Musthafa Husein al-Mandili
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Syeikh Musthafa Husein Al-Mandili Lahir di Tano Bato 1886, meninggal 1955; Umur 59 Tahun adalah Ulama Indonesia dan Pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Syeikh Musthafa Husein Al-Mandili | |
---|---|
Lahir | Muhammad Yatim 1886[1] Tano Bato,Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Hindia Belanda |
Meninggal | 1955[1] Purba Baru, Lembah Sorik Marapi, Mandailing Natal |
Kebangsaan | Indonesia |
Karya terkenal | Pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru |
Dipengaruhi
| |
Namanya diabadikan di gedung utama IAIN Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara [1], pesantren tertua di Sumatera[3] yang telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Tanah Air, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang[4]. Syekh Musthafa Husein yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Syeikh Purba atau Tuan Na Tobang ( na tobang adalah bahasa daerah yang artinya tua ).Syeikh Musthafa Husein seorang ulama Mandailing Natal bumi gordang sambilan sekaligus serambi mekahnya sumut. Beliau salah satu WALIYULLAH yang mendapatkan karamah diantaranya mampu berjalan diatasi air dan tidak terkena hujan saat terjadi banjir di Purba lamo.
Keluarga
Syekh Musthafa Husein lahir dari keluarga yang berada. Bapaknya adalah seorang pedagang hasil bumi di Pasar Tanobato serta sudah pula melakukan ibadah haji. Bapaknya berasal dari Huta ( sekarang desa ) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu dan ibunya berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.
Syekh Musthafa Husein yang pada masa kecilnya bernama Muhammad Yatim adalah anak ke 3 dari 8 orang bersaudara, anak dari H. Husein dan Hj Halimah[1].
- Anak tertua ( pertama ) adalah Nuruddin menetap dan wafat di Malaya (Malaysia)
- Hamidah wanita kawin dan wafat di Panyabungan
- Muhammad Yatim riwayat hdupnya yang sedang dibahas
- Siddik gelar Mangkuto Saleh menetap dan wafat di Kayulaut Mandailing
- Saleh menetap dan waqfat di Medan
- Mardin ( H. Umnaruddin ) menetap dan wafat di Mekkah Saudi Arabia
- Harun menetap dan wafat di Pekalongan, Jawa Tengah
- Abdul Gani meninggal hanyut sewaktu Pasar Tanobato mendapat serangan banjir besar pada malam Ahad, tanggal 28 Nopember 1915.
Adapun Muhammad Yatim sendiri yang sesudah nikah dengan nama Musthafa Husein menikah dengan Habibah dari desa Hutapungkut, Kotanopan ia mempunyai 9 orang anak yaitu :
- Siti Aisyah
- Hj Ramlah
- H. Abdullah
- Sa’diyah
- Asmah
- Azizah
- Fatimah
- Abdul Kholik
- Faridah
Kelahiran dan masyarakat sekitar
Musthafa Husein lahir pada tahun 1886[1], di Tano Bato[5], dari keluarga kaya masyarakat biasa. Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya kebanyakan berada dalam keadaan menyedihkan dan tertekan. Pemerintah kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai. ( Pada masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatera di dekat perbatasan dengan daerah Pasaman, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar tanobato,Tapus dan Natal .
Menuntut Ilmu
Muhammad Yatim awalnya mengaji di Hutapungkut dalam bimbingan Syekh Abdul Hamid [1], sekitar 2 tahun ( 1898 – 1900 ). Dalam pengajian 2 tahun itu pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad. Di luar hari mengaji Muhammad Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid ke kebun kopi yang jaraknya 3 KM dari desa Hutapungkut. Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa menjelang pengajian berlangsung.
Sesudah pengajian di Hutapungkut Muhammad Yatim dianjurkan oleh gurunya Syekh Abdul Hamid untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah, Saudi Arabia. Dan ini pula sejalan dengan harapan orang tuanya. Pada sekitar bulan Rajab tahun 1900 ia berangkat ke Mekkah, Saudi Arabia bersamaan dengan keberangkatan orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji. Keberangkatan ini dibiayai separuhnya oleh orang tuanya.
Pada 5 tahun pertama sesudah belajar di Masjidil Haram Mekkah Saudi Arabia Muhammad Yatim merasa bahwa dia tidak memperoleh ilmu, lalu dia pernah memutuskan akan pindah belajar ke Mesir[1]. Walau belum dikonsultasikan dengan orang tuanya. Semua barang-barang sudah dikemasi dan tinggal menunggu keberangkatan. Pada saat menunggu keberangkatan ( menunggu keberangkatan kapal ) dia berjumpa dengan salah seorang pelajar yang berasal dari Palembang yang juga sedang menuntut ilmu agama Islam di Masjidil Haram Mekkah. Kepada pelajar ini Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia mau pindah belajar dari Masjidil Harom, Mekkah ke Mesir karena sesudah 5 tahun belajar dia belum merasa mendapatkan ilmu. Pelajar yang berasal dari Palembang itu mengajak Muhammad Yatim berdiskusi serta membantu menjelaskan pelajaran yang ada selama ini di Masjidil Haram, Mekkah. Sejak itu Muhammad Yatim mulai memahami perlajaran-pelajaran yang ada selama ini. Dan akhirnya dia mencabut kembali keputusannya untuk tidak jadi pindah ke Mesir. Seterusnya dia kembali belajar di Masjidil Haram sebagaimana sediakala. Semenjak itu para gurunya mulai mengenalnya lebih baik. Pada saat yang demikian guru-gurunya mengubah namanya dari Muhammad Yatim menjadi Musthafa berarti orang pilihan.
