Tanjung Merah, Matuari, Bitung
Tanjung Merah adalah salah satu kelurahan di kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara, Indonesia.
Tanjung Merah | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sulawesi Utara | ||||
Kota | Bitung | ||||
Kecamatan | Matuari | ||||
Kodepos | 95547 | ||||
Kode Kemendagri | 71.72.05.1001 | ||||
Kode BPS | 7172011001 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
SEJARAH TANJUNG MERAH & KOTA BITUNG
Disusun dalam rangka :
- Perayaan syukur Hari Ulang Tahun ke-189 Jemaat GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah.
- Dokumentasi sejarah Tanjung Merah dan kota Bitung.
- Mengingat jasa para leluhur dotu dan waraneij Tanjung Merah.
- Melestarikan kampung Tanjung Merah menuju kampung cagar budaya Minahasa.
Ikhtisar Sejarah Negeri Tanjung Merah – Kota Bitung
Menurut cerita yang dituturkan secara turun temurun, wilayah Negeri Tanjung Merah sudah mulai dihuni manusia pada tahun 1810. Mulanya hanya sebagai pos pengintai untuk mengawasi kedatangan bajak laut Mangindano (Mindanao), Filipina Selatan, yang disebut te’dong (orang jahat), yang sering datang menjarah sumber daya alam dan mengganggu orang Minahasa di pemukiman pemukiman pesisir. Terutama sekali untuk menghalau para bajak laut itu agar tidak sampai memasuki negeri Kema, yang pada waktu itu merupakan bandar penting di pesisir timur Tanah Minahasa. Tempat pengintaian itu sampai sekarang disebut Sondaken, yang artinya ‘mengintip’ atau ‘mengintai’.
Karena diberi tugas sebagai penjaga keamanan, maka orang-orang yang ditempatkan di pos pengintai itu terdiri atas Wadian (pemimpin agama), Tonaas (pemimpin adat) dan Waraneij (prajurit perkasa). Orang-orang pertama yang dikirim adalah keluarga Wadian Tewu Tanod* dari negeri Treman dan keluarga Waraneij Bugis Ibrahim Lengkong dari Negeri Tumaluntung.
Pada tahun 1811 - 1827 disusul pula oleh keluarga Rumbayan dari Negeri Kembuan (Tonsea Lama), keluarga Pongoh dari Airmadidi, keluarga Kumentas dari Sukur, keluarga Tangkudung dari Treman, keluarga Mandagi dari Kaasan, keluarga Toway dan Rumambi dari Tetey, keluarga Siby dari Kauditan dan keluarga Katuuk dari Kema. Setelah itu berdatangan pula beberapa keluarga antara lain keluarga Roti, keluarga Wullur, keluarga Siby, keluarga Sompotan dan keluarga Ganda.
Keluarga keluarga tersebut membentuk pemukiman darat (dena) ditempat yang agak jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan dari laut. Rumah rumah pada waktu itu berbentuk panggung yang dibangun diatas tiang kayu setinggi kira kira 3 meter. Untuk naik dan turun dari rumah rumah ini digunakan tangga kayu atau bambu yang hanya disandarkan sehingga bisa diangkat, hal ini memang disengaja karena kalau para laki laki dewasa pergi mengintai musuh atau mengadakan patroli, maka yang tertinggal di rumah hanyalah kaum perempuan dan anak-anak. Dengan demikian apabila para te’dong datang menyerang, mereka tidak bisa langsung naik ke rumah karena tangganya sudah diangkat. Selain itu, kaum perempuan dan anak-anak dipersenjatai dengan tombak, batu dan semacam alat semprot dari bambu yang diisi dengan air bercampur rica (cabe).
Pada saat di tempat itu kian banyak orang dan situasi dirasa aman, maka pemukiman penduduk dipindahkan agak ke tepi pantai, dan sejak itu dinamakan Tana Rundang karena didekat pemukiman itu terdapat sebuah tumbuna (tanjung) yang tebingnya berwarna kemerah-merahan. Pada tahun 1827 Tana’ Rundang disahkan sebagai banua (negeri) melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua, yakni Opo Nusa, Opo Simedeman dan Opo Tindadas dari Laikit. Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan (pemimpin kampung panutan).
