Genosida Timor Timur

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama pendudukan Timor Leste (1975–1999)

Genosida Timor Leste mengacu pada aktivitas teror berkedok "kampanye pasifikasi" oleh pemerintah Indonesia saat menduduki Timor Leste. Para akademisi Universitas Oxford secara konsesus menyebut pendudukan Indonesia di Timor Leste sebagai genosida. Universitas Yale mengajarkan peristiwa ini dalam mata kuliah Kajian Genosida.[1][2]

Genosida Timor Leste
Bagian dari Pendudukan Indonesia di Timor Leste
Pembantaian Santa Cruz terjadi di tengah upacara Sebastião Gomes tahun 1991.
LokasiTimor Leste di bawah
pendudukan Indonesia
TanggalPendudukan berlangsung tahun 1975 sampai 1999, tetapi sebagian besar pembunuhan massal terjadi tahun 1970-an
SasaranMenundukkan secara paksa bangsa Timor Leste ke pemerintah Indonesia
Jenis serangan
Penghilangan paksa, Pembantaian genosidal
Korban tewas
Perkiraan total korban tewas berkisar antara 100.000–300.000 jiwa

Serbuan awal

Relokasi dan pemaksaan kelaparan

 
Monumen dengan lambang nasional Indonesia di Viqueque (2016)

Operasi pasifikasi Indonesia

Operasi Keamanan: 1981–82

Pada tahun 1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki "operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai 80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga desa dibantai di Lacluta oleh Batalyon 744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.[3] Operasi ini gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia semakin kuat.[4] Ketika tentara FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan damai (pasif) mulai terbentuk.[5]

Operasi Sapu Bersih: 1983

Gagalnya rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana Gusmão, di wilayah yang dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan ABRI Benny Moerdani membatalkan gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama "Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."[6]

Batalnya gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan "penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200 orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai di daerah itu.[3] Pada Agustus hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan "penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu oleh ABRI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.[7]

Orang-orang yang diduga menolak integrasi biasanya ditangkap dan disiksa.[8] Pada tahun 1983, Amnesty International merilis buku panduan militer Indonesia yang diperoleh di Timor Leste. Buku tersebut mengajarkan cara memancing kegelisahan fisik dan mental dan mewanti-wanti tentara untuk "tidak mengambil foto yang menampilkan penyiksaan (terhadap seseorang yang disetrum, ditelanjangi, dan lain-lain)".[9] Dalam memoar tahun 1997, East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance, Constâncio Pinto menggambarkan penyiksaannya oleh tentara Indonesia: "Untuk setiap pertanyaan, wajah saya ditonjok dua atau tiga kali. Ketika seseorang menonjokmu seperti itu, wajahmu terasa hancur. Mereka memukul punggung dan pinggang saya dengan tangan, lalu menendang saya.... [Di tempat lain] mereka menyiksa saya secara psikologis; mereka tidak memukul, tetapi benar-benar mengancam akan membunuh saya. Mereka bahkan meletakkan pistol di meja."[10] Dalam buku Michele Turner yang berjudul Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992, seorang perempuan bernama Fátima menggambarkan penyiksaan di sebuah penjara di Dili: "Mereka memaksa tahanan duduk di kursi, tetapi kursinya menindih jempol kaki mereka. Gila memang. Para tentara mengencingi makanan dan mengaduk-aduknya sebelum diserahkan kepada tahanan. Mereka menyetrum tahanan menggunakan mesin listrik...."[11]

Kekerasan terhadap perempuan

Pembantaian Santa Cruz

Jumlah korban tewas

Film

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Payaslian, Simon. "20th Century Genocides". Oxford bibliographies. 
  2. ^ "Genocide Studies Program: East Timor". Yale.edu. 
  3. ^ a b Taylor, pp. 101–102; Nevins, p. 30; Budiardjo and Liong, pp. 127–128; Amnesty (1985), p. 23; Dunn, p. 299.
  4. ^ Budiardjo and Liong, pp. 41–43; Dunn (1996), p. 301.
  5. ^ Dunn (1996), pp. 303–304.
  6. ^ Sinar Harapan, 17 August 1983, quoted in Taylor 1991: 142
  7. ^ East Timor, Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984, p. 40
  8. ^ Amnesty (1985), pp. 53–59; Turner, p. 125; Kohen and Taylor, p. 90; Budiardjo and Liong, pp. 131–135.
  9. ^ Amnesty (1985), pp. 53–54.
  10. ^ Pinto, pp. 142–148.
  11. ^ Turner, p. 143.