Dalam belajar di Masjidil Haram Mekkah yang cara belajarnya secara halaqoh ( belajar dengan duduk bersila mengelilingi guru dan mengambil tempat di serambi mesjid ) dia belajar kepada ulama-ulama yang terkenal pada masa itu seperti :
- Syekh Abdul Qadir bin Shobir Al-Mandili[2]
- Syekh Ahmad Sumbawa
- Syekh Saleh Bafadhil
- Syekh Ali Maliki[1]
- Syekh Umar Bajuned[1]
- Syekh Ahmad Khatib Sambas[1][5]
- Syekh Abdul Rahman[1]
- Syekh Umar sato
- Syekh M. Amin Mardin.
- Syekh Mukhtar Aththorid Al-Boghori[6]
Dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya melalui agama Islam seperti :
- Al Quran
- Bahasa Arab beserta tata bahasanya
- Tafsir
- Fiqih
- Hadits
- Tauhid
- Ilmu Falak
- Balaghah
- ‘Arudl
- Qosidah Barzanji
Pelajaran-pelajaran ini diikutinya secara berurutan
Kembali Ke Indonesia
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1912 ( dipanggil pulang karena orang tuanya meninggal dunia ) ia sambil mengajar ( selanjutnya lihat karier sebagai pendidik ) dia juga terus menambah ilmu dengan mengadakan hubungan-hubungan ( kunjungan ) kepada guru-guru / pemuka masyarakat di Mandailing. Bersamaan dengan itu dia juga membaca buku-buku sejarah Indonesia dan dunia, politik, perdagangan dan perekonomian, pertanian dan kesehatan. Di samping itu dia juga bergaul dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial yang membidangi pertanian, kesehatan dan pamong desa ( pada zaman pemerintah kolonial disebut kuria dan raja-raja ). Dengan pejabat-pejabat yang digaulinya itu dimintanya pula untuk mengajar di madrasah yang telah dididirikannya ( selanjutnya lihat juga karier sebagai pendidik ). Dan dalam bergaul dengan pejabat itu dia tidak memandang agama, walau pada waktu itu ada anggapan bahwa agama di luar Islam tidak sah. Malahan pendapat ini masih berkembang sampai sekarang di madrasah setempat. Pemuka dan salah seorang yang digaulinya itu adalah Dr. Ferdinand Lumbantobing seorang yang beragama Kristen. Disamping ia ini juga pernah dimintanya untuk mengajar di madrasah yang didirikannya. Dr. Ferdinand Lumbantobing jauh sebelum menjadi residen Tapanuli yang berkedudukan di Sibolga pernah memimpin Rumah Sakit Zending di Panyabungan sekitar 11 KM dari Purbabaru ke arah utara ).
Selanjutnya pengetahuannya di bidang pertanian dan perdagangan ini dipraktikkannya pula dengan membuka perkebunan karet , nenas dan rambutan di sekitar desa Purbabaru.
Kemudian di luar daripada itu dia juga pergi ke pasar secara teratur ( kepergiannya ke pasar yang secara teratur ini dimanfaatkannya untuk menjadi pedagang pengumpul dimana pada waktu harga barang murah dia membeli sejumlah barang dan kalau harga-harga barang tersebut naik, dijualnya kembali ).
Pendidikan lainnya adalah membiasakan diri mencatat kejadian-kejadian penting di daerah lokal, nasional dan internasional seperti letusan gunung berapi, datangnya Tuanku Rao dan Islam ke Mandailing, masuknya Belanda ke daerah setempat, penyerahan Belanda kepada Jepang di Indonesia, kelahiran dan kematian anak / anggota keluarga dan masalah-masalah yang dihadapinya secara pribadi.
Kemudian dia juga memperluas wawasan dengan bepergian ke kota-kota semacam Bukit Tinggi, Padang, Medan, Banda Aceh, Jakarta, Pekalongan dan Bogor di dalam negeri serta Kuala Lumpur dan Pahang di luar negeri. Kota-kota di dalam negeri terutama di pulau Sumatera dikunjunginya dengan maksud untuk melihat-lihat perkembangan pendidikan agama, perkembangan kota dan membeli buku-buku agama untuk madrasahnya. Sedangkan ke kota-kota di pulau Jawa ia membuat catatan-catatan berupa pengalamannya sewaktu naik pesawat terbang, gedung-gedung pemerintah dan pusat-pusat perdagangan yang dilihatnya, kesan naik kereta api, pemandangan alam serta keadaan mesjid dan jamaahnya, dan kota-kota di Malaysia dan ditemani oleh sekretarisnya. Dia melihat-lihat pengolahan karet ( proses pembuatan karet latex ), penambangan bauxit dan proses pengolahannya.
