Minhajul Abidin
Minhajul Abidin (secara harfiah berarti Pedoman Dasar bagi para Ahli Ibadah) adalah kitab tasawuf karangan Imam Al-Ghazali. Kitab ini ditulis menjelang wafatnya Imam Al-Ghazali. Dengan kata lain, ditulis setelah Kitab Ihya Ulumuddin.
Dalam kitab ini Imam Al-Ghazali menggunakan istilah 'aqobah yang artinya jalan mendaki yang sukar ditempuh. [1] Menurut Imam Al-Ghazali ada tujuh 'aqobah yang dapat menghambat kualitas ibadah serta faktor-faktor yang menghambat komunikasi personal seorang hamba