritual ini dilakukan agar kemarahan para dewa tersebut tidak berdampak banyak terhadap raja dan juga kerajaannya. Sebuah catatan astronomi menunjukan bahwa raja Esarhaddon menganggap gerhana bulan yang terjadi pada bulan Januari 673 SM merupakan suatu petunjuk tentang bagaimana upacara penggantian raja dilakukan. digabungkan dengan kepercayaan penuh terhadap hal-hal magis dan pertanda lainnya

Mesir pada era Helenistik

Pada tahun 525 SM, Mesir ditaklukan oleh Bangsa Persia dan diyakini setelah itu terdapat banyak pengaruh terhadap astrologi Bangsa Mesir yang diberikan oleh astrologi kebudayaan Mesopotamia. Pengaruh dari kebudayaan Mesopotamia dicontohkan pada dua simbolisasi dalam zodiak bangsa Mesir – zodiak Libra dan Scorpio pada zodiak Dendera bangsa Mesir.

Setelah pendudukan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, Mesir berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Bangsa Yunano. Kota Alexandria merupakan kota yang dicetuskan oleh Iskandar Agung setelah penaklukan tersebut pada abad ke-3 hingga ke-2 SM. Kota Alexandria di Mesir ini yang kemudian menjadi tempat bercampurnya astrologi Mesir dengan astrologi yang berasal dari periode akhir kebudayaan Mesopotamia. Astrologi Mesir kemudian memasukan berbagai konsep yang terdapat pada kebudayaan Mesopotamia seperti pentingnya pengaruh planet, konsep tripolisitas, dan pengaruh gerhana. Bersama dengan ini, Bangsa Mesir menggabungkan konsep pembagian zodiak kedalam 36 segmen (decan) pada suatu lingkaran langit, dan memberi penekanan terhadap konstelasi bintang yang dominan, sistem dewa-dewa Yunani yang berkaitan dengan planet, pertanda dari pemerintahan, dan empat elemen utama (air, udara, tanah, api).

Dekan merupakan suatu sistem pengukuran waktu yang didari pengamatan konstelasi bintang. Sistem ini dimulai oleh terbitnya konstelasi Sirius. Terbitnya suatu dekan tertentu di langit digunakan untuk membagi waktu (jam) pada suatu malam. Terbitnya suatu konstelasi bintang sesaat sebelum terbitnya matahari dianggap sebagai jam terakhir dari suatu malam. Setiap tahunnya, konstelasi-konstelasi bintang ini terbit sesaat sebelum matahari terbit selama sepuluh hari. Saat konstelasi-konstelasi ini menjadi bagian dari zodiak peradaban Hellenistik (323-30 SM; selatan Eropa-Timur Tengah ), setiap dekan dihubungkand engan 10 zodiak-zodiak tersebut. Catatan sejarah dari abad ke-2 SM memprediksi posisi dari suatu planet berdasarkan pertanda zodiak disaat terbitnya dekan tertentu, terutama konstelasi Sirius.Salah satu gagasan yang paling penting dan kemudian menjadi basis astrologi modern adalah pengembangan horoskop astrologi oleh Ptolemeus yang saat itu tinggal di Alexandria, Mesir.

Romawi-Yunani

Penaklukan wilayah Asia oleh Iskandar Agung membuka jalan bagi peradaban Yunani untuk mengelaborasikan gagasan dan tradisi mereka terhadap gagasan lain yang berasal dari Suriah, Mesopotamia, dan Asia Tengah. Peradaban Yunani kemudian mempelajari bahasa dan huruf yang terdapat pada kuineform sebagai bagian dari transmisi kebudayaan tersebut. Pada kurun tahun 280 SM, Brossus, seorang pendeta dari kota Babylon, melakukan perjalanan ke Pulau Kos di Yunani untuk mengajarkan astrologi dan kebudayaan Babilonia kepada masyarakat Yunani. Pada abad pertama sebelum Masehi, terdapat dua jenis astrologi yang berkembang di Yunani, salah satu jenis membutuhkan pemahaman terhadap horoskop untuk mengetahui detail akurat dari masa lalu, saat ini, dan masa depan, sementara yang satunya lagi bersifat sangat magis dan mengedepankan kuasa dewa-dewi yang ditunjukan dalam pertanda-pertanda yang muncul di langit. Namun, pembagian-pembagian ini tidak bersifat eksklusif dan bisa jadi saling beririsan, jenis astrologi pertama bertujuan untuk mencari informasi tentang suatu kehidupan, sementara jenis kedua lebih menaruh perhatian pada suatu transformasi yang bersifat pesonal dimana astrologi dianggap sebagai suatu jenis komunikasi terhadap dewa-dewa.