Di luar daripada pendidikan, pengalaman dan wawasan yang luas ini dia juga mempersiapkan kader-kader penerus baik itu dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang perkebunan. Dalam bidang pendidikan dia menyuruh dan mengirim beberapa orang muridnya untuk memperdalam ilmu agama Islam ke Mekkah maupun negeri-negeri lainnya seperti Mesir dan Lucknow, India. Sedangkan dalam bidang perkebunan dia mengutus sekretaris untuk mempelajari pengawetan buah-buahan seperti nenas dan rambutan serta proses pengalengannya ke Jakarta.
Karier sebagai Pendidik
Sesudah Musthafa Husein kembali ke Pasar Tanobato pada tahun 1912 ia langsung mengajarkan ilmu agama yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid setempat ( di mesjid setempat sebelumnya memang sudah ada pengajian yang dipimpin oleh Syekh Muhammad yang juga pernah belajar agama di Mekkah, Saudi Arabia ). Pengajian itu telah berlangsung kurang lebih 13 tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari desa-desa sekitar seperti :
- Pagaran Tonga,
- Hutanamale,
- Maga,
- Roburan,
- Lumban Dolok dan
- Purba Julu.
Pengajian itu sendiri walau sudah berlangsung lama namun bahan kajiannya belum teratur. Bahan kajiannya sering berulang-ulang dan banyak terarah kepada peribadatan. Pengajian belum banyak menyingggung masalah-masalah hukum yang pada waktu itu sudah sangat diharapkan oleh masyarakat ( di samping itu pengajian itu sendiri belum menggunakan kitab, walau kitab-kitab Melayu sudah banyak dikenal oleh masyarakat ).
Pada saat pengajian berlangsung Syekh Muhammad selalu memperkenalkan Musthafa Husein kepada peserta pengajian yang pada masa itu sering disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu mengatakan bahwa kita kedatangan seorang guru yang alim dan cakap. Dan sejalan dengan perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada Musthafa Husein untuk memberi pengajian. Dalam pengajian ini Musthafa Husein memulainya dengan terlebih dahulu mengaji Al Quran ( tulis bacanya ) kemudian bahasa Arab ( nahwu shorf ) dengan buku pegangan terdiri dari Al Jurumiyah, Mukhtashor dan Al-Kawakib. Kemudian menyusul fiqh dengan kitabnya Fathul Qorib dan kitab Melayu, terus Tauhid dengan kitabnya Kifayatul Awam, dan akhirnya Tasawuf dengan kitabnya Minhajul Abidin.
Pengajian yang teratur ini membuat para pesertanya makin meluas dan Musthafa Husein sendiri makin masyhur serta makin banyak dikenal masyarakat. Dalam pada itu pengajian ini ia juga banyak menjelaskan masalah-masalah masyarakat terutama yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri dan keluarga.
Pengajian ini membuat masyarakat bukan hanya mengikuti secara teratur ( pengajian hanya sekali seminggu yaitu pada setiap malam Selasa ) akan tetapi masyarakat juga meminta supaya waktu dan peserta pengajiaannya ditambah untuk anak-anak / pemuda dan ibu-ibu. Belakangan dengan bantuan masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum ibu yang waktunya pada setiap malam Selasa sesudah sembahyang magrib sampai waktu sembahyang isya dan sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB untuk kaum bapak. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari di mesjid Pasar Tanobato ( tempatya pengajian ibu-ibu, rumah orangtua ia sendiri ).
Selanjutnya di luar dari pengajian yang teratur itu ia juga pergi ke desa-desa sekitar untuk membuka pengajian sambil mencari obat. ( menurut H. Sulaiman salah seorang muridnya , ia pada waktu permulaan perkawinannya ia pernah lemah syahwat. Kunjungan ke desa-dsesa ini pernah sampai ke Sibuhuan di sebelah timur pulau Sumatera. ( Pasar Tanbato sebagai tempat tinggalnya berada di bagian barat pedalaman pulau Sumatera ). Karena itu ia bukan hanya dikenal masyarakat Tanobato dan sekitarnya akan tetapi juga dikenal oleh masyarakat daerah lainnya.
Bersamaan dengan berkembangnya pengajian yang dipimpin oleh Musthafa Husein, dimana ia sudah pula mulai mendapat sebutan Tuan Syekh Musthafa Husein, Syekh Muhammad berangsur-angsur pula mengundurkan diri dan mempercayakan sepenuhnya pengajian yang ada kepada Syekh Musthafa Husein ini. ( dalam memimpin pengajian ini Syekh Musthafa Husein melakukannya secara halaqoh, semacam waktu ia belajar di masjidil harom Mekkah. Namun sedikit berbeda dengan yang di Mekkah, pengajian di masjid Pasar Tanobato ini setiap pesertanya diharuskan memiliki buku seperti belajar di sekolah dewasa ini.
