Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 1975
Yogyakarta 5 Maret 1975
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
No 13.
Tahun 1975
Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
No: K.898/I/75
Lam: -
Hal: Penyeragaman Policy Pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi
Kepada:
Yth Bupati/Walikota Kepala Daerah seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta
INSTRUKSI
Sebagaimana diketahui policy Pemerintah Daerah Derah Istimewa Yogyakarta hingga sekarang belum memberikan hak milik atas tanah kepada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi yang memerlukan tanah.
Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarata kepada seorang Warganegara Indonesia Non Pribumi dengan ini diminta:
Apabila ada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohon Kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak.
kemudian hendaknya menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagai mana mestinya
WAKIL KEPALA DAERAH
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PAKU ALAM VIII
Sejarah
Sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi itu.
Hamengku Buwono IX
Instruksi Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi atau yang disingkat Instruksi 1975, Instruksi Wagub DIY 1975, atau
Paku Alam VIII, pembuat Instruksi 1975 yang melarang pemberian hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi di DIY
Instruksi 898/1975 adalah sebuah surat instruksi yang dibuat oleh Wakil Gurbernur Yogyakarta Paku Alam VIII yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada warga negara non-pribumi, peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi. di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels antara tahun 1808–1811.
Dimana saat itu banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing. Saat kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870 dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod yang berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing. Aturan ini tertuang di dalam staatsblad tahun 1875 No 179.
Pada tahun 1870, saat modal asing diizinkan untuk masuk, hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka. Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang– Undang Agraria 1870.
Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar
Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama.
Proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY. "Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.
Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah
Peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi.
image
(Prof Suyitno[1], Ahli pertanahan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Anggota Parampara Praja DI Yogyakarta)
Gugatan
Gugatan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY diajukan oleh Handoko, warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.
Gugatannya tertanggal 7 September 2017. Didaftarkan di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada 7 September 2017,
Majelis Hakim diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Nuryanto dan Sri Harsiwi dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018). , Menolah seluruh permohonan penggugat.
Cino wurung, Jowo tanggung, Londo pun durung
Sejarah Yogya dan Tionghoa sudah bermula lama sekali, tercatat dalam sejarah, RM Said Pangeran Sambernyawa pada tahun 1741 sudah memimpin laskar Tionghoa dalam serangkaian pemberontakan pada Belanda yang terjadi di Jawa.
pada masa masa setelah peristiwa tersebut, tercatat ada tiga trah keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, yaitu: Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo. Diantara ke 3 trah tersebut, yang menonjol adalah Secadiningrat, yang dimulai dari sesorang bernama Tan Jin Sing yang kemudian atas restu penguasa Yogya menjadi bupati salah satu wilayahnya dengan gelar K.R.T Secodiningrat, kelak ibeliau ini turut berperan dalam penemuan Candi Borobudur.
Masyarakat Tionghoa berpendapat K.R.T. Secodiningrat mempunyai bakat dalam hal memadukan antara kebudayaan Cina dan unggah-ungguh (sopan-santun) Jawa. Adapun mereka yang tidak senang kepadanya, acapkali menyindirkannya dengan ungkapan berlanggam senada: "Cino wurung, Jowo Nanggung, Londo pun durung" atau dengan kata lain, Cina ya tidak lagi, Jawa ya tanggung, jadi Belanda pun belum. setelah masa itu, pada awal abad 20 hubungan baikpun tetap belanjut.