Seperti wilayah lainnya di bagian selatan Eropa, astrologi pada peradaban Romawi kuno sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani. Diantara kebudayaan Romawi dan Yunani, kebudayaan Babilonia mengidentifikasi astrologi merupakan suatu ilmu ramal meramal yang menggunakan planet-planet dan bintang sebagai pertanda. Ahli astrologi menjadi bagian penting dari kekaisaran Romawi pada masa itu. Kaisar Tiberuis misalnya, ia memiliki ramalan tentan takdir dan jalan hidupnya semenjak lahir, semasa hidupnya ia juga dikelilingi oleh ahli astrologi seperti Thrasyllus dari Mendes. Menurut Juvenal (pujangga pada masa ini), "terdapat orang-orang yang bahkan tidak dapat tampil di depan umum, makan, ataupun mandi, jika tanpa berkonsultasi terlebih dahulu terhadap ahli astrologi'. Namun sebaliknya, Claudius lebiih mempercayai augury yaitu peramalan yang didasarkan terhadap pertanda dari pergerakan dan kelakuan burung-burung, ataupun pergerakan hewan lainnya. Claudius secara bersamaan juga melarang ahli astrologi untuk beraktivitas di Roma pada saat itu.

Peradaban Islam klasik

Astrologi mulai masuk dalam kajian para pemikir Islam ketika jatuhnya kota Alexandria kepada Bangsa Arab di abad ke-7 Masehi, dan juga sejak berdirinya Kesultanan Abbasiyah pada abad ke-8 Masehi. Khalifah kedua dari kesultanan ini, Muhammad Al-Mansur mendirikan kota Baghdad sebagai pusat pembelajaran, termasuk di dalamnya terdapat perpustakaan sebagai pusat terjebahan yang dikenal juga sebagai Bayat al-Hikma "Gudang Kebijaksanaan", yang mana perpustakaan ini menerima banyak karya-karya astrologi dari periode Hellenistik Eropa dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab. Salah satu penerjemah awal diantaranya Mashallah ibn Athari, yang membantu memilih pendirian kota Baghdad, dan Sahl ibn Bishr, yang karya-karyanya kemudian memberi pengaruh langsung terhadap ahli astrologi Eropa seperti Guido Bonatti pada abad ke-13 Masehi, dan William Lilly pada abad ke-17 Masehi. Literatur-literatur pengetahuan peradaban Islam klasik mulai dibawa masuk ke dalam kebudayaan Eropa pada abad ke-12 Masehi dan kemudian memberi pengaruh besar terhadap revolusi ilmiah yang terjadi di Eropa.

Diantara nama-nama ahli astrologi dalam kebudayaan Arab, salah satu yang paling terkenal adalah Abu Maʿshar, dengan karyanya yang berjudul Kitāb al‐mudkhal al‐kabīr yang kemudian menjadi salah satu risalah astronomi terkenal di Eropa. Selain itu, nama Al-Khwarizmi tidak hanya dikenal sebagai ahli matematika, ia juga dikenal sebagai ahli astronomi, astrologi, dan geografi.

