Ugamo Malim

agama tradisional masyarakat Batak
Revisi sejak 23 Januari 2018 05.56 oleh Marubat Sitorus (bicara | kontrib) (Konten sebelumnya tentang Parmalim ditulis orang lain yang tidak memahami Parmalim. Tulisan ini dibuat oleh subjek pembahasan, yaitu penganut Ugamo Malim/ Parmalim yang berasal dari Hutatinggi dibawah pimpinan Raja Monang Naipospos saat ini.)

Pengertian Parmalim dan Ugamo Malim

Ugamo Malim adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Pencipta alam semesta Tuhan Yang Maha Esa, Mulajadi Nabolon, yang merupakan kelanjutan dari perkembangan simultan sistem religius ke-Tuhanan yang dianut suku Batak sejak dahulu kala. Orang Batak memahami dan memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan merupakan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan (keberadaan dirinya) maupun sebagai sumber penghidupan (keberlangsungan dan kepemilikan hidupnya). Spiritualitas memelihara alam ciptaaan Mulajadi Nabolon, dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada kuasa Sang Pencipta dipelihara dengan rirual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi KEHIDUPAN dan PENGHIDUPAN. Beberapa ritual tersebut dilaksanakan dalam bentuk upacara persembahan kepada sang Pencipta. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan upacara dan perlengkapan “pelean” (persembahan), dilakukan dengan sangat hati-hati menukuti tata laksana dan aturan ketentuan yang telah menjadi “patik” dalam upacara terkait. Kegiatan menata persiapan upacara dan terutama menata “pelean” persembahan dinamakan “mang-UGAMO-hon”. Selaras dengan itu orang-orang yang senantiasa melaksanakan ritual persembahan, mendapat julukan “par-UGAMO” atau “parugama” dalam bahasa Batak lama. Sebutan “parugamo” itu kembali populer di Toba, ketika pengaruh “religiusitas – asing”  sudah marak di tanah Batak, menjadi entitas dan identitas orang yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Ugamo artinya keberaturan, penataan dengan benar.

Malim berarti kuasa kesucian Mulajadi Nabolon, Malim juga sebutan kepada utusan dan titisan roh Mulajadi Nabolon mengemban tugas menyampaikan kuasa suci (hamalimon). Dengan intonasi yang berbeda kata “malim” adalah kata penunjuk sifat, yang bermakna memiliki sifat-sifat para MALIM, yang merepresentasikan sifat benar, suci, dan alim, memiliki makna yang hampir sama dengan kata penunjuk sifat “sintua” yang juga telah digunakan sebagai penunjuk orang. Bedanya kata MALIM itu menyiratkan juga sifat “TUHAN” dan para “malim”-NYA.

Dalam bahasa Batak, orang yang menganut dan mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut par-Ugamo Malim, dan disingkatkan menjadi Parmalim. Namun dalam sebutan populer saat ini, kata Parmalim sering digunakan (pihak eksternal) juga untuk lembaga kepercayaan UGAMO MALIM itu sendiri. Sekumpulan orang dalam melaksanakan satu kegiatan dan satu tujuan dalam bahasa Batak disebut Punguan. Punguan Parmalim dapat diartikan sebagai perkumpulan penganut Ugamo Malim dan wadah maupun sarana tempat perkumpulan Parmalim melakukan ritual kepercayaanya. Punguan Parmalim (inganan parpunguan) sebagai identitas tempat ibadah dan lembaga perkumpulan parmalim. lazim digunakan sejak awal berdirinya Bale Pasogit Partonggoan di Hutatinggi Laguboti, yang diamanahkan Raja Sisingamangaraja – Raja Nasiakbagi – Patuan Raja Malim kepada muridnya Raja Mulia Naipospos.

Ringkasnya dapat diterangkan : Ugamo Malim adalah ajararan kepercayaan, Parmalim adalah orang penghayatnya, Bale Pasogit Parmalim adalah Pusat peribadata Ugamo Malim. Sedangkan Punguan Parmalim memiliki dua maksud yang sangat berbeda yaitu; 1). Tempat perhimpunan/perkumpulan beribadah, unit warga parmalim bernaung dalam satu tempat peribadatan/ Bale Parsantian yang dipimpin seorang Ulu Punguan. Ulu Punguan menjalankan tugas dan fungsi yang didelegasikan Ihutan Parmalim dari Bale Pasogit Parmalim. Ulu Punguan mewakili Ihutan Parmalim memimpin peribadatan dalam lingkup Punguan Parmalim yang dipimpinnya.  Dan 2) Organisasi Punguan Parmalim sebagai wadah penghayat Ugamo Malim (parmalim) untuk urusan non religiusitas (internal), dan dalam hubungan administratif Ugamo Malim dengan pemerintah dan masyarakat (eksternal).

