Novelet

Jika Cinta Kembara

Pipiet Senja


Satu

Kantor DPC Partai Gobermat, suatu siang yang mendung. “Sungguh tidak adiiil!” “Yah…, memang nggak adil!” Mr. Dee One, demikian panggilannya. Seorang lelaki yang selalu merasa dirinya perkasa, menggemeretakkan gerahamnya. Dadanya begitu sesak, dipenuhi lahar angkara yang sebentar lagi pasti membakar segalanya! “Ini sama saja dengan habis manis sepah dibuang. Huuu…! Seenaknya saja orang dilemparkan dari atas singgasana ke comberan!” ceracaunya. Hatinya serasa dicabik-cabik kuku beruang kutub. Tak tahan lagi bibirnya berteriak-teriak, memperdengarkan suara lantang yang dalam sekejap menggema ke seantero ruangan. “Yang benneeeer? Kamu cuma bercanda, kaaan?” “Sumpah! Barusan kuterima teleponnya, Bang. Aku juga lihat beritanya di televisi.” “Apa nggak salah orang, tuh? Mana mungkin Sang Ketua menjatuhkanku? Kaki tangannya langsung yang selalu membela kepentingannya berbelas tahun....” “Tapi benar, kok! Nama Abang yang disebutnya. Mr. Dee One, katanya… dalam proses di-recall Partai Gobermat!” “Pasti dia sudah korslet… otaknya!” “Otaknya masih waras, Bang! Buktinya beliau ketemu Presiden di Istana. Beberapa jam yang lalu. Nah, pas keluar Istana Merdeka itulah, ditodong nyamuk pers… dia bilang begitu itu!” “Begitu itu…, bagaimana sih tepatnya?” “Dia bilang, mulai saat ini Abang bukan lagi orang kepercayaannya. Abang itu cuma lagi stres berat. Jadi, harap dimaklumi kalau omongan Abang gak bisa dipertanggungjawabkan.” “Woooi, woooi… aku nggak stres beraaat!” “Iya, iya, aku tahu itu, Bang!” “Lagian, aku ngomong apa?” “Itu, lho, soal bagi-bagi komisi tender jalan layang….” “Oh, itu nggak ngawur! Itu kebenaraaan!” “Memang, sih, begitu. Dia bilang lagi, mulut Abang itu ember bocor. Semua gara-gara istri Abang yang, maaf… selingkuh itu, dibawa kabur sama si Kam Peng ke mancanegara? Maaf, tapi begitulah yang dibilang Ketua!” “Sintiiing! Itu kan urusan pribadi? Ngapain dibawa-bawa ke konferensi pers segala? Kayak kurang kerjaan aja! Nggak elit…, politik amat!” Beberapa jenak, kedua lelaki itu berpandangan. Seolah-olah sama sedang menakar sejauh mana loyalitas masing-masing. Dee One geleng-geleng kepala dan kembali merasa dadanya seperti terbelah, terus pecah berkeping-keping. Politik ini dunianya, kehidupannya. Andaikan posisinya terusik apalagi terlempar, aha… ke manakah gerangan langkahnya akan menuju? “Oke! Coba bilang apa saja yang dibocorkannya tentang keluargaku?” Dia mencoba membendung serbuan amarah dari dadanya. “Kira-kira begini kutipan selebaran yang dibagikan di konferensi pers itu….” “Apaaa? Dicetak di selebaran dan dibagikan?” Edwin mengiyakannya. Geraham Mr. Dee One kini terdengar gemeletuk. “Intinya apa isi selebaran keparat itu?” “Yah… disebabkan stres berat, dihajar berbagai masalah keluarga, istri dibawa minggat bawahan, dua anak laki-lakinya pemakai, pengedar bahkan anggota sindikat narkoba, putrinya jadi piaraan petinggi militer.…” “Sungguh kelewataaan!” “Tuuul! Ketua memang kelewatan. Kok, bongkar aib sahabat, kaki tangan, orang kepercayaannya... seenak udelnya saja! Mentang-mentang….” “Sebentar lagi dia akan menjadi orang nomor satu di kota ini, menggantikan Pjs. Walikota. Iya kan?!” “Tepat! Dan itu semua berkat perjuangan Abang!” “Memang!” Tangannya, tinjunya yang selama dua tahun terakhir banyak digunakan untuk mengepal sambil berorasi di hadapan massa partainya, tiba-tiba menggebrak dengan keras. Braaak…! “Aku harus menuntutnya! Nggak tahu terima kasih orang itu!” Matanya kemerahan bak sepasang mata naga. Tubuhnya gemetar menahan amarah. “Tenang, sabaaar…, harap kendalikan dirimu, Bang!” “Tidak! Ini ketidakadilan yang harus dilawan!” “Iya, iya, boleh saja. Hei, apa yang akan Abang