Pengajian di mesjid Pasar Tanobato itu tidak berlangsung lama hanya sekitar 3 tahun saja. Hal ini disebebkan Pasar Tanobato karam ( rusak berat ) akibat serangan banjir besar. ( menurut penuturtan H. Sulaiman salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein akibat serangan banjir ini penduduk yang hanyut dan hilang cukup banyak. Beruntung murid-murid Syekh Musthafa Husein semuanya selamat karena beberapa hari menjelang banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu berkeberatan rumahnya terus menerus ditumpangi oleh anak mengaji. Karenya murid-murid itu pindah ke tempat yang sedikit lebih jauh dari rumah tumpangan mereka itu. Dan sewaktu datang serangan banjir tempat mereka itu terhindar dari banjir dan mereka semua selamat ).
Selanjutnya Syekh Musthafa Husein yang selamat dari banjir pindah ke desa Purbabaru, tempat asal keluarganya bersama dengan beberapa orang murid isterinya. Perpindahan itu sejalan pula dengan permintaan keluarga dan Kepala Desa ( dulu disebut Ketua Kampung ). Permintaan ini disertai dengan harapan kelak sesudah Syekh Musthafa Husein bertempat tinggal di desa Purbabaru penduduknya akan bertambah baik. ( pada masa dahulu beberapa orang penduduk desa Purbabaru dikenal sebagai pencuri, tukang garong dan penjudi ).
Sampai di Purbabaru pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana sediakala seperti di Pasar Tanobato. Pengajian juga mengambil tempat di mesjid sebagaimana halnya di Pasar Tanobato. ( sewaktu perpindahan Syekh Musthafa Husein ini ke desa Purbabaru, penduduk mengharapkan pengajian yang sudah ada dilanjutkan kembali ). Lama kelamaan peserta pengajian terus bertambah banyak dan mesjid yang ada dirasakan tidak memadai lagi sebagai tempat pengajian. Maka atas inisiatif Syeklh Musthafa Husein dan dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera di tengah-tengah desa Purbabaru. ( semula rumah Syekh Musthafa Husein juga berada di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan Syekh Musthafa Husein merasa rumahnya terlalu sempit di samping terlalu jauh dari tempat mengaji, lalu ia meminta kepada penduduk supaya dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan raya. Tujuan perpindahan juga untuk memudahkan komunikasi. Pada pembangunan rumah, pada waktu permulaannya, penduduk juga membantu ). Peserta pengajian bukan hanya berdatangan dari desa sekitar akan tetapi juga dari desa-desa yang jauh. Dan karena kebanyakan dari murid-murid ini berasal dari keluarga yang tidak mampu, dimana mereka tidak mampu menyewa tempat tinggal maka atas perkenan penduduk, peserta pengajian membangun gubuk-gubuk sementara untuk tempat tinggalnya. ( gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dan atap ilalang serta berukuran 2 x 3 meter ini kelak dipertahankan sebagai salah satu ciri Madrasah Musthafawiyah ).
Gedung tempat belajar mendapat bantuan dari penduduk setempat maupun orang-orang yang mengirimkan anaknya mengikuti pengajian dari desa-desa sekitar. Selanjutnya sesudah tempat belajar pindah ke gedung sendiri sistem pengajian juga berubah dari halaqoh kepada klasikal sebagaimana sekolah dewasa ini. Kemudian pengajian itu sendiri diberi nama dengan sebutan madrasah. Dalam perkembangan selanjutnya madrasah ini diberi nama dengan Madrasah Musthafawiyah yang artinya madrasah pilihan.
Namun walau tempat pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri yang pada tahap permulaan selesai pada tahun 1931, pengajian di mesjid tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Namun waktunya hanya pada pagi dan malam hari, masing-masing sesudah sembahyang subuh sampai menjelang waktu sembahyang dluha sekitar jam 07.00 WIB, dan sesudah sembahyang magrib sampai isya serta sesudah sembahyang isya sampai sekitar jam 21.00 WIB. Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak mengaji bersama penduduk sekitar desa Purbabaru. Di samping itu Syekh Musthafa Husein selalu memelihara sembahyang berjamaah di mesjid mulai dari sembahyang subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya pada setiap harinya. ( dalam pelaksanaan sembahyang wajib ini Syekh Musthafa Husein amat tertib. Menurut penuturan ia sendiri kepada sekretarisnya, semenjak baligh tidak pernah meninggalkan sembahyang wajib satu waktu-pun ).
Dalam kegiatan sehari-hari Syekh Musthafa Husein sesudah sembahyang subuh berjamaah, mengajar sampai waktu sembahyang dluha. Kemudian kembali ke rumah untuk makan pagi bersama keluarga. Setelah makan pagi pergi ke madrasah sampai menjelang waktu dhuhur. Sesudah sembahyang dhuhur berjamaah di mesjid kembali ke rumah untuk makan siang bersama dengan keluarga. Kemudian pergi ke kebun bersama murid-muridnya sampai menjelang waktu sembahyang ashar. Sesudah sembahyang ashar berjamaah di mesjid kembali ke rumah dan makan sore, juga bersama keluarga. Kemudian duduk-duduk bersama keluarga di beranda rumah sampai menjelang waktu sembahyang magrib. Di saat menjelang magrib ia berangkat ke mesjid bersama beberapa orang muridnya yang sekaligus juga menjadi pembantunya. Dalam berangkat ke mesjid itu ada yang membawa lampu codok, dan ada pula yang membawa buku yang akan dikaji. Setelah sembahyang magrib secara berjamaah dilanjutkan dengan pengajian yang berakhir menjelang waktu sembahyang isya. Buku yang dikaji di mesjid adalah fiqh dengan kitab Idhotun nasyi’iin. Setelah sembahyang isya berjamaah ia pulang ke rumah bersama-sama dengan beberapa orang muridnya. Dan sampai di rumah ia sering membaca Al Quran sampai larut malam. Kemudian pada tengah malam juga sering bangun untuk mngerjakan sembahyang tahajjud secara sendirian. Seterusnya bangun pagi dan langsung ke mesjid, demikian selanjutnya berlangsung secara amat teratur setiap tahunnya.
Adapun kunjungannya ke sekolah, ia lakukan juga secara teratur. Ia ke sekolah mengajar pada kelas terakhir. Dalam mengajar ini ia amat memperhatikan murid-muridnya satu persatu mulai dari perkembangan pengetahuan murid, penampilannya, kesehatannya serta kemampuannya dalam mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu.
Memulai Usaha
Sesudah tahun 1934 ( sesudah mengajar sekitar 19 tahun ) ia mulai beralih dari mengajar ke bidang usaha. Ia hanya sesekali pergi ke madrasah untuk melihat-lihat serta memberi pengarahan dan pengawasan. Untuk selanjutnya madrasah banyak dipercayakan kepada kemenakannya yang sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul Halim Khatib. Dan menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab Tanjung. Dalam bidang usaha ini ia memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal ini pengolahan karet menjadi latex, usaha pengawetan buah dan rencana pengalengannya. ( Khusus usaha buah ini belum sempat terlaksana karena datangnya serangan Jepang ke daerah Mandailing / Indonesia ). Di samping itu ia juga meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta tetap mengembangkan pengajian di mesjid seperti disebut diatas.
Di dalam pendidikan formal ini ia selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya yang selalu dikenang ialah “ tuan kecil “ lebih baik daripada jongos besar. Kemudian dalam hidup ini ia selalu menekankan jangan mengharap-harapkan bantuan dan belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Dengan tegas ia mengatakan “ baen na tuho, borkatan dei “ ( usaha sendiri lebih baik dan lebih berkat ). “ Hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian orang lain itu lebih besar “. Kata ia.
Lebih daripada itu ia juga selalu berpetuah ( semacam nasihat ) kepada murid-muridnya agar setiap ilmu yang diperoleh bagaimanapun sedikitnya supaya diajarkan kepada orang lain. Kemudian dalam menempuh hidup ini juga supaya bekerjasama dengan pemerintah maupun pengusaha. Dan kepada setiap tamu supaya dihormati walaupun tamu itu bukan orang Islam. ( Hal ini dibuktikannya sendiri dengan menerima kunjungan orang Belanda ke rumahnya dengan penyambutan yang semarak, diantarnya dengan penyambutan lagu-lagu pujian yang ungkapan-ungkapannya berbahasa Arab. Di samping itu ia juga memuliakan raja-raja daerah yang pada masa itu banyak yang korup dan tindakan-tindakannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam ). Kemudian dalam hidup, ia juga tidak mencampuri perkara adat istiadat daerah, ia hanya menerangkan hukum-hukumnya terserah kepada yang bersangkutan tetap melaksanakannya atau menghentikannya. Ia memberi kebebasan kepada setiap orang.
Selanjutnya di luar daripada itu ia juga selalu memperhatikan kesukaran orang lain, baik itu yang datang meminta bantuan secara langsung maupun melalui orang lain. Setiap orang yang datang meminta bantuan akan dibantunya sekuat tenaga atau kalau tidak dapat dibantunya, dimintakannya bantuan orang lain ( orang ketiga ) yang memungkinkan untuk membantunya. ( dalam bantuan melalui orang ketiga ini sering yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa dia mendapat bantuan dari Syekh Musthafa Husein ).
Ia juga sering menghadiri setiap keramaian yang diadakan oleh masyarakat, baik itu perayaan-perayaan keagamaan berupa Maulid Nabi Muhammad maupun Isra’ Mi’rajnya , perkawinan ataupun kemalangan. Disamping itu ia juga menghadiri acara-acara keluarga semacam memasuki rumah baru, syukuran maupun tahlilan ( dalam bahasa daerah sering disebut mangontang dongan atau marpio malim atau marontang malim ). Kemudian di luar daripada itu juga ia mengunjungi ulama-ulama yang lebih kecil sekalipun ke desa-desa tempat tinggalnya dan menghadiri acara-acara peresmian mesjid atau perayaan-oerayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh anak-anak muridnya. ( dalam menghadiri setiap upacara ini ia selalu membawa serta beberapa orang muridnya).
