Arsitektur Batak mengacu kepada yang berhubungan dengan tradisi dan desain arsitektural dari berbagai suku Batak di Sumatera Utara, Indonesia. Terdapat enam kelompok suku Batak yang berbicara dalam bahasa tersendiri namun berhubungan: Angkola, Mandailing di sebelah selatan, Batak Toba, di sebelah utara Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Karo. Sementara kelompok suku bangsa ini sekarang adalah umat Muslim atau Kristiani, unsur-unsur agama Batak kuno tetap ada, terutama di antara suku Karo.

Sebuah jabu - rumah tradisional Batak Toba

Bale ("balai pertemuan"), rumah, dan sopo ("lumbung padi") adalah tiga tipe bangunan utama yang umum dalam kelompok suku Batak yang berbeda. Rumah ini secara tradisional merupakan sebuah rumah besar di mana sekelompok keluarga hidup secara bersama-sama. Pada siang hari, bagian interiornya merupakan ruang aktivitas bersama, dan pada malam hari, kain atau tirai tenunan memberi privasi kepada masing-masing keluarga. Kebanyakan orang Batak sekarang tinggal di rumah-rumah modern, dan banyak rumah tradisional ditelantarkan atau dalam kondisi perbaikan yang buruk.

Arsitektur dan tata letak desa dari enam kelompok suku Batak juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rumah Batak Toba, misalnya, berbentuk perahu dengan atap pelana berukir yang rumit dan tonjolan atap yang menjulang. Rumah-rumah Batak Karo berdiri dalam deretan. Keduanya dibangun di atas tumpukan dan berasal dari model Dong-Son kuno.

Desa

 
Desa Batak Toba

Suku Batak Toba dan Karo tinggal di desa-desa permanen dan membudidayakan padi dan sayuran beririgasi. Di sisi lain, suku Angkola, Mandailing, dan Pakpak mempraktekkan pertanian peladangan yang membutuhkan seringnya perubahan lokasi dan desa mereka hanya semipermanen.[1]

Referensi

  1. ^ Dawson, Barry; Gillow, John (1994). The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames and Hudson. hlm. 35–36. ISBN 0-500-34132-X.