lakukan?” “Dengar, ya, Bung Edwin! Kesabaranku sudah habiiis! Aku tak mau diatur-atur lagi, dijadikan bidak, diombang-ambing, diangkat lantas dibanting sesukanya. Ini sudah saatnya… dilawaaan!” Lelaki paro baya berperawakan tinggi atletis itu seketika bangkit, menyambar jas legislatif yang disampirkan di sandaran kursi. Ia setengah meloncat keluar ruangan. Edwin mencoba menenangkannya seperti biasa. Tapi kali ini suaranya seolah mental begitu saja. Tak mempan lagi di kuping, dada, hati dan otak lelaki yang dikaguminya itu. Dee One gegas-gegas berjalan melintasi koridor yang lengang. Tampak kursi-kursi kosong yang ditinggalkan para pengurus Gobermat. Sekejap benaknya mereka-reka kelakuan para pionir yang malang itu. Aku yakiiiin, dengusnya membatin, ainul yakiiin! Nun di luar sana mereka di-brainwash oleh Sang Ketua. Mereka harus siap tempur menghadapi masa-masa kampanye, tak berapa lama lagi. Sang Ketua sebelumnya memang sudah mengintruksikan untuk menggelar muker di Puncak. Ya, sang Ketua yang jenius itu! Dia selalu memilih tempat yang indah-indah dan romantis untuk muker, raker dan ker-ker lainnya. “Biar bisa muker bareng refreshing…, nyantailah, bo!” demikian sering diteriakkannya sambil terkekeh-kekeh. Biasanya dia ikut sibuk, wara-wiri mengurus segala sesuatu agar rapi jali. Tapi kali ini dirinya sama sekali tak dilibatkan. Artinya, posisinya sudah dipinggirkan alias digeser begitu saja. Bahkan tanpa melalui mukernas, prosedur resmi partainya. Lelaki itu menggeram hebat bak macan tak kebagian mangsa. “Ghhhrrr…!” Untuk sementara, dia selesai dengan lamunannya, dan kembali menghadapi persoalannya sendiri. Istrinya, Monalisa, dua bulan yang lalu tiba-tiba bikin heboh. Minggat dengan bekas pengawal pribadinya si Kam Peng. Entah ke Hongkong atau Singapura. Sebelumnya, istrinya juga sudah sering melakukan kegilaan begitu. Tapi sekali ini tercium nyamuk pers, langsung menjadi headline tabloid-tabloid kuning. Kaki-kakinya mendadak serasa gemetaran. “Huuu! Ini sungguh tidak boleh memengaruhi keperkasaanku!” dengusnya. Lelaki yang mulai merasa menjadi pecundang itu berusaha keras agar tidak sempoyongan. Dia melanjutkan gerakannya untuk mencapai pintu keluar. “Kalau ada yang bisa saya bantu, Bang Dee One?” Edwin mengusik dan terus mengintilnya dengan setia. Dee One merandek. Bibirnya seketika menyungging senyum aneh. Edwin menunggu nyaris tak sabar. Gerakan seniornya selama ini selalu meggebu-gebu, unik. Dan tentu saja sulit ditebak! “Kamu mau ikut aksiku kali ini?” “Appaa… itu?” “Masih bisa kupercayai loyalitasmu?” “Eee… apa selama ini aku pernah berkhianat, Bang?” Dee One memandangi wajah tirus itu lurus-lurus. Belasan tahun sudah Edwin ikut bersamanya. Dia mengajarkan banyak hal, terutama tentang intrik di dunia elit politik, bahkan sejak sama-sama aktivis kampus. Memang betul, Edwin tak pernah mengecewakan dirinya, selalu loyal. “Mari keluar gedung kutukan ini, Bung!” “Ya? Abang panggil aku…?” “Bung! Kamu juga pantas disebut Bung! Banyak pengorbanan dan perjuangan yang sudah kau lakukan demi Gobermat.” “Tapi dibanding Abang, apalah si Edwin ini,” tukas lelaki yang masih lajang di usia 39-an itu, mencoba merendah. Mereka sudah hampir keluar dari gedung itu. Rasanya tak ada yang unik atau istimewa, gumam Edwin. “Naik ke mobil dan… tabrakkan dirimu ke patung Pahlawan di alun-alun sana!” “Haaa?!” Sekarang Edwin terperangah, mulutnya mangap lebar. “Iya, ayo ikut aku!” Lelaki berwajah handsome berperawakan atletis itu tergesa-gesa keluar kantor DPC. Mulutnya semakin heboh mengumbar sumpah-serapah, memaki segala kebusukan sang Ketua. Edwin mengejarnya, masih berusaha menenangkan hati seniornya semasa mereka kuliah di jurusan Hukum dan Lingkungan Hidup.

