Pramodawardhani adalah putri mahkota Wangsa Sailendra yang menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840-an.

Peresmian Borobudur

Nama Pramodawardhani ditemukan dalam prasasti Kayumwungan tahun 824 sebagai putri raja Samaratungga. Menurut prasasti itu, ia meresmikan sebuah bangunan jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Para sejarawan menganggap bangunan jinalaya ini sebagai Candi Borobudur.

Pada prasasti Kahulunan tahun 842 disebutkan adanya tokoh Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa untuk ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Sejarawan De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan ini dengan permaisuri. Karena pada tahun itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja, maka yang dimaksud dengan permaisuri adalah Pramodawardhani.

Pendapat lain dikemukakan oleh Pusponegoro dan Notosutanto yeng menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Berdasarkan pendapat ini, tokoh Sri Kahulunan bukanlah Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.

Perkawinan dengan Rakai Pikatan

Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang menurut versi prasasti Mantyasih. Sementara itu prasasti Wantil menyebutkan bahwa ia memeluk agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Para sejarawan sepakat bahwa putri tersebut adalah Pramodawardhani.

Dari perkawinan itu lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (prasasti Wantil). Sebenarnya Rakai Gurunwangi lebih dulu diangkat sebagai putri mahkota. Namun karena jasa kepahlawanan Rakai Kayuwangi sewaktu menumpas musuh ayahnya yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, maka ia pun diangkat sebagai raja sepeninggal Rakai Pikatan, bukan kakak perempuannya tersebut.

Hubungan dengan Balaputradewa

Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijya putra Samaragrawira. De Casparis menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, sehingga Balaputradewa secara otomatis dianggap sebagai saudara dari Pramodawardhani.

Penadapat populer ini dibantah Slamet Muljana karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan, bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga yang juga putra dari Samaragrawira. Dengan kata lain, Balaputradewa adalah paman Pramodawardhani.

Teori yang sangat populer bahwa sepeninggal Samaratungga terjadi perang saudara memperebutkan takhta antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani yang dibantu oleh Rakai Pikatan mungkin keliru. Kiranya, Balaputradewa menyingkir ke Sumatra bukan karena kalah perang, melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa mengingat ia hanyalah adik Samaratungga, bukan putranya. Teori ini diperkuat oleh analisis Pusponegoro dan Notosutanto terhadap beberapa prasasti di bukit Ratu Baka, bahwa musuh Rakai Pikatan bukan bernama Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS