Muzoon Almellehan lahir di Suriah tepatnya di daerah Daraa pada tanggal 8 April 1999. Ia menjadi pengungsi pertama di Inggris, bersama-sama dengan keluarganya lewat Yordaniasaat negaranya terlibat konflik dan peperangan.. Ia bersama keluarganya keluar dari negaranya karena menginginkan sebuah hidup yang normal, jauh dari konflik dan peperangan. Ketika usianya 19 tahun ia menjadi ambassador di UNICEF. Walaupun usia nya sangat belia namun ia mempunyai cita-cita dan mimpi besar untuk mendorong anak-anak dan remaja perempuan mendapatkan sebuah keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan. Karena di negaranya perempuan mendapatkan pendidikan adalah hal yang mahal untuk di raih perempuan.

Muzoon Almellehan juga menyayangkan dengan banyaknya kasus pernikahan anak yang terjadi di negaranya sebagai hal yang biasa oleh masyarakat. Apalagi dalam kondisi konflik menikahkan anak perempuan sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupannya. Tetapi hal itu adalah sebuah keputusan yang salah. Karena pernikahan mereka dibangun dengan pondasi yang sangat rapuh. Sehingga Muzoon merasa perlu memberikan pendidikan kepada perempuan-perempuan untuk terus mengenyam pendidikan. Dan menunggu masa pernikahannya saat usia perempuan dan laki-laki sudah benar-benar siap secara ekonomi, psikologis dan sosial. Sehingga kasus-kasus yang terjadi dikarenakan pernikahan di bawah usia bisa diminimalisir.

Walaupun Muzoon sudah tinggal di Inggris dengan kehidupan yang sangat nyaman, namun Muzoon tetap ingin kembali membangun negaranya dari puing-puing keruntuhan akibat peperangan. Ia ingin menjadi seorang jurnalis perempuan sehingga ia bisa menuliskan semua peristiwa kehidupannya dalam sebuah tulisan.

ia tidak putus asa untuk terus berjuang demi perempuan-perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Karena dengan pendidikan perempuan akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak, dengan pendidikan pula perempuan mampu memberikan perubahan pada negaranya dan pendidikan adalah kunci untuk masa depan.[1]

Referensi

  1. ^ "This 17-year-old Syrian refugee has a message world leaders need to listen to". The Independent (dalam bahasa Inggris). 2016-02-04. Diakses tanggal 2018-03-10.