Selama perkembangan sains dalam peradaban Islam klasik, beberapa praktik-praktik astrologi mendapat banyak pertentangan dari kalangan ilmuwan dan cendikiawan Islam, seperti oleh Al-Farabi, Ibn Haytham, dan Ibnu Sina. Kritik-kritik mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan oleh ahli astrologi hanya melalui konjektur dan tidak berdasarkan fakta-fakta empiris, serta dari kalangan cendikiawan Islam ortodoks yang mengkritik bahwasanya hanya Tuhan yang mengetahui dan dapat memprediksi masa depan secara pasti. Namun, kritik-kritik ini lebih cenderung diarahkan kepada cabang astrologi dengan metodenya yang berusaha untuk memprediksi nasib atau masa depan berdasarkan suatu horoskop. Cabang astrologi lainnya seperti astrolgi medis dan astrologi cuaca masih dipandang sebagai ilmu yang sah pada masa itu.

Sebagai contoh pandangan Ibnu Sina dalam bukunya Resāla fī ebṭāl aḥkām al-nojūm "Sanggahan terhadap astrologi", Ibnu Sina menentang praktik-praktik astrologi yang mengklaim dapat memprediksi nasib atau masa depan manusia berdasarkan posisi planet dan bintang-bintang. Namun, Ibnu Sina tetap mempercayai bahwa posisi bintang-bintang dan planet dapat memberikan pengaruh ke bumi termasuk kepada manusia, tetapi hal ini terjadi secara deterministik atau dapat dijelaskan dengan ilmu alam ketimbang ramalan-ramalan yang bersifat magis.

Eropa abad pertengahan-renaisans

Di saat astrologi dan ilmu-ilmu lainnya sedang berkembang pesat di wilayah Asia—seperti pada kebudayaan India, Persia, dan Islam klasik — pasca runtuhnya kekaisaran Romawi, astrologi dunia Barat di periode yang sama mengalami kemunduran dikarenakan hilangnya sumber-sumber ilmu astronomi yang berasal dari peradaban Yunani dan juga akbiat hukuman yang diberikan oleh Gereja pada praktik-praktik astronomi yang bertentangan. Hingga kemudian terjemahan dari karya-karya berbahasa Arab mulai memasuki peradaban Eropa melalui Spanyol pada abad ke-10 hingga abad ke-12 Masehi, di mana peristiwa transmisi ilmu pengetahuan ini menyebabkan keilmuan di peradaban Eropa "mengalami dorongan hebat".

Memasuki abad ke-13, astrologi telah menjadi bagian dari keseharian praktik-praktik medis di Eropa. Tabib-tabib menggabungkan metode pengobatan Galenus bersama dengan pengamatan bintang-bintang. Memasuki tahun 1500an, ahli fisika di wilayah Eropa diharuskan untuk menghitung terlebih dahulu posisi bulan sebelum melakukan tindakan medis yang rumit seperti operasi atau yang menangani pendarahan.

Karya-karya berpengaruh di abad ke-13 Eropa termasuk diantaranya yang ditulis oleh pendeta Inggris, Johannes de Sacrobosco dan ahli astrologi Italia, Guido Bonatti. Bonatti menyediakan layanan astrologinya secara umum kepada pemerintahan kota Firenze, Siena, dan Forli, sekaligus bertindak sebagai penasihat Federick II, Tahta Suci Roma. Buku astrologinya yang berjudul Liber Astronoiae (Buku astronomi) ditulis pada tahun 1277, dan mendapat reputasi sebagai "buku paling penting pada bidang astrologi yang terbit dalam bahasa Latin di abad ke-13". Sementara itu salah satu penulis pada abad pertengahan di Eropa menggambarkan Guido Bonatti sebagai penghuni neraka yang selalu melihat kebelakang dalam bukunya sebagai hukuman akibat kegiatan ramal-meramalnya.

Pada era Renaisans, ahli astrologi lapangan akan melengkapi penggunaan data-data horoskop mereka dengan pengamatan dan penemuan astronomis. Banyak dari praktisi-praktisi astrologi yang saat kemudian menjadi sosok dibalik penjungkirbalikan gagasan-gagasan astronomi kuno seperti Tycho Brahe, Galileo Galilei, dan Johaness Kepler. Di akhir era Renaisans, astrologi mulai kehilangan tempatnya di bidang ilmu pengetahuan. Dengan jatuhnya fisika Aristotelian karena diganti oleh fisika Newtonian, dan juga terdapat penolakan terhadap gagasan pembagian alam bawah-alam atas pada teori geosentris sebelumnya yang mana menjadi dasar ilmu astrologi. Kemudian memasuki abad ke-18, ketertarikan kalangan intelektual terhadap astrologi hampir sepenuhnya tidak ditemukan.