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu. Menurut tutur cerita, para te’dong itu datang dengan menggunakan 4 pakata (sejenis perahu) yang masing-masing membuat sekitar 150 orang. Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak. Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana’ Da’ (Tanah Darah). Pertempuran itu merupakan “arena perang” paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah. Itulah sebabnya sekalipun berhasil dimenangkan oleh orang Tana’ Rundang namun telah menimbulkan ketakutan berkepanjangan dikalangan penduduk, bahkan ada beberapa keluarga yang langsung pulang ke negeri asal mereka dan tidak pernah kembali ke Tana’ Rundang. Trauma ini telah melahirkan ungkapan sindiran (satire), khususnya di wilayah Minawerot, yaitu : “Maan kino si wilasow masengket nokan nang kure tana’, nyaku soo mo mawuri nan Tana’Rundang”, yang artinya : “sekalipun ikan wilasow datang sendiri melompat di belanga, saya tak sudi lagi kembali ke Tanjung Merah”.
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptis dia seiring masuknya agama Kristen di negeri itu (dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah), dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Juru Tulis. Nama Tana’ Rundang diganti menjadi Tanjung Merah, walaupun dalam pergaulan sehari-hari orang Tonsea, tetap disebut Tana’ Rundang sampai sekitar tahun 1950an.
Penting untuk diketahui sebagai fakta perjalanan sejarah, bahwa sekitar akhir abad ke 19 beberapa keluarga dari Tanjung Merah telah membuka areal perkebunan dan pemukiman baru ke arah Timur Laut yang dikemudian hari telah berkembang pesat menjadi sebuah kota pelabuhan dengan nama Bitung (diambil dari nama pohon Bitung, bahasa Tonsea, Witung) yang pada masa lalu banyak terdapat di sepanjang pantai daerah itu. Mereka adalah keluarga Lengkong, keluarga Siby, keluarga Roti, keluarga Sompotan, keluarga Ganda dan keluarga Wullur (sekarang dikenal dengan keluarga “Enam Dotu”). Selanjutnya setelah Bitung menjadi kecamatan, Tanjung Merah dimasukan sebagai salah satu desa di dalam wilayahnya. Demikianlah seterusnya seiring dengan perkembangan kota Bitung, Tanjung Merah berubah status menjadi kelurahan ketika Bitung diresmikan sebagai kota administratif dan kemudian menjadi kotamadya.
Selain sejarah Tanjung Merah juga terjadi peristiwa-peristiwa penting antara lain wabah penyakit Malaria, tahun 1934 pernah dilanda banjir besar yang hampir meratakan seluruh pemukiman, masa pendudukan Jepang banyak orang Tanjung Merah dibantai tentara Nipon di Tasik Koki, pergolakan PRRI/Permesta rumah-rumah penduduk termasuk gedung gereja musnah dibakar.
Adapun lokasi jalan utama Manado – Bitung, sebelum ada jalan baru yang melewati Sagrat, adalah jalan yang melewati Kema-Tanjung Merah-pusat kota Bitung sehingga posisi kampung berada didepan jalan Manado – Bitung, sedangkan erfpacht, -perkebunan yang disewakan pemerintah Belanda kepada orang timur jauh dengan sebutan Domain Veerklaring (tanah jajahan adalah tanah milik raja Belanda),- dahulu adalah hutan yang dibuka dan dijadikan perkebunan (tumani) oleh Tunduan Teterusan Tewu Tanod untuk kebutuhan hidup sehari-hari para Dotu dan Waraneij, posisi kebun berada tepat di belakang kampung Tanjung Merah sebagaimana perkebunan masyarakat Minahasa umumnya berada di belakang kampung. Tentu saja hal ini mengingat kawasan pantai tidak aman disamping masyarakat Minahasa dikenal sebagai pekebun ulung.