Selanjutnya di luar daripada itu semua ia juga mempersiapkan kader-kader penerus dengan mendorongnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam ke sumber aslinya ke Mekkah, saudi Arabia atau negara-negara Islam lainnya. Ia juga mengangkat kader-kader itu menjadi anggota keluarganya dengan mengawinkan putri-putrinya atau putri saudaranya kepada kader-kader yang telah dibinanya itu. Hal itu semua dilakukannya untuk mengembangkan ajaran dan syi’ar Islam kepada seluruh masyarakat, terutama masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia.
Kegiatan dan perjuangannya
Syekh Musthafa Husein mempunyai kegiatan utama mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dalam mengembangkan ajaran Islam itu ia mendirikan lembaga pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam mengelola madrasah ini ia bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah. Masyarakat memberikan tenaga dan dana serta anak, dan pemerintah memberikan penghargaan ( pemerintah kolonial Belanda pernah memberikan bintang tanda jasa atas usahanya dalam bidang lembaga pendidikan ini pada tahun 1936 ). Pemberiannya diberikan dalam suatu acara besar di gedung kantor Konteler Belanda di Kotanopan yang dihadiri oleh segenap huria di daerah Mandailing dan Natal.
Selanjutnya dalam bidang pendidikan juga, ia mengusahakan kitab-kitabnya dari penerbitan-penerbitan di dalam dan di luar negari. Dari penerbitan dalam negeri ia langsung mendatangi atau menyurati penerbitan tersebut, sedangkan dari penerbitan luar negeri semacam Mekkah, Saudi Arabia ia memesannya melalui murid-muridnya yang sedang belajar di negara tersebut. Juga dalam bidang pendidikan ini ia mengangkat pembantu-pembantu yang pintar, berani, berinisiatif, serta komunukatif dengan pemerintah maupun masyarakat. Seterusnya dalam upaya menyiarkan Islam ia membentuk organisasi persatuan pelajar-pelajar dan lulusan madrasah dengan nama Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ( AII ). Organisasi ini berpusat di Purbabaru dan dengan cepat cabang-cabangnya berdiri di daerah Mandailing, Angkola, Padangsidempuan, Sipirok dan Sibuhuan. Di samping itu dengan AII ini ia berusaha menyeragamkan kitab-kitab agama di seluruh madrasah terutama madrasah-madrasah yang ada di daerah setempat.
Bersamaan dengan itu ia juga mensponsori pendirian koperasi di Madrasah Musthafawiyah dengan maksud untuk membantu murid-muirid yang mengalami kesukaran dalam perbelanjaan selama menuntut ilmu. ( koperasi didirikan dengan badan hukum yang tertanggal 25 Januari 1936 )
Selanjutnya jauh sebelum pengembangan pendidikan ini ia juga memasuki organisasi Sarekat Islam yang tujuannya untuk mencerdaskan bangsa dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa salah satu tugas Islam untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Dalam organisasi ini ia pernah terpilih menjadi Presiden ( Ketua ) Cabang Pasar Tanobato. Hanya saja sesudah kepemimpinan ia, organisasi ini mengalami pasang surut sebagaimana juga yang dialami oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bagaimanapun dengan organisasi Syarekat Islam ini pula ia banyak berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Islam lainnya.
Di luar daripada Sarekat Islam ini ia juga pernah membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul 'Ulama untuk daerah Sumatera Utara. Dalam organisasi NU ini disamping pernah menjadi pimpinan untuk daerah Sumatera Utara, ia juga pernah dipilih untuk menjadi anggota syuriyah NU tingkat Pusat di Jakarta. Dan selanjutnya dengan organisasi ini pula ia pernah dicalonkan dan dipilih menjadi anggota konstituante ( DPR Pusat ) untuk daerah pemilihan Sumatera Utara, walau kedudukan ini belum sempat didudukinya karena sesudah terpilih, ia meninggal dunia. ( Sehubungan dengan pemilihannya menjadi anggota konstituante ia pernah memberikan seruan kepada masyarakat untuk memilih tanda gambar NU pada pemilu tahun 1955 )
Kemudian sejalan dengan kedudukan ia selaku pimpinan / pendiri Madrasah Musthafawiyah Purbabaru, Presiden Syarekat Islam di daerah dan Pimpinan Pusat AII (Al Ittihadiyah Islamiyah Indonesia ) serta pimpinan daerah NU pada masa Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia ia pernah dipilih menjadi anggota Tapanuli Syungyung Kai dan Hokokai pada tahun 1945. Dan menjelang kemerdekaan ia ditetapkan pula menjadi pimpinan Majlis Islam Tinggi Sumatera Utara yang kelak menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia ( MASYUMI ). Namun belakangan sesudah NU menarik diri dari Masyumi ia juga ikut menarik diri, dan oleh NU ia diangkat menjadi salah seorang anggota Syuriyah di Tingkat Pusat sebagaimana disebutkan diatas.
