Latief Hendraningrat
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat (15 Februari 1911 – 14 Maret 1983) adalah seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco (komandan Kompi) dan juga pengerek bendera Sang Saka Merah Putih dengan didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor. Pada tanggal 17Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Latief Hendraningrat | |
---|---|
Berkas:Kol Inf Latief Hendraningrat.jpg | |
Komandan SSKAD | |
Masa jabatan 16 April 1958 – 27 Juli 1959 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Batavia, Hindia Belanda | 15 Februari 1911
Meninggal | 14 Maret 1983 Jakarta, Indonesia | (umur 72)
Hubungan | Raden Mas Djojo Dirono (Bupati Lamongan Ke-21) |
Almamater | PETA |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1945-1967 |
Pangkat | Brigadir Jenderal TNI |
Satuan | Infanteri |
Sunting kotak info • L • B |
Pada saat menjadi petugas upacara bendera pertama usai proklamasi kemerdekaan, Latief Hendraningrat memakai seragam tentara Jepang karena Latief merupakan anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.[1] Sebelum masuk PETA, Latief Hendraningrat terlebih dulu bergiat di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) yang juga bentukan Jepang. Pada saat PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, ia mendaftarkan diri dan diterima. [1]
Mengamankan Kemerdekaan
Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Latief Hendraningrat termasuk golongan muda yang memicu terjadinya Kemerdekaan Indonesia. Berasal dari siaran radio, kaum muda Indonesia mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Para pemuda menuntut Soekarno dan Hatta untuk mempercepat Kemerdekaan Indonesia. Namun, Soekarno menolak karena masih menantikan realisasi janji dari Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat. Para pemuda meminta kepada Latief Hendraningrat sebagai salah satu perwira PETA tertinggi di Jakarta untuk meyakinkan Soekarno-Hatta, dan terjadilah apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Pada saat itu, Latief Hendraningrat menjadi orang PETA yang paling bertanggungjawab atas keamanan Jakarta saat itu. Ia menggantikan tugas atasannya, Kasman Singodimejo, [1]
Pada tanggal 17 Agustus 1945, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan Ikada (kini di area Monumen Nasional atau Monas). Mereka mendengar bahwa di sana Soekarno-Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, sesampainya di Lapangan Ikada, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap. Rupanya, deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan Ikada, melainkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang merupakan kediaman Soekarno. Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan rumah Soekarno yang akan digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan. Ia juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu. Usai pembacaan teks proklamasi, Latief bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih bersama Suhud Sastro Kusumo. [1]
Karier Militer
Pasukan PETA Latief bermarkas di bekas markas pasukan Kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto di depan Harmoni. Setelah bergabung dengan TNI, kariernya menanjak terus dan bahkan sempat menjadi Rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.
Dalam masa pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat giat dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), yang selanjutnya dia menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Karier militer Latief Hendraningrat di PETA pun berjalan cukup mulus. Hingga akhirnya PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, pangkat terakhir Latief adalah chudancho (sudanco) alias komandan kompi, satu tingkat di bawah pangkat tertinggi untuk pribumi saat itu yakni daidanco atau komandan batalyon.[1]
Dalam masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai pertempuran. Kemudian menjabat komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948). Kala itu, Yogyakarta sebagai ibukota RI menjadi area pertempuran yang paling genting. Latief juga berhubungan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia juga ikut merumuskan taktik gerilya dan perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949. [1]
Setelah penyerahan kedaulatan, Abdul Latief Hendraningrat mula-mula ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia ia ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini menjadi (Seskoad). Jabatannya setelah itu antara lain Rektor IKIP Jakarta (1965). Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal. Sejak itu ia mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi Indonesia Muda.[2]
Ia merupakan anak dari Kakak R.A Siti Ngaisah yang merupakan istri Djojo Dirono, Bupati Lamongan yang memerintah pada tahun (1885-1937). Sehingga ia juga memiliki darah dari Ken Arok, Jaka Tingkir dan Mangkunegara I.
Biodata Suhud Sastro Kusumo
Suhud Sastro Kusumo (lahir 1920 - meninggal 1986) adalah pejuang Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, ia bertugas pengibar bendera merah putih dengan Latief Hendraningrat.
Referensi
- ^ a b c d e f Raditya, Iswara N. "Latief Hendraningrat, Garda Terdepan Proklamasi Kemerdekaan - Tirto.ID". tirto.id. Diakses tanggal 2018-07-29.
- ^ "Abdul Latif Hendraningrat : Sang Pengibar Bendera Pusaka 1945"
Pranala luar