Kendati demikian, Negeri Tanjung Merah tetap ada hingga sekarang. Tanjung Merah memang negeri para Waraneij dibawah pimpinan Tunduan Teterusan, yakni kaum prajurit perkasa yang setia mengorbankan jiwa raga untuk mempertahankan hak dan martabat kemanusiaan, khususnya di tanah leluhur. Keteguhan para tumani Banua Tana’ Rundang itu barangkali bukanlah sesuatu yang perlu diagung-agungkan, namun paling tidak, itulah bukti sebuah keperkasaan dan ketabahan yang patut dimiliki sepanjang generasi orang Tanjung Merah dimana saja berada. Tanjung Merah adalah negeri tertua yang juga merupakan Tumani um Banua Bitung, sehingga merupakan “warisan” sejarah yang patut dijaga dan dikembangkan bersama menjadi kampung cagar budaya Minahasa.
- Tewu Tanod berdasarkan kisah-kisah sejarah perang suku Minahasa kemungkinan adalah orang yang sama yang memimpin perang melawan Belanda yang dikenal perang benteng Moraya di Tondano tahun 1809.
Sumber dan bukti terkait berita:
- Tugu nama-nama hukum tua/lurah dari tahun 1827 – sekarang
- Dokumen sejarah gereja GMIM Eben Haezar, Tanjung Merah
- Kuburan tua para turunan dotu dan waraneij.
- Keterangan lisan para tua-tua kampung Tanjung Merah.
- Bukti dokumen pemerintah kelurahan Tanjung Merah.
- Lokasi-lokasi yang disebut sampai sekarang tetap ada di Tanjung Merah.
- https://m.facebook.com/notes/albert-kusen/perang-tondano-1809-kisah-heroik-orang-minahasa-melawan-pasukan-belanda/400330743448
DAFTAR HUKUM TUA / LURAH TANJUNG MERAH (1827 – 2015)
- Tewu Tanod, Treman, 1827-1853
- Ibrahim Lengkong, Tumaluntung, 1853 – 1875
- R. Tanod, Treman, 1875 – 1887
- J. Siby, Tontalete, 1887 - 1892
- W. Lampa, Kauditan, 1892 – 1894
- T. Ganda, Kauditan, 1894 – 1896
- J. Lengkong, Tumaluntung, 1896 – 1901
- Ch. Lengkong, Tumaluntung, 1901 – 1906
- S. Mawuntu, Kema, 1906 – 1911
- A. Kelley, Kema, 1911 – 1913
- D. Lengkong, Tanjung Merah, 1913 – 1918
- BT. Rumambi, Tanjung Merah, 1918 – 1924
- A. Rumawung, Tanjung Merah, 1924 – 1927
- Dirk Lengkong, Tanjung Merah, 1927 – 1932
- Welliam Katuuk, Tanjung Merah, 1932 – 1944
- B. Wullur, Tanjung Merah, 1944 – 1945
- G. Wuisan, Tanjung Merah, 1945 – 1950
- B.Lengkong, Tanjung Merah, 1950 – 1958
- Ch. Lengkong, Tanjung Merah, 1958 – 1961
- Simon Angkouw, Tanjung Merah, 1961 – 1971
- Bastian Dumanau, Lilang, 1971 – 1972
- Jan Wullur, Tanjung Merah, 1972 – 1975
- Marthen Ratumbanua, Tanjung Merah. 1975 – 1978
- Hendrik Montung, Tanjung Merah, 1978 – 1984
- Agus Siby, Tanjung Merah, 1984 – 1988
- Harry F. Rumawung, Tanjung Merah, 1988 – 1998
- Julien Najoan Awondatu, Girian (Pelaksana), 1998 – 2000
- A. Supit, Bitung (Pelaksana), 2000 – (3 bulan)
- Ruland Rimporok, Manembo-nembo, 2000 – 2001
- Fransisca A.A. Kulit, Manado, 2001 – 2004
- Ruland Rimporok, Manembo-nembo, 2004 – 2005
- Darmun Lopus, Sulteng, 2005 - 2010
- Ferdinand Katuuk, Tanjung Merah, 2010 - sekarang