India

Dalam kebudayaan masyarakat India, astrologi atau jyotisha, adalah bagian dari "vedanga", salah satu cabang "pengetahuan" yang dibutuhkan untuk memaham literatur-literatur Weda yang dianggap sakral. Tradisi astrologi telah mengakar dalam kebudayaan India dan terus bertahan sejak literatur-literatur astrologi horoskopis peradaban Yunani kuno digabungkan dengan pandangan astrologi Hindu pada milena pertama tahun Masehi. Literatur utama yang dikaitkan dengan astrologi kebudayaan masyarakat India yang paling terkenal diantaranya Bṛhat Parāśara Horāśāstra dan Sārāvalī  yang ditulis oleh Kalyāṇavarma. Horāśāstra merupakan kumpulan karya-karya yang membentuk 71 bab, yang mana volume pertama dari buku ini (bab 1-51) memiliki penanggalan pada kurun abad ke-7 hingga awal abad ke-8 Masehi, dan volume ke-2 memiliki penanggalan pada akhir abad ke-8 Masehi. Sementara Sārāvalī memiliki penanggalan sekitar kurun tahun 800an Masehi. Terjemahan bahasa Inggris dari literatur-literatur ini diterbitkan oleh N.N. Krishna Rau dan V.B. Choudhari pada tahun 1961 dan 1963.

Penggambaran dari astrologi kebudayaan masyarakat India tidak hanya berguna sebagai deskripsi penciptaan alam semesta, tetapi terpisah dari hal tersebut, astrologi juga menjadi bagian dari kebudayaan masyarakatnya.Terdapat pula proses lanjut dari interpretasi astrologi dalam kebudayaan India, yang mana masyarakat kebudayaan ini harus menerima apapun informasi atau prediksi yang diberikan oleh astrologi. Pertanda-pertanda yang berkaitan dengan kejadian di masa depan yang diberikan oleh konfigurasi-konfigurasi astrologis tertentu dari konstelasi bintang atau planet-planet dapat memberikan petunjuk tentang ritual tertentu, meditasi, peribadatan, atau azimat yang harus dilakukan dan dikenakan untuk menghindari masalah di masa depan. Dengan petunjuk ahli astrologi, masyarakat India akan mendatangi suatu kuil tertentu, kemudian melakukan meditasi di depannya,membawa persembahan berupa bunga-bunga, menyiram air atau susu diatasnya, dan membakar dupa dengan harapan agar asap dupa membawa doa-doa mereka ke surga.

Tiongkok

Chinese astrology has a close relation with Chinese philosophy (theory of the three harmonies: heaven, earth and man) and uses concepts such as yin and yang, the Five phases, the 10 Celestial stems, the 12 Earthly Branches, and shichen (時辰 a form of timekeeping used for religious purposes). The early use of Chinese astrology was mainly confined to political astrology, the observation of unusual phenomena, identification of portents and the selection of auspicious days for events and decisions.

The constellations of the Zodiac of western Asia and Europe were not used; instead the sky is divided into Three Enclosures (三垣 sān yuán), and Twenty-eight Mansions (二十八宿 èrshíbā xiù) in twelve Ci (十二次). The Chinese zodiac of twelve animal signs is said to represent twelve different types of personality. It is based on cycles of years, lunar months, and two-hour periods of the day (the shichen). The zodiac traditionally begins with the sign of the Rat, and the cycle proceeds through 11 other animals signs: the Ox, Tiger, Rabbit, Dragon, Snake, Horse, Goat, Monkey, Rooster, Dog, and Pig.Complex systems of predicting fate and destiny based on one's birthday, birth season, and birth hours, such as ziping and Zi Wei Dou Shu (simplified Chinese: 紫微斗数; traditional Chinese: 紫微斗數; pinyin: zǐwēidǒushù) are still used regularly in modern-day Chinese astrology. They do not rely on direct observations of the stars.

