Pokok perbincangan mengenai ada tidaknya sangkut paut terhadap rumpun bangsa beserta tingkat kecerdasan pun sudah menghangat sejak permulaan abad ke-20 melalui karya ilmu pengetahuan tertulis dan penelitian yang didasari bukti keterangan dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, bersamaan dengan kadar kecerdasan (intelligence quotient atau IQ) yang mulai gencar dimasyarakatkan secara mendunia. Hal demikian ditandai dengan membekasnya sawala-sawala tentang adakah perbedaan tingkat kecerdasan pada berbagai belahan dunia dengan dilaksanakannya uji nilai angka kecerdasan serta sampai manakah pengujian seperti ini terus dijadikan cerminan bagi semacam kenyataan dan pengaruh yang berdampak pada lingkungan yang didiami orang-seorang, berhubung hal ini dipercayai baik dan layak dipertimbangkan untuk menjadi pengimbang bagi semacam kenyataan dan pengaruh yang berasal dari dampak pertalian kekeluargaan secara turun-temurun, atau genetik. Maka dari itu, dapatlah diartikan tentang "rumpun bangsa" dan "tingkat kecerdasan" serta bisakah atau tidakkah pokok perbincangan ini menghasilkan pengertian yang utuh. Hingga saat ini, bukti tidak langsung belum pernah ditemukan terkait adanya perbedaan-perbedaan tingkat kecerdasan yang dilandaskan secara kukuh kepada pembentuk penggolongan berdasarkan semacam kenyataan dan pengaruh keturunan, atau komponen genetik. Meski begitu, beberapa pakar peneliti mempercayai adanya bukti tak langsung yang sekurang-kurangnya bisa dianggap mengandung alasan yang lebih sejalan dengan daya pikir sampai ketika kelak dikemukakan pula bukti yang memperkuat adanya pengurutan golongan tingkat kecerdasan pada setiap keturunan dari suatu rumpun bangsa.

Uji tingkat kecerdasan yang diadakan untuk pertama kalinya bagi seluruh lapisan masyarakat Amerika Serikat merupakan ujian pendaftaran calon anggota baru angkatan bersenjata Amerika Serikat ketika peristiwa Perang Dunia Pertama. Terdapat sekelompok orang berpengaruh yang berkeahlian dalam perbaikan mutu kelahiran ketika tahun 1920-an yang berpendapat bahwa warga Amerika Serikat berdarah Afrika beserta sejumlah warga negara asing bisa dipandang tak begitu cerdas dibandingkan orang Anglo-Sakson lantaran pembawaan gaya hidup yang cukup tampak saling berbeda. Alasan ini dijadikan bentuk sanggahan oleh ras Anglo-Sakson hingga berlanjut dengan terjadinya pembedaan perlakuan antar masing-masing ras yang mendiami Amerika Serikat. Sesudah itu, diadakan kembali penelitian-penelitian lainnya lagi terhadap hal tersebut yang membuahkan kesimpulan tentang penyalahan keras oleh sejumlah orang terhadap pandangan tersebut dengan mengungkapkan pendapat bahwa uji tingkat kecerdasan untuk calon bagian angkatan bersenjata telah memicu perkara buruk, yaitu dengan menjalarnya masalah terhadap hal ihwal penyebab yang dipengaruhi dari lingkungan seperti perkara ketidaksetaraan antar ras di Amerika Serikat, khususnya antara orang berkulit gelap dan orang berkulit terang.

Banyak pihak yang mulai bersawala lagi tentang tingkat kecerdasan orang Afrika dan orang berkulit terang di tahun 1969, yaitu ketika seorang pakar gejala dan kegiatan jiwa asal Amerika Serikat bernama Arthur Jensen telah mengemukakan sudut pandangnya yang dianggap layak dijadikan tolok ukur yang paling tepat benar terkait dengan kurang unggulnya tingkat kecerdasan orang Afrika dibandingkan ras berkulit terang tersebut atas alasan hasil dari dampak silsilah keturunan, ditambah lagi dengan pemberlakuan pendidikan sebagai penanganan atas hambatan perkembangan belajar yang dihadapi anak-anak Amerika Serikat berketurunan Afrika telah dicap sebagai pernyataan yang tidak begitu pantas lantaran tidak sedikitpun memberi kesan yang mengarah kepada perbaikan bagi pihak manapun. Pada tahun 1994, buku bertajuk The Bell Curve berisikan suatu alasan pembantah yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan hubungan bermasyarakat yang saat itu melanda Amerika Serikat boleh jadi berpangkal tolak pada beragamnya nilai angka tingkat kecerdasan berdasarkan setiap ras dan secara orang-seorang, lalu sawala ilmiah dan umum pun mulai ditata ulang dengan warna yang lebih menyegarkan dan kesan yang mulai sedikit bersahabat terhadap siapapun yang ikut melibatkan diri menyuarakan pendapat. Sewaktu kegiatan perbincangan bersama tersebut mengangkat pokok pembicaraan tentang diterbitkannya buku tersebut kepada khalayak ramai, pihak Asosiasi Antropologi Amerika (American Anthropological Association) ditemani pihak Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association atau disingkat APA) resmi mengeluarkan pernyataan yang menyangkut pada desas-desus tersebut, kedua-dua pihak tersebut serentak memandang cenderung kurang percaya terhadap sejumlah pernyataan atas suatu kebenaran yang terdapat pada buku tersebut, meski pihak Persatuan Ilmu Gejala dan Kegiatan Jiwa Amerika Serikat hendak mengadakan penelitian yang mengandalkan uji coba beserta pengalaman untuk menggali kepastian desas-desus tersebut.

Sejarah sawala tentang ras dan kecerdasan

 
Alfred Binet (1857–1911), seorang ahli dalam mereka cipta suatu ujian tingkat kecerdasan untuk pertama kalinya.

Pengukuhan pernyataan bahwa setiap rumpun bangsa memiliki tingkat kecerdasannya masing-masing yang beragam satu dengan yang lainnya dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan penjajahan, perbudakan, rasisme, darwinisme sosial dan pengendalian angka kelahiran dari setiap rumpun bangsa. Salah seorang pemikir persoalan rumpun bangsa bernama Arthur de Gobineau selalu saja mengandalkan dasar dugaan yang menyatakan orang berkulit gelap itu bermutu tidak lebih baik dibandingkan dengan orang berkulit putih sejak bawaan lahir, hal demikian ditujukan demi mempertahankan pengejawantahan cara berpikir pengunggulan kekuasaan kulit putih. Bahkan, beberapa ahli pemikir lainnya yang bernama Thomas Jefferson yang pernah memiliki seorang hamba sahaya sempat pernah mempercayai bahwa orang berkulit gelap tidak memiliki tingkat kecerdasan dan perawakan tidak lebih bagus daripada orang berkulit terang.[1]

Bacaan lanjut

  1. ^ Jackson & Weidman 2004, hlm. 23.