Selanjutnya pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama-ulama setempat sepert Syekh Ja’far Abdul Kadir Al Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan farwa bahwa wajib ( fardu ain ) bagi setiap muslim yang mukallaf untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. ( fatwa ini disebarluaskan oleh Ketua Urusan Agama Kecamatan Kotanopan dan Batanggadis yang masing-masing berkedudukan di Kotanopan dan Panyabungan ).
Pribadi yang mandiri
Semula kepulangan Musthafa Husein ke kampung adalah untuk menziarahi orangtuanya yang telah meninggal dunia ( orang tuanya meninggal semasa ia sedang memperdalam ilmu agama Islam di Masjidil Harom Mekkah Saudi Arabia ). Sesudah berziarah ia merencanakan akan kembali ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai. Namun sesampai di kampung ia diminta untuk mengajar di mesjid Pasar Tanobato untuk melanjutkan pengajian yang telah ada sebelumnya. Dan lebih daripada itu ia juga dipaksa oleh ibunya untuk berumah tangga.
Pada saat permulaan mengajar dan berumah tangga perhatiannya hanya terpusat pada masalah kaji tanpa memikirkan masalah-masalah ekonomi. Pada mulanya ia hanya memanfaatkan harta dan rumah peninggalan orang tuanya serta dari bantuan / sumbangan masyarakat. Baru belakangan ia membuka usaha sendiri yaitu perkebunan karet. ( perkebunan karet ini pada mulanya juga mendapat bantuan dari murid-muridnya terutama dalam pembukaan lahannya ). Belakangan perkebunan ini dikelola secara besar-besaran dengan mendatangkan buruh Jawa dari Pematang Siantar. ( Usaha mendatangkan buruh ini mendapat bantuan dari saudaranya yang sudah lama menetap di daerah setempat ). Selanjutnya hasil perkebunan karet ia olah menjadi karet latex yang pada waktu itu mendapat pasaran yang bagus di dunia internasional. Untuk itu ia mendirikan beberapa buah rumah asap serta membeli beberapa buah mesin giling. Di samping itu karet yang sudah ia olah ini ia bawa pula ke kota untuk mendapatkan harga yang lebih besar. ( Hal semacam ini masih jarang dilakukan oleh penduduk setempat di kala itu, walau penduduk banyak juga memiliki perkebunan karet ).
Selanjutnya usaha perkebunan karet itu ia perluas pula dengan perkebunan nenas dan rambutan. ( Dalam perkebunan nenas dan rambutan ini pada mulanya juga bantuan dari murid-muridnya dan para orang tua murid yang memasukkan anaknya ke Madrasah Musthafawiyah ). Hasil perkebunan ini menurut rencananya akan diawetkan dan dikalengkan untuk kemudian diekspor ke luar negeri untuk mendapatkan nilai tambah sebagaimana sering didengungkan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie belakangan ini. Untuk ini ia sudah mengutus pembantunya ke Jakarta guna mempelajari proses pengawetan dan pengalengan buah. ( Namun karena kedatangan Jepang ke Indonesia rencana itu tidak sempat terealisir ). Akhirnya hasil buah-buahan itu hanya dijual ke pasar-pasar setempat di samping pada setiap panen selalu diberikan kepada murid-muridnya untuk dimakan mereka sepuasnya.
Bersamaan dengan usaha perkebunan ini ia juga aktif ke pasar untuk mengikuti perkembangan harga-harga beberapa komoditi semacaam karet, kain, mas ataupun lahan persawahan. Ia selalu pergi ke pasar Kayulaut pada setiap hari Sealasa dan ke pasar Panyabungan pada setiap hari Kamis. Di pasar-pasar ini ia selalu menempati tempat khusus ( tempat itu adalah rumah saudaranya yang lokasinya di dekat pasar ) selama bertahun-tahun. Dari tempat itulah ia memantau harga-harga komoditi semacam karet, kain maupun mas sebagaimana disebut diatas. ( Di daerah setempat ia membeli dan kalau perlu menahan barang semacam karet, kain maupun mas. Dan kalau harganya sudah naik barulah dijual kembali ). Dalam pada itu ( dalam mengembangkan usahanya ) ia sudah berani meminjam uang untuk membeli barang atau lahan persawahan yang ditawarkan orang kepadanya, dimana untuk itu selanjutnya dalam pengambilan uang tersebut sering dilebihkannya dengan sebutan, ini sedekah saya.
Dalam kehidupan ini ia berprinsip bahwa seorang muslim itu harus kaya dan mampu menghidupi anak isterinya dengan usaha sendiri. Usaha yang ia kembangkan itu terutama sesudah tahun 1934, kelihatannya membawa hasil. Dengan hasil usahanya itu ia bisa membangun rumah yang cukup besar ( walau pada permulaan membangun rumah ini juga mendapat bantuan dari penduduk desa Purbabaru ) di pinggir jalan raya di tengah-tengah desa Purbabaru.
