Palangka

Revisi sejak 8 September 2018 03.13 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Palangka berarti tempat (wahana) yang suci dalam budaya Dayak atau batu datar tempat penobatan raja dalam budaya Sunda dan Jawa yang disebut Palangka Sriman Sriwacana alias Watu Gilang atau Watu Gigilang.[1][2]

Palangka Raya

Dengan dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah maka ditetapkan lokasinya di Pahandut. Guna mencari nama ibukota provinsi tersebut, Gubernur RTA. Milono menugaskan Panitia yang sama dengan Panitia yang mencari dan merumuskan calon Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah untuk mencari nama bagi Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.

Panitia terus bekerja keras untuk mencari nama bagi ibukota itu. Mereka mengumpulkan berbagai pendapat dari bermacam-macam kalangan antara lain pendapat/pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah seperti Damang H.S. Tundjan, Damang Saililah dan Tjilik Riwut termasuk saran dan pandangan dari Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah RTA. Milono.

Akhirnya, nama ibukota itu berhasil disepakati dan disetujui sepenuhnya oleh Gubernur RTA. Milono dan kepastian tentang nama itu akan diumumkan sendiri oleh Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah. Demikianlah kurang lebih 4 bulan kemudian, dengan didahului upacara adat dari suku dayak yang bertempat dilapangan Bukit Ngalangkang, Pahandut pada tanggal 18 Mei 1957 diumumkan nama ibukota provinsi Kalimantan Tengah. Gubernur RTA. Milono dalam pidatonya antara lain mengemukakan cita-cita dia bahwa untuk memberi nama Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah harus disesuaikan dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci. Nama yang dipilih adalah PALANGKA RAYA.

Menurut kepercayaan leluhur suku Dayak, nenek moyang suku Dayak diturunkan dengan memakai wahana Palangka Bulau. Palangka berarti tempat yang suci, Bulau berarti emas atau logam mulia, sedangkan Raya berarti besar. Dengan demikian, Palangka Raya berarti tempat suci dan mulia yang besar.

Gubernur berpesan “sesuaikanlah nama ini dengan cita-cita dilahirkannya Kalimantan Tengah”, lalu diingatkan oleh Gubernur Milono seraya mengungkapkan : “…. Kalimantan Tengah yang dilahirkan dalam suasana suci Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Paskah agar tetap memlihara kesucian dan kemuliaan ……. ” Demikianlah akhirnya Kota Palangka Raya menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Tengah

Palangka Sriman Sriwacana

 
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Berakhirnya zaman Pajajaran (1482 - 1579) ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Kata palangka secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman

Sumber rujukan