The actual history behind the Chinese zodiac is much less fantastical and much harder to find. It’s known from pottery artifacts that the animals of the zodiac were popular in the Tang Dynasty (618-907 A.D.), but they were also seen much earlier from artifacts from the Warring States Period (475-221 B.C.), a period of disunity in ancient Chinese history, as differing factions fought for control.

It’s been written that the animals of the zodiac were brought to China via the Silk Road, the same central Asian trade route that brought the Buddhist belief from India to China. But some scholars argue that the belief predates Buddhism and has origins in early Chinese astronomy that used the planet Jupiter as a constant, as its orbit around the earth took place every 12 years.

Still, others have argued that the use of animals in astrology began with nomadic tribes in ancient China who developed a calendar based on the animals they used to hunt and gather.

The scholar Christopher Cullen as written that beyond satisfying the spiritual needs of an agrarian society, the use of astronomy and astrology was also an imperative of the emperor, who had the responsibility for ensuring harmony of everything under heaven. To rule well and with prestige, one needed to be accurate in astronomical matters, Cullen wrote. Perhaps that is why the Chinese calendar, including the zodiac, became so entrenched in Chinese culture. In fact, reforming the calendar system was viewed as appropriate if political change was eminent.

The belief that everyone and every animal has a role to play in society translates well with Confucian beliefs in a hierarchical society. Just as Confucian beliefs persist in Asia today alongside more modern social views, so does the use of the zodiac.

It’s been written by Paul Yip, Joseph Lee, and Y.B. Cheung that births in Hong Kong regularly increased, bucking declining trends, to coincide with the birth of a child in a dragon year.

Temporary fertility rate increases were seen in the dragon years of 1988 and 2000, they wrote. This is a relatively modern phenomenon as the same increase wasn’t seen in 1976, another dragon year.

The Chinese zodiac also serves the practical purpose of figuring out a person’s age without having to ask directly and risk offending someone.

Peradaban Maya

Masyarakat Maya memiliki hubungan yang unik dengan berbagai benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, planet-planet, konstelasi bintang, dan bahkan galaksi Bima Sakti. Untuk mengidentifikasi konsep astrologi bangsa Maya, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu kaitan atau peran benda-benda langit tersebut dalam kebudayaan dan kepercayaan Bangsa Maya.

Dalam kebudayaan Maya, Matahari merupakan benda langit paling penting. Matahari disimbolisasikan dalam beberapa jenis hewan seperti, burung makau merah, burung kolibri, dan puma. Dewa Matahari dalam kepercayaan Maya bernama Kinich Ahau. Kinich Ahau merupakan salah satu dewa terkuat dalam kepercayaan Maya dan dikaitkan dengan Itzamna, salah satu sosok pencipta dalam kepercayaan Maya. Kinich Ahau akan bersinar sepanjang hari sebelum berubah bentuk menjadi jaguar di malam hari untuk melewati XibalbaI, nama dari dunia bawah dalam kepercayaan Maya.

Bulan dalam kebudayaan masyarakat Maya hampir memiliki peran yang sama pentingnya dengan Matahari. Umumnya Bulan diidentikan dengan unsur feminin dalam kebudayaan Maya, meskipun terdapat juga penggambaran maskulin dari bulan dalam peninggalan-peninggalan seni di Meksiko tengah bahkan terdapat juga penggambaran yang menggambarkan Bulan memiliki unsur maskulin dan feminin sekaligus. Penggambaran feminin dari Bulan adalah Dewi Ix Chel yang juga merupakan istri dari sosok pencipta Itzamna. Dewi Ix Chel seringkali dihubungkan dengan aktivitas yang biasanya dilakukan atau hanya terjadi pada kaum wanita seperti menenun, memintal, dan melahirkan. Sementara itu, penggambaran maskulin Bulan dalam kebudayaan masyarakat maya berkaitan dengan peran laki-laki dalam masyarakat seperti bermain bola, atau kependetaan. Seperti matahari dan planet-planet, dinasti Maya juga seringkali mengklaim bahwa mereka merupakan titisan dari bulan.