Kemudian ia juga memasuki dan ikut aktif dalam organisasi untuk mencapai tujuannya yaitu mengembangkan ajaran dan syiar Islam sebagaimana disebut diatas. Dalam usahanya mengembangkan ajaran Islam ia mendirikan lembaga pendidikan yang pada saat itu dan masih berdiri dengan megahnya yaitu Madrasah Musthafawiyah Purbabaru. Dalam usaha mengembangkan ajaran Islam ia tidak hanya mendirikan lembaga pendidikn Islam akan tetapi juga mempersiapkan kader-kader penerus dan kelak kader penerus itu ia percayai sepenuhnya dan kemudian kader-kader itu ia masukkan ke dalam lingkungan keluarga dengan mengawinkan putrinya atau putri-putri saudaranya kepada kader-kader tersebut. Kemudian dalam memperjuangkan ide-idenya itu ia juga bekerjasama dengan pemerintah kolonial dan raja-raja di daerah setempat. Akhirnya ia juga berkecimpung ke dalam politik memasuki konstituante untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam di bumi persada tanah air. Dan sebelumnya ia juga ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan memberi fatwa kepada masyarakat bersama dengan ulama-ulama lainnya bahwa mempertahankan kemerdekaan itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah dewasa ( mukallaf ).
Meninggal Dunia
Setelah Syeikh Musthafa Husein meninggal dunia pada tahun 1955[3][6], tampuk kepemimpinan di teruskan oleh anak ia Syeikh Abdullah Bin Musthafa bin Husein Nasution[3][6], di bawah kepemimpinan ia Pondok Musthafawiyah berkembang pesat[6], ini juga tak jauh dari usaha menantu Syeikh Musthafa Husein Syeikh Abdul Halim Khatib Lubis Al-Mandaili sebagai Ra`is Al-Mu`allimin pesantren tersebut[6], ia pernah menimba ilmu di Shalatiyah Makkah dan Masjidil Haram[6] , di antara guru ia adalah Syeikh Qadhi Hasan Masaath Al-Makki[6], di antara teman ia belajar semasa di Makkah adalah Syeikh Yasin Al-Fadani dan Syeikh Zakariya bin Abdullah Bila Batu bara[6] , Muhammad Zainuddin Al-Ampenani , Syeikh Adnan Lubis. Ia memiliki karangan berbahasa melayu, yang masih disimpan oleh di Purba Baru, ia meninggal dunia pada tahun 1991 M[6].
Catatan Kaki
Daftar Pustaka
- Website
- (Indonesia) Nasution, Hamdani (24 September 2012). "Gubernur Sumut Banggakan Pesantren Musthafawiyah". NU Online. Diakses tanggal 20 November 2013. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) Hanifa, Afriza (11 November 2013). "Syekh Musthafa Husein, Pelopor Pendiri Pondok Pesantren di Tanah Sumatra". Republika Online. Diakses tanggal 20 November 2013. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) Wismi Warastri, Aufrida (13 Desember 2012). Mulyadi, Agus, ed. "Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Berumur Seabad". kompas.com. Diakses tanggal 10 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) menkokesra.go.id (28 November 2012). "Menko Kesra diharapkan Hadir dalam 100 Tahun Ponpes Musthafawiyah di Madina". menkokesra.go.id . Diakses tanggal 10 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) Majalah Alkisah (10 Januari 2014). "Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib Al-Mandaili : Tuan Guru para Santri Melayu (Bagian 1)". Majalah Alkisah . Diakses tanggal 10 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) alkhoirot. "Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Sumut". alkhoirot.net. Diakses tanggal 10 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) allangkati (3 Januari 2009). "Pesantren Musthafawiyah". Syeikh Muhammad Husni Ginting. Diakses tanggal 10 April 2014. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan) - (Indonesia) Siregar, M.Nuh (2010), "PENGARUH PESANTREN MUSTHAFAWIYAH PURBA BARU TERHADAP MASYARAKAT SEKITARNYA (1915 M-1997 M)" (PDF), Skripsi thesis, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga: 24–26, diakses tanggal 10 April 2014
- Sumber Buku Bacaan
- (Indonesia) Sirajuddin Abbas, K.H (2011). Ulama Syafi'i dan kitab-kitabnya dari abad ke abad. Jakarta, Indonesia: Pustaka Tarbiyah Baru. ISBN ISBN 978-979-26-4317-6 Periksa nilai: invalid character
|isbn=
(bantuan).
Pranala luar
- (Indonesia) Poldasu Siap Amankan Peringatan Seabad Ponpes Musthafawiyah
- (Indonesia) SYEKH MUSTHAFA HUSEIN PURBABARU 1886 – 1955
- (Indonesia) Sheikh Musthafa Husein
- (Indonesia) Syaikh Musthafa Husein Nasution Sumatera Utara. Sang Ulama dan Pejuang Istiqomah
- (Indonesia) Syeikh Mustafa Husein Purba Mandahiling
- (Indonesia) Syekh Musthafa Husein
- (Indonesia) Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily
- (Indonesia) SYEKH MUSTHAFA HUSEIN PURBABARU 1886 – 1955
- (Indonesia) Perjuangan Seorang Pemimpin (SYEIKH MUSTHAFA BIN HUSEIN BIN UMAR NASUTION AL-MANDAILY)