Pengungsian Rakyat Vietnam di Indonesia
Pengungsian Rakyat Vietnam di Indonesia adalah pengungsian dari negara vietnam karena perang saudara di Vietnam. Perang yang berlangsung panjang pada akhirnya selalu menyebabkan kesengsaraan. Masyarakat umum yang sering tidak mengerti apa-apa akhirnya yang selalu menjadi korban. Untuk menyelamatkan diri, dari pada bertahan di Vietnam.
Awal Mula
Pulau Galang, salah satu wilayah Kepulauan Riau, ternyata menyimpan cerita menarik. Di sini, beberapa puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1975 hingga 1996 berdiri kamp pengungsian Vietnam yang menyeberang menjadi manusia perahu akibat perang saudara. Cerita heroik Rambo ala Amerika yang berperang melawan tentara Vietkong yang kejam, ternyata mendapatkan sisi lain di Pulau seberang pulau Bata erahu kayu, mengarungi Samudera luas untuk bisa sampai ke sini.[1] Kisah ini dimulai 19 April 1975, saat pecah perang saudara di Vietnam. Perang yang berlangsung panjang pada akhirnya selalu menyebabkan kesengsaraan. Masyarakat umum yang sering tidak mengerti apa-apa akhirnya yang selalu menjadi korban. Untuk menyelamatkan diri, dari pada bertahan di Vietnam. [1]
Celakanya, Vietnam bukanlah negara dengan wilayah besar di mana orang bisa dengan leluasa bersembunyi. Mau tidak mau, pilihannya adalah keluar dari Vietnam. Dan yang mengerikan adalah pilihan paling memungkinkan keluar dari Vietnam adalah melalui laut, samudera yang ganas. Mau tidak mau, piluhan itulah yang harus diambil daripada mati konyol oleh tentara komunis vietkong yang sangat ganas.
Transportasi Pengungsian
Kapal yang mereka gunakan adalah kapal kayu kecil sebesar kira-kira satu buah bis besar. Satu kapal diisi sekitar 75 orang. Bayagkan betapa mereka berdesak-desakkan di dalam perahu kecil tersebut. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana bisa secepatnya keluar dari Vietnam.
Setelah kurang lebih selama satu bulan berlayar mengarungi Samudera, tibalah rombongan pertama dari manusia perahu Vietnam ini pulau Natuna di wilayah kepulauan Riau sekarang pada tanggal 21 Mei 1975. Mereka berjumlah 75 orang menumpang satu buah perahu kayu.
Menyusul setelah itu, gelombang para pengungsi Vietnam ini semakin lama semakin banyak hingga akhirnya menjadi permasalahan di beberapa negara tetangga Vietnam, yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsapun kemudian turun tangan. Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi UNHCR mengadakan rapat beberapa negara di Bangkok yang akhirnya menetapkan menjadikan satu pulau di Indonesia untuk dijadikan tempat pengungsian.
Dipilihlah pulau Galang yang relatif masih kosong untuk dijadikan tempat pengungsian. Pulau Galang yang luasnya 250 ha itu kemudian diambil 80 ha untuk dijadikan kawasan pengungsiang. Manusia perahu Vietnam yang tersebar di beberapa kepulauan akhirnya disatukan di Pulau Galang. Dari hasil penyatuan di berbagai tempat itulah terkumpul hingga 250 ribu jiwa, sebuah jumlah yang sangat dahsyat besarnya.[2]
Failitas Pengungsian
Kawasan pengungsian ini lumayan lengkap. Selain fasilitas barak-barak pengungsian, terdapat juga rumah sakit, sekolahan, rumah ibadah berbagai agama secara lengkap, pemakaman umum, bahkan terdapat juga penjara bagi orang-orang yang melakukan kejahatan.[2]
Wilayah pengungsian ini dibuat eksklusif, tertutup bagi orang luar, kecuali fasilitas rumah sakit di mana masyarakat umum bisa menggunakan fasilitas tersebut secara gratis. Urusan keamanan diserahkan kepada pihak TNI Polri yang diawasi secara ketat oleh PBB.
Sebagai sebuah wilayah pengungsian, fasilitas yang ada termasuk lengkap. Sistem pengairan air bersih dibuat melalui pipa-pipa cukup besar dari mata air di luar pulau. Sistem kelistrikan juga baik, dilihat dari tiang-tiang listrik yang masih berdiri hingga sekarang.
Bagi para profesional seperti dokter, mereka langsung dilibatkan di rumah sakit, lebih tepat disebut klinik kesehatan. Mereka sedapat mungkin disalurkan sesuai keahlian. Sementara bagi yang tidak punya keahlian, diperbantukan untuk membangun rumah dan fasilitas pendukungnya.
Dana Pengungsian
Indonesia tentu tidak sanggup ataupun tidak mau membiayai para pengungai yang jumlahnya mencapai 250 ribu orang tersebut. UNHCR yang akhirnya membiayai, tentu saja sumber dananya dari seluruh anggota PBB.
Seluruh biaya hidup orang-orang di pengungsian ini ditanggung UNHCR. Makan sehari-hari, pendidikan, hingga kesehatan dijamin oleh lembaga PBB ini. Pokoknya hidup mereka sangatlah enak karena tidak memikirkan kewajiban apapun. Semua sudah ditanggung.[3] Karena enak itulah, kamp pengungsian itu berjalan selama kurang lebih 16 tahun. Setelah perang berakhir pihak UNHCR berniat memulangkan mereka ke Vietnam. Namun ternyata tidak mudah. Para pengungsi yang ingin dipulangkan melakukan protes berbagai hal. Menurut cerita Pak Said, penjaga museum sekarang, mereka menenggelamkan perahu yang sudah dimiliki, bahkan beberapa orang melakukan bunuh diri.
Peninggalan Dari Pengungsian
Hingga sekarang, yang tersisa dari itu semua adalah museum dan bangunan tua yang tidak terawat dibiarkan rusak begitu saja. Nampak rongsokan mobil teronggok di berbagai pelataran bangunan. Satu bangkai motor Suzuki Chrystal tahun 1995 terlihat di depan museum. Wilayah penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang Batam ini sebenarnya merupakan sejarah yang sangat menarik. Cerita tragis dan heroisme para manusia perahu ini sebenarnya bisa mengalahkan cerita Rambo ala Amerika yang mengambil setting dan tempat kejadian di Negara yang sama.[3] Sangat disayangkan memang, tempat eksotik yang sarat nilai sejarah itu nampaknya dibiarkan roboh satu per satu dengan sendirinya. Mudah-mudahan ada pihak yang mau tergerak melestarikan dan mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata sejarah yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Referensi
- ^ a b "Melihat Sejarah Memilukan Pengungsi Vietnam Dengan Berwisata Ke Pulau Galang, Batam" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ a b "Sejarah Pulau Galang & Misteri Kampung Vietnam Batam | Wisatalova". Wisatalova (dalam bahasa Inggris). 2016-05-26. Diakses tanggal 2017-12-14.
- ^ a b [ https://nasional.tempo.co/read/58546/napak-tilas-pengungsi-vietnam], Pengungsi Vietnam, 13 Desember 2017