Bahasa Kampar

bagian dari rumpun bahasa Austronesia
Revisi sejak 17 Agustus 2018 09.14 oleh Ardzun (bicara | kontrib)

Bahasa Ocu atau Bahasa Kampar adalah bahasa yang dituturkan oleh Etnik Ocu yang merupakan penduduk asli di Kabupaten Kampar, Riau.[1][2] Bahasa ini juga dipertuturkan juga di Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi (Kuansing), dan Indragiri Hulu.[2] Karena letak persebaran geografis bahasa ini dekat dengan Provinsi Sumatera Barat, bahasa ini memiliki kemiripan dengan dialek lain dalam bahasa Minangkabau yaitu dialek Limapuluh Kota.[3] Sedangkan di wilayah Riau, bahasa ini memiliki kemiripan dengan dialek Kuantan.

Dalam perkembangannya, masih terdapat pertentangan mengenai hubungan bahasa ini dengan kedua bahasa di sekitarnya, bahasa Minang dan bahasa Melayu. Sebagian pakar menganggapnya sebagai dialek dari bahasa Minang[4][2] dan sebagian lain mengganggapnya sebagai dialek bahasa Melayu Riau.[5] Namun, orang Ocu (Kampar) lebih suka menganggapnya sebagai bagian dari bahasa Melayu Riau atau bahkan bahasa mandiri.[6]

Selain di Riau, bahasa ini juga dituturkan oleh para perantau Ocu di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, oleh perantau Ocu yang sudah turun-temurun tinggal di Semenanjung Malaya, Malaysia.

Sejarah

Perkembangan bahasa Kampar tidak terlepas dari sejarah Kampar sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu wilayah Kampar sempat menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan bagi Kerajaan Sriwijaya yang semula bernama Kerajaan Muara Takus. Kemudian didirikanlah Candi Muara Takus di tepi Sungai Kampar Kanan sebelum akhirnya berpindah ke Palembang. Kerajaan Sriwijaya saat itu menggunakan bahasa Melayu Kuna, sebagaimana yang tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit. Hal ini didukung oleh catatan Tiongkok, bahwa Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bernama Kerajaan Melayu dengan bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Kemudian bahasa Melayu berkembang pesat seiring dengan ekspansi Kerajaan Sriwijaya.

Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, mulailah pengaruh dari Kesultanan Malaka dan Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau. Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melayu Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[7]

Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.[8]Saat itu Kampar merupakan kawasan yang strategis untuk perniagaan, sehingga menjadi wilayah rantau bagi Luhak Limapuluh Kota di pedalaman dan dikenal sebagai Rantau Limo Kotkano. Komunikasi masyarakat antara wilayah Luhak dengan Rantau tersebut terus terjalin, sehingga masyarakat kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dialek.

Setelah itu, kekuasaan atas wilayah Kampar berpindah ke Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kesultanan Siak menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa pengantarnya sehingga terdapat hubungan saling mempengaruhi antara bahasa Melayu yang digunakan oleh kerajaan dengan dialek masyarakat Kampar.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kampar dimasukkan dalam Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Sumatera Tengah dibubarkan, Kampar dimasukkan dalam wilayah Provinsi Riau tahun 1958.[9] Akibat perjalanan sejarah inilah, bahasa Kampar memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Minangkabau di sebelah barat serta bahasa Melayu Riau di sebelah timur.

Perbandingan dengan dialek dan bahasa lain yang serumpun

Orang Kampar umumnya berpendapat bahwa bahasanya memiliki banyak persamaan dengan bahasa Minangkabau, bahasa Melayu, ataupun bahasa Indonesia. Persamaan dengan bahasa Minangkabau khususnya dengan dialek Limapuluh Kota membuat sebagian pakar mengkategorikan bahasa Kampar sebagai salah satu dialek dalam bahasa Minang.[4][2]

Karya sastra

Karya sastra tradisional berbahasa Kampar memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra tradisional rumpun bahasa Melayu liannya, khususnya dengan sastra tradisional Minangkabau, yaitu berbentuk prosa, cerita rakyat, dan hikayat. Penyampaiannya biasa dilakukan dalam bentuk cerita (koba) atau dinyanyikan (dendang). Adapula karya sastra yang digunakan untuk prosesi adat Kampar, seperti pepatah-petitih dan persembahan (basiociuong atau basisombau). Pepatah-petitih dan persembahan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Agar tidak kehilangan makna, karya sastra jenis ini tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Oleh karenanya sangat sedikit sekali orang yang menguasai karya sastra ini, yang hanya terbatas pada ninik mamak dan pemuka adat.[10]

Rujukan

  1. ^ Witrianto dan Arfinal, 2011. Bahasa Ocu: Akulturasi antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu Riau di Kabupaten Kampar. Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya” Bandung. 30 November 2011: 1-18. [1]
  2. ^ a b c d Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017[2]
  3. ^ Purna, I. M., Sumarsono, Astuti, R., Sunjata, I. W. P., (1997), Sistem pemerintahan tradisional di Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  4. ^ a b Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. ^ Hamidy, U. U. 2003, Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Riau / U.U. Hamidy Unri Press kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation Pekanbaru, ISBN 979-3297-33-6
  6. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  7. ^ Winstedt, R., (1962), A History of Malaya, Marican.
  8. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  9. ^ http://www.dpr.go.id Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958
  10. ^ Edwar Jamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Yayasan Obor Indonesia, 2001