Berdirinya Bale Pasogit Parmalim di Hutatinggi Laguboti. Semasa eksistensi Dinasty Sisingamangaraja Bale Pasogit Pamujian ada di Bakkara, namun selama masa perang saat “penjajah” membumi-hanguskan Bakkara juga termasuk Bale Pasogit Sisingamngaraja ikut di bakar. Raja Sisingamangaraja mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan Bale Pasogit kelak, sebagai wadah tempat “Pamujian Nabolon” menghimpun kelak orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap Mulajadi Nabolon. (Amanat tersebut kembali diingatkan setelah peristiwa 17 Juni 1907, oleh sosok yang menamakan diri Nasiakbagi seraya menunjuk tempat “ojahan” dan gambar rupa Bale Pasogit yang akan didirikan Raja Mulia.)

Terkait amanah mendirikan Bale Pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun, barulah tahu 1921 Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi Laguboti melalui Surat Contoleur van Toba Nomor 1494/13 tanggal 25 Juni 1921.

Bermula dari sini, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual, pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi dibawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.

Kepemimpinan (Pinisepuh) Ugamo Malim

           Raja Si Singamangaraja sebagai Malim dan Imam bagi orang Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Sang Pencipta, Tuhan Mulajadi Nabolon, dalam ajarannya beliau menamakan diri Raja Nasiakbagi-Patuan Raja Malim. Hal ini seturut dengan pahit getirnya hidup beliau selama menegakkan Ugamo Malim sebagai perintah Tuhan. Dan agar kelak pengikutnya mengenang dan meneladani pengorbanan dan penderitaan menjalankan Ugamo Malim.

           Raja Mulia Naipospos : Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya Raja Mulia Naipospos untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim disebut Ihutan Bolon Par-Malim disebut juga Induk bolon (Pemimpin Besar), setelah diangkat dan ditabalkan oleh sang malim Raja Nasiakbagi sebagai generasi I pemimpin Parmalim.

Raja Ungkap  Naipospos: Selanjutanya puteranya bernama Raja  Ungkap Naipospos,   meneruskan  kepemimpinan  pada  tahun 1956 sebagai Ihutan Parmalim generasi ke II. Pada masa sebelumnya, tahun 1939 beliau telah mendirikan Parmalim School bertempat di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini anak-anak Parmalim dari semua pelosok bisa sekolah, agar tidak ketinggalan dengan sekolah zending Kristen. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak Parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing.Selama kepemimpinannya, beliau melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran Parmalim. Beliau menulis ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh Parmalim. Juga membuat ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi, yang sebelumnya hanya bersifat lisan. Pengorganisasian Parmalim secara administratif pun dimulai di masa ini, yang dilaksanakan beliau sendiri. Menjelang akhir hayat Raja Ungkap Naipospos, Ugamo Malim Hutatinggi-Laguboti, terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan pemerintah (Depdikbud) pada tahun 1980 yaitu keputusan Depdikbud RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap wafat pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 1981.        

Raja Marnangkok Naipospos : Setelah Raja Ungkap wafat, kepemimpinannya diteruskan putera sulungnya Raja Marnangkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok Naipospos yang lahir pada tanggal 18 Juli 1939, meneruskan pekerjaan Ihutan Parmalim. Melakukan pemeliharaan dan renovasi bangunan fisik Bale Pasogit dan menambah bangunan pendukungnya dengan melibatkan swadaya umat Parmalim, Dalam upaya meningkatkan pembinaan Parmalim, Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap, kemudian membukukan dan  mencetaknya  untuk disebarluaskan di kalangan parmalim yang jumlahnya semakin banyak.

Raja Monang Naipospos : Raja Marnangkok Naipospos wafat tahun 2016 kepemimpinannya diteruskan Raja Monang Naipospos sebagai Ihutan Parmalim keempat sejak tahun 2017. Raja Monang Naipospos yang sejak lama aktif dalam upaya-upaya pemberdayaan dan pembaharuan Parmalim, kedepan mencanangkan para pengikutnya kedepan lebih menguatkan penerapan nilai-nilai HAMALIMON dalam praktik kehidupan nyata, sesuai dengan kredo: “Parmalim Naimbaru mulak tu hapitaon hasintaongan hamalimon”.

Pranara Luar

  • [belum ada situs resmi komunitas Parmalim]

Templat:Penghayat kepercayaan di Indonesia