Dalam kebudayaan masyarakat Maya, dalam bahasan etnografis, bulan juga dikaitkan dengan pertanian jagung, dan keterkaitan ini dibuktikan dengan gambar-gambar yang ditemukan pada peradaban Maya klasik yang menunjukan bahwa kemunculan bulan bersamaan dengan aspek feminin dan maskulin dari dewa-dewa pertanian jagung. Pada peradaban Maya klasik, Dewi Bulan dalam kepercayaan masyarakat maya seringkali digambarkan sebagai sosok yang muda. Ahli astronomi pada peradaban Maya kuno juga telah mampu menganalisis dan memprediksi pergerakan bulan dengan sangat akurat seperti perubahan fasenya dan terjadinya gerhana bulan.

Dari kajian arkeoastronomi, lukisan yang berbentuk ular langit diyakini memiliki keterkaitan dengan penggambaran dari planet Venus dalam kebudayaan Maya. Ditemukan berbagai simbol planet Venus yang terpampang bersama simbol ular langit atau perwujudan manusia dari ular langit tersebut yang diberinama Quetzalcoatl. Pada wilayah kerajaan Maya kuno di Meksiko tengah, Dewa Angin yang merupakan bagian dari Venus diberi nama Eheacatl-Quetzalcoatl, dan diyakini bersemayam di kuil-kuil pemujaan yang berbentuk bulat. Dari Kodex Dresden peninggalan Bangsa Maya, ditemukan lima variasi dari Bintang Fajar, namun lima variasi dari planet Venus ini hanya digambarkan oleh satu sosok dewa yaitu Tlauhuizcalpantecuhtli. Setiap variasi dari penggambaran Tlauhuizcalpantecuhtli menunjukan Venus di berbagai musim yang berbeda.

Penggambaran Venus lainnya pada periode klasik dari peradaban Maya ditemukan di reruntuhan Palenque. Dari legenda lokal dapat diidentifikasi keterkaitan Venus dalam tritunggal dewa-dewa dalam kebudayaan Maya. Planet Venus dilambangkan sebagai sosok tertua dari tiga dewa-dewa ini, Jupiter merupakan saudara tengah, dan Matahari merupakan sosok termuda. Planet-planet ini kemungkinan menjadi objek pemujaan pada kebudayaan Mesoamerika pra-Columbus. Monster yang menggambarkan planet Mars juga ditemukan di salah satu kodex peninggalan bangsa maya pascaklasik. Dalam peradaban klasik maya, Mars dilambangkan oleh seekor rusa langit. K'awil, yang dikenal sebagai sosok dewa garis keturunan bangsawan seringkali dikaitkan dengan ritual-ritual yang melibatkan planet Jupiter dan Saturnus. Ka'wil kemungkinan digambarkan di Meksiko bagian tengah sebagai Tezcatlipoca, dewa langit malam yang memiliki hubungan terhadap berbagai planet dan juga rasi bintang Ursa Mayor.

Bangsa Maya mengenal Bima Sakti sebagai sebuah jalan, sungai, atau tempat peristirahatan arwah yang telah meninggal. Namun, bukti-bukti sejarah juga menunjukan Bangsa Maya dengan kebudayaan yang lebih kontemporer memvisualisasikan Bima Sakti sebagai suatu ular raksasa, atau ditemukan juga ikonografi yang menggambarkan Bima Sakti sebagai reptil dari periode klasik Bangsa Maya (300-900 M). "Monster Kosmis" Bima Sakti ini merupakan simbolisasi dari dunia bawah pada peradaban Maya dimana monster ini tidak digambarkan sendiri sebagai suatu pita di langit melainkan bersama simbol-simbol lainnya seperti matahari, bulan, dan venus. Sebuah pita langit sebagai simbolisasi monster kosmis ini juga muncul pada kodex-kodex peradaban Maya praklasik, seperti pada Kodex Dresden dimana dewa dari planet Venus dipasangkan dengan dewa pertambahan usia. Kodex praklasi lainnya adalah kodeks Paris yang menggambarkan zodiak Bangsa Maya terdiri dari 13 konstelasi bintang yang menggambarkan, menunjukan lima konstelasi dengan nama hewan yang terletak pada pita langit ini.

