Lokomotif C30

salah satu lokomotif uap di Indonesia
Revisi sejak 11 September 2018 10.25 oleh Bala Arizalu (bicara | kontrib)

Lokomotif C 33 adalah lokomotif uap buatan pabrik Esslingen di Jerman. C 33 adalah lokomotif yang diperuntukkan untuk menarik gerbong batu bara seberat 600 Ton pada jalur datar di lintas Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust. Setelah sebelumnya gerbong ditarik oleh Lokomotif D18 maupun Lokomotif E10 dari pertambangan.

C30
C30
Lokomotif C 30 (SS 1769) di stasiun Prabumulih
Data teknis
Sumber tenagaUap
ProdusenEsslingen , Jerman
Tanggal dibuat1891-1904
Jumlah dibuat23 unit
Spesifikasi roda
Notasi Whyte2-6-0T
Dimensi
Lebar sepur1.067 mm
Berat
Bahan bakar
Sistem mesin
Kinerja
Kecepatan maksimum45 km/jam
Daya mesin390 hp
Lain-lain
Karier
Perusahaan pemilikStaatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust
Daerah operasiSumatera
Pemilik sekarangPT Kereta Api Indonesia

Sejarah

<ref>https://heritage.kai.id/page/Lokomotif%20C33 Lokomotif C33Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah atau memiliki nama yang salah. Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan rel di Sumatra Barat karena terdapat tambang batubara di daerah Ombilin (Sawahlunto). Dengan jumlah kandungan batubara yang cukup besar, maka diperlukaan transportasi kereta api untuk membawa batubara dari Ombilin (Sawahlunto) ke pelabuhan Telukbayur. Transportasi kereta api di Sumatra Barat dikelola oleh perusahaan kereta api Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust (SSS).

Jalan rel yang dibangun untuk menghubungkan pelabuhan Telukbayur dan Ombilin yaitu rute Puluayer – Padang – Lubukalung – Padangpanjang (71 km) selesai dibangun tahun 1891, rute Telukbayur – Padang (7 km) selesai dibangun pada tahun 1892, rute Padangpanjang – Solok – Muarakalaban (76 km) selesai dibangun tahun 1892 dan rute Muarakalaban – Sawahlunto (4 km) selesai dibangun pada tahun 1894. Sementara rute Muarakalaban – Muaro (25 km) selesai dibangun pada tahun 1924.

Untuk melayani rute tersebut maka SSS mendatangkan 23 lokomotif uap C33 dari pabrik Esslingen (Jerman). Lokomotif C33 didatangkan pada tahun 1891 – 1904. Lokomotif ini mampu menarik gerbong batubara seberat 600 ton pada jalan rel yang datar seperti pada rute Kayutanam – Lubukalung – Padang – Telukbayur.

Lokomotif C33 memiliki susunan roda 2-6-0T. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 45 km/jam dan memiliki daya 390 HP (horse power). Berat keseluruhan 37 ton. Lokomotif C33 menggunakan bahan bakar batubara.

Pada masa pemerintah Jepang, beberapa lokomotif C33 digunakan untuk melayani jalur kereta api rute Muaro (Sumatra Barat) – Pekanbaru (Riau). Jalur Muaro – Pekanbaru memiliki panjang 220 km yang dibangun pada tahun 1943-1945. Lokomotif ini digunakan untuk menarik kereta barang batubara. Namun buruknya konstruksi jembatan kayu dan jalan rel di rute ini menyebabkan beberapa lokomotif dan gerbong terjebak di hutan belantara Sumatra Barat dan Riau. Konstruksi jembatan kayu ini cukup lemah karena balok yang digunakan pendek, bentang jembatan hanya bisa mencapai maksimum enam meter sehingga perlu banyak pilar untuk menopangnya. Dengan banyaknya kayu yang mengapung di sungai pada musim hujan maka pilar-pilar jembatan ini menjadi cepat rusak. Juga tanggul-tanggul yang dibangun terlalu curam sehingga cepat rusak oleh air hujan.

Jalur Muaro – Pekanbaru ditutup pada bulan September 1945. Nasib baik berpihak kepada lokomotif C33 22 yang ditemukan dalam keadaan utuh dan saat ini dipajang di kota Pekanbaru. Selain di kota Pekanbaru, di Muaro Sijunjung juga terdapat lokomotif uap yang tidak teridentifikasi serinya namun dalam kondisi tidak lengkap lagi. Lokomotif ini ditemukan dan diselamatkan oleh warga saat membuka jalan raya dari Silokek ke Durian Gadang kemudian dilanjutkan ke Tapus pada tahun 1980.

Dari 23 lokomotif C33, saat ini masih tersisa 3 lokomotif C33, yaitu C33 18, C33 22 dan C33 25. C33 18 (mulai operasional tahun 1891) dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. C33 22 (mulai operasional tahun 1892) dipajang di kota Pekanbaru (Riau). C33 25 (mulai operasional tahun 1892) dipajang di kota Padang (Sumatra Barat).

Referensi