Palembang adalah ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Saat ini, kota ini merupakan kota tertua yang ada di Indonesia, yang berasal dari abad ke-7. Palembang pernah menjadi ibu kota Sriwijaya, sebuah kerajaan Melayu yang memerintah sebagian dari nusantara bagian barat dan menguasai rute perdagangan maritim khususnya di Selat Malaka.[1][2] Palembang digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada tahun 1825 setelah penghapusan Kesultanan Palembang.[3] Palembang diberi status sebagai kota pada 1 April 1906.[4] Palembang kini merupakan kota terbesar kedua di Sumatera dan kota terbesar kesembilan di Indonesia. Kota ini telah menjadi tuan rumah dari beberapa acara internasional, termasuk Pesta Olahraga Asia Tenggara 2011 dan Pesta Olahraga Asia 2018.[5][6][7]

Zaman Sriwijaya

 
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya terletak Barat Daya dari pusat kota Palembang (hijau). Situs membentuk sumbu yang menghubungkan Bukit Siguntang dan Sungai Musi.

Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 682 M, adalah prasasti tertua yang ditemukan di Palembang. Prasasti ini menceritakan seorang raja yang memperoleh kekuatan magis dan memimpin pasukan militer besar di atas air dan tanah, berangkat dari delta Tamvan, tiba di suatu tempat bernama "Matajap", dan (dalam interpretasi beberapa sarjana) mendirikan pemerintahan Sriwijaya. "Matajap" dai prasasti diyakini sebagai Mukha Upang, sebuah kabupaten di Palembang.[8]

Menurut George Coedes, "pada paruh kedua abad ke-9, Jawa dan Sumatra disatukan di bawah kekuasaan Sailendra yang memerintah di Jawa ... pusatnya di Palembang."[9]:92

Sebagai ibu kota kerajaan Sriwijaya, kota tertua kedua di Asia Tenggara ini telah menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara maritim selama lebih dari satu milenium. Kerajaan ini berkembang dengan mengendalikan perdagangan internasional melalui Selat Malaka dari abad ketujuh hingga ketiga belas, mengukuhkan hegemoni atas negara-negara di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Prasasti Sanskerta dan catatan perjalanan Tiongkok melaporkan bahwa kerajaan ini menjadi makmur karena merupakan perantara dalam perdagangan internasional antara Tiongkok dan India. Dikarenakan Muson, atau angin musiman yang terjadi dua kali setahun, setelah sampai di Sriwijaya, para pedagang dari Tiongkok atau India harus tinggal di sana selama beberapa bulan menunggu perubahan arah angin, atau harus kembali ke Tiongkok atau India. Oleh karena itu, Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan internasional terbesar, dan tidak hanya pasarnya, namun juga infrastruktur untuk para pedagang seperti penginapan dan hiburan juga dikembangkan. Sriwijaya berfungsi sebagai sebuah pusat budaya juga.[10] Yijing, seorang pengelana Buddhis Tiongkok yang tinggal di Palembang dan Jambi pada tahun 671, mencatat bahwa terdapat lebih dari seribu biksu dan sarjana terpelajar, yang didukung oleh kerajaan untuk belajar agama di Palembang. Dia juga mencatat bahwa terdapat banyak "negara" di bawah kerajaan yang disebut Sriwijaya (Shili Foshi).[11][12]

 
Sebuah rupaka Buddha, ditemukan di situs arkeologi Bukit Seguntang, kini dipajang di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

Pada tahun 990, pasukan tentara dari Kerajaan Medang di Jawa menyerang Sriwijaya. Palembang porak poranda dan istananya dijarah. Namun, Cudamani Warmadewa, meminta perlindungan dari Tiongkok. Pada tahun 1006, invasi itu akhirnya dipukul mundur. Sebagai pembalasan, raja Sriwijaya mengirim pasukannya untuk membantu Raja Wurawari dari Luaram dalam pemberontakannya terhadap Medang. Dalam pertempuran selanjutnya, Istana Medang dihancurkan dan keluarga kerajaan Medang dieksekusi.[13]

Pada tahun 1068, Raja Virarajendra Chola dari Dinasti Chola di India menaklukkan wilayah yang sekarang disebut Kedah dari Sriwijaya.[14] Setelah kehilangan banyak tentara dalam perang dan dengan pundi-pundinya hampir kosong karena gangguan perdagangan selama dua puluh tahun, jangkauan Sriwijaya berkurang. Wilayahnya mulai memerdekakan diri dari kedaulatan Palembang dan mendirikan banyak kerajaan kecil di seluruh bekas imperium.[15] Sriwijaya akhirnya mengalami kemerosotan karena ekspedisi militer oleh kerajaan-kerajaan Jawa pada abad ketiga belas.[12]

Pasca Zaman Sriwijaya

Pangeran Parameswara melarikan diri dari Palembang setelah dihancurkan oleh pasukan tentara Jawa,[16] kota ini kemudian diganggu oleh bajak laut, terutama Chen Zuyi dan Liang Daoming. Pada 1407, Chen diadang di Palembang oleh armada harta karun Kekaisaran yang kembali di bawah Laksamana Cheng Ho. Zheng membuat langkah pertama, menuntut Chen menyerah dan bajak laut tersebut dengan cepat mengisyaratkan kesepakatan sambil mempersiapkan serangan mendadak yang mengejutkan. Namun rincian rencananya telah diberikan kepada Zheng oleh seorang informan Tionghoa setempat, dan dalam pertempuran sengit yang terjadi, para prajurit Ming dan armada superior Ming akhirnya menghancurkan armada bajak laut dan menewaskan 5.000 orangnya.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 117. 
  2. ^ Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (1995). "The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives". 
  3. ^ Panji, Kemas A. R.; Suriana, Sri (2014). "SEJARAH KERESIDENAN PALEMBANG". Tamaddun. 14 (2): 129–146. ISSN 1412-9027. 
  4. ^ Fernanda, Tyas (3 July 2015). "Tyas Fernanda Blog: Sistem Pemerintahan Kolonial Belanda di Keresidenan Palembang (1825-1942) Bagian II". Tyas Fernanda Blog. Diakses tanggal 2018-06-27. 
  5. ^ antaranews.com. "Kota Palembang Menjadi Tuan Rumah SEA Games 2011 - ANTARA News". Antara News. Diakses tanggal 2018-05-06. 
  6. ^ "Jakarta dan Palembang Resmi Menjadi Tuan Rumah Asian Games 2018". beritasatu.com. 2014-09-21. Diakses tanggal 2018-05-06. 
  7. ^ Media, Kompas Cyber (2009-10-21). "Palembang Siap Gelar Pembukaan SEA Games 2011 - Kompas.com". KOMPAS.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-05-06. 
  8. ^ George Coedès, Les inscriptions malaises de Çrivijaya, BEFEO 1930 
  9. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  10. ^ Coedès, George (1918). "Le Royaume de Çrīvijaya". Bulletin de l'Ecole Française d'Extrême-Orient (edisi ke-18). 6: 1–36. 
  11. ^ Nas, Peter J. M. (1995). "Palembang: The Venice of the East," in Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia. Leiden: CNWS. hlm. 133–134. 
  12. ^ a b Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii Press. 
  13. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 151. 
  14. ^ The Cambridge Economic History of India: c.1200-c.1750 herausgegeben by Tapan Raychaudhuri, Irfan Habib, Dharma Kumar p.40
  15. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 166. 
  16. ^ Schellinger, Paul E.; Salkin, Robert M., ed. (1996). Asia and Oceania: International Dictionary of Historic Places. New York: Routledge. hlm. 663. ISBN 1-884964-04-4. 

Pranala luar