Di antara zodiak-zodiak tersebut, zodiak dengan yang diberi nama "kura-kura" merujuk pada bintang-bintang di konstelasi Orion, zodiak dengan nama "ular derik" merujuk pada suatu konstelasi yang mencangkup konstelasi Pleiades di dalamnya. Terdapat juga zodiak "kalajengking" yang merujuk pada bintang-bintang di rasi Scorpio pada peradaban modern, dimana ini merupakan suatu kebetulan yang mengejutkan dan jarang terjadi. Zodiak-zodiak ini menyertai primbon Bangsa Maya yang terdiri dari 1820 hari dan terdiri dari 5 siklus setiap 364 hari, tiap siklusnya dibagi kedalam 28 hari, yang kemungkinan merujuk pada perubahan fase bulan. 

Oseania

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, astrologi sejak dulu hingga kini masih melekat dalam beberapa aspek kehidupan mereka, terutama di wilayah Jawa dan Bali. Masyarakat di wilayah ini terutama di pedesaan menentukan beberapa upacara adat seperti pernikahan, dan pembakaran jenazah melalui kombinasi penanggalan pada kalender mereka.

Di wilayah polinesia

Traditional Polynesian astronomers tended to be divided into two groups: the sky

watchers, whose task was to watch for omens, keep the calendar, and arrange rituals

and festivals, and the wayfinders, who presided over the knowledge necessary for

navigation. The examination of celestial omens conforms to a broad definition of

astrology. In New Zealand, the Maori developed a class of experts, tohunga

kokorangi, who were versed in the entire range of celestial lore, including the

measurement of celestial positions and evaluation of their significance; Best (1955)

referred to these practices as “natural astrology”. An example of Maori practice

includes the following: a lunar occultation – when the Moon passes directly in front

of a certain star – is a potentially difficult military omen. If the star reappears when

the Moon has passed, it was said, a fort will be captured. One informant reported

that “the star knows all about the coming trouble. . . Just before the battle of Orakau

we saw this sign..As we were a war party of course our warriors made much of this

omen” (Best 1955, p. 68). The tohunga kokorangi would watch the sky for omens,

communing with celestial deities and purging his soul. If the tohunga kokorangi

saw a dangerous sign, such as a comet, he would recite ritual formulae in order to

defuse the threat and protect his people.

He may even have been actively engaging with the sky, acting as a cocreator, for

there was a belief that certain men, with sufficient power, could cause a solar halo to

appear at will.  

Astrologi di era modern

Kebudayaan Barat

Pada kebudayaan Barat, beberapa pemimpin politik suatu negara terkadang melakukan konsultasi terhadap ahli astrologi. Sebagai contoh, Badan Intelejen Inggris (MI5) mempekerjakan Louis de Wohl sebagai penasihat astrologis setelah terdapat klaim yang menyatakan Adolf Hitler menggunakan kaidah-kaidah astrologi dalam menjalankan aksi militernya. Namun faktanya, prediksi yang dilakukan Wohl sangat tidak akurat sehingga ia dengan segera dicap sebagai "tukang obat", pun kemudian ditemukan bukti bahwasannya Hitler menganggap astrologi merupakan hal "yang tidak masuk akal". Contoh lainnya adalah yang dilakukan Ibu Negara Amerika Serikat, Nancy Reagan, yang secara rahasia menyewa Joan Quigley, seorang ahli astronogi, pasca percobaan pembunuhan yang dilakukan terhadap suaminya, Ronald Reagan oleh John Hinckley. Namun, karir Quigley berakhir pada tahun 1988 ketika pekerjaannya ini bocor ke publik Amerika Serikat.

