Pernikahan sesama jenis di Indonesia dan keberadaan pasangan sesama jenis pada umumnya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan secara gamblang bahwa pernikahan "adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[1] Selain itu, Pasal 2 UU Perkawinan mengatur bahwa pernikahan hanya dianggap sah jika "dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu".[1] Sementara itu, warga negara Indonesia yang telah melakukan pernikahan sesama jenis di luar negeri juga tidak dapat mendaftarkan pernikahannya secara resmi di Indonesia karena terganjal oleh Pasal 1 UU Perkawinan.[2] Ditambah lagi Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ("UU Adminduk") mewajibkan pelaporan perkawinan kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya pernikahan paling lambat 60 hari setelah tanggal perkawinan, dan penjelasan Pasal 34 ayat (1) kembali menegaskan bahwa "perkawinan" hanya dapat dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita.[3]

Pendapat masyarakat

Hasil jajak pendapat yang dilakukan secara daring oleh International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) pada Oktober 2016 menunjukkan bahwa 69% responden Indonesia menolak legalisasi pernikahan sesama jenis, 14% mendukung dan 17% menyatakan netral.[4]

Catatan kaki

  1. ^ a b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, diakses 22 Januari 2018.
  2. ^ Keabsahan Perkawinan Pasangan WNI Sesama Jenis di Luar Negeri, Hukum Online, 6 Juni 2013, diakses 22 Januari 2018.
  3. ^ Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, diakses 22 Januari 2018.
  4. ^ "ILGA/RIWI Global Attitudes Survey on LGBTI People" (PDF). ILGA. hlm. 58. Diakses tanggal 31 December 2016.