Selang beberapa menit, keduanya sudah sampai di sisi Kijang yang masih baru. Ini hadiah Walikota periode dua tahun terakhir. Dee One dan kawan-kawan yang enam orang di legislatif itu, sepakat memilih mantan gembong preman sebagai Walikota. Mereka masing-masing kebagian dua ratus juta. Sang walikota baru tentu saja telah mengoreknya dari APBD yang terbukti menggelembung. “Ups, tapi nggak semua bisa masuk kocek!” dengusnya. “Apa…? Abang ngomong apa barusan?” “Cecunguk-cecunguuuk!” Sebagian dipalak para preman partainya yang selalu menunggu jatah setiap awal bulan di DPC. Sehingga gajinya yang lima belas juta pun biasanya tinggal dua jutaan yang dibawa ke rumah. Tapi tak masalah. Ada banyak proyek yang bisa menggembungkan pundi-pundinya di bank. Mulai dari komisi tender-tender pembangunan kota, perkantoran, pertokoan, penjualan aset-aset daerah, hingga melegitimasi pemungutan biaya pendidikan yang sangat tinggi dari orang tua murid dan… banyak lagi! Yap! Semua itu, sejak reformasi digulirkan, harus melalui persetujuan Dewan. Hal ini sungguh memakmurkan dirinya juga rekan-rekannya di jajaran legislative, berbasis partai dan golongan mana pun. Pendeknya sama saja, memanfaatkan kedudukan, pakai aji mumpung! Oh, wahaaai… dua tahun yang sangat indah…. Hidup mereka bak raja-raja kecil yang selalu kelaparan dan kemaruk. Tapi sekarang tiba-tiba semuanya harus berakhir? Gobermat sudah siap me-recall dirinya dari kursi Dewan? Tidaaak! Ini sungguh-sungguh tidak adiiiil! “Ayooo…, masuuuk!” “Adduuuh, taa-piii… apa yang mau Abang lakukan?” “Jangan banyak tanya. Katamu tadi, kamu tetap loyal apa pun yang akan kulakukan!” “Yah, tapi….” “Sudah! Masuk saja, siniii!” Edwin tak bisa mengelak. Tangan-tangan kekar yang kerap digunakan menggebrak meja para pengusaha pelit yang enggan mengeluarkan sponsor untuk partainya, memang sungguh kuat. Sehingga tubuh Edwin kontan terjerembab di jok depan begitu didorong. Sekarang, Kijang telah keluar dari kawasan DPC. Terus melesat membelah jalanan. Menjelang petang, cuaca agak mendung. Awan berarakan dari arah selatan. Warnanya campuran antara kelabu dengan hitam. Kesannya kotor tak ubahnya warna hati Dee One saat ini. Mungkin juga hati jajaran petinggi Gobermat yang tengah asyik bermuker-ria. “Heeei… maaf, Bang Dee One! Boleh tanya?” “Sejak kapan ada undang-undang dilarang ngomong?” “Eeeh… kita ini mau ke mana?” seru Edwin mulai tak enak hati. Dee One seperti tak mendengar lagi. Dia terus melajukan kendaraannya secara ugal-ugalan. “Awaaas…!” Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk di trotoar nyaris terserempet. Dee One malah terkekeh-kekeh. Dia mengatakan bahwa meskipun tertabrak tak masalah, toh sebentar lagi makhluk begitu memang akan mati. Syaaap, syaaap, plaasss…! “Aduuuh, nyariiisss saja!” “Salah sendiri! Ngapain coba main sepeda di jalanan?” “Namanya juga anak-anak. Aduuuh, hati-hati, Bang!” “Makanya, punya anak itu harus dijaga baik-baik di rumah! Kalau perlu dikerangkeng saja, oke?!” teriaknya dibumbui kekehan panjang yang membuat bulu roma Edwin meremang hebat. Ha, apa dia lupa, pikir Edwin. Tiga anaknya sama sekali tak pernah dijaga. Makanya, mereka minggat… entah ke mana!