Pada tahun 1960an terdapat lonjakan ketertarikan terhadap astrologi. Ahli sosiologi Marcello Truzzi menggambarkan bahwa terdapat tiga tahapanyang membuat orang percaya terhadap "Astrologi". Ia menemukan bahwasannya kebanyakan orang yang percaya astrologi tidak beranggapan bahwa astrologi memiliki penjelasan ilmiah atau kekuatan untuk memprediksi sesuatu. Kalangan ini merupakan kalangan yang secara tidak mendalam terlibat dalam ilmu astrologi dalam artian kalangan yang tak banyak mengerti metode-metode astrologi, kalangan yang hanya membaca prediksi astrologi pada kolom di surat kabat, dan juga kalangan yang mungkin mendapatkan manfaat dari "manajemen emosi dan kecemasan" dan "sistem kepercayaan yang secara kognitif melampau sains". Kalangan kedua dari urutan tersebut merupakan kalangan yang telah mengidentifikasi horoskopnya sendiri dan mencari saran dan prediksi terhadap nasib mereka dari ahli astrologi. Kalangan ini biasanya berumur relatif muda, dan mendapat manfaat dari pengetahuan mereka terhadap astrologi yang kemudian menghasilkan kesimpulan koheren terhadap nasib mereka atau suatu kelompok. Kelompok ketiga dari urutan tersebut merupakan kelompok yang terlibat secara mendalam dan biasanya mereka memprediksi garis nasib mereka sendiri melalui horoskop yang mereka miliki. Kelompok ketiga ini juga biasanya menanggapi isu-isu astronomi secara serius, bahkan menganggapnya sakral, sementara dua kelompok sebelumnya cenderung menganggapi isu-isu ini dengan main-main atau tidak terlalu serius.

Pada tahun 1953, ahli sosiologi, Theodor W. Adorno, melakukan kajian terhadap kolom astrologi di surat kabar kota Los Angeles sebagai bagian dari proyek pengujian kebudayaan masyarakat dalam suatu komunitas kapitalis. Adorno meyakini bahwa astrologi populer, sebagai alat prediksi, selalu mengarahkan prediksi-prediksinya terhadap hal-hal yang umumnya diterima secara sosial dan membuat pendengarnya merasa nyaman—namun terdapat pula ahli astrologi yang melawan hal-hal tersebut sehingga beresiko kehilangan pekerjaan dan penghasilannya. Adorno juga menyimpulkan bahwasannya astrologi adalah manifestasi berskala besar dari pemikiran irasional yang sistematis, dimana setiap individu secara harus diarahkan untuk mempercayai bahwa penulis dari kolom ramalan horoskop menujukan kolom tersebut khusus terhadap mereka. Pada tahu 2005, survei yang dilakukan oleh Gallup dan juga pada surve yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2009% melaporkan setidaknya 25% masyarakat Amerika Serikat berusia dewasa mempercayai astrologi.

India dan Jepang

Di India terdapat kepercayaan terhadap astrologi yang secara luas telah mengakar dalam kebudayaan mereka. Astrologi umumnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan dan pekerjaan. Politik di India juga dipengaruhi oleh astrologi, dan astrologi masih dianggap sebagai cabang pembelajaran dari Wedanga. Pada 2001, terjadi perdebatan antara ilmuwan dan politikus india mengenai adanya proposal penggunaan anggaran negara untuk membiayai penelitian astrologi, debat ini menghasilkan izin bagi universitas-universitas di India untuk mengajarkan materi kuliah yang berkaitan dengan astrologi Weda. Pada 2011,pengadilan tinggi Mumbai menegaskan kembali posisi astrologi di India sebagai bagian dari sains ketika terdapat gugatan yang ingin menghapus bidang tersebut dari sains.

Di Jepang, kepercayaan terhadap astrologi membawa perubahan dramatis terhadap tingkat kesuburan dan jumlah aborsi tiap tahunnya di tahun Kuda Api. Penganut kepercayaan terhadap astrologi meyakini bahwasanya bayi perempuan yang lahir pada tahun hinoeuma tidak akan dapat menikah dan membawa nasib buruk kepada ayah dan suaminya. Pada tahun 1966, angka kelahiran bayi turun diatas 25% ketika kebanyakan orang tua memilih untuk menghindari stigma negatif tentang kelahiran bayi perempuan di tahun hinoeuma.

Catatan

Catatan kaki
Referensi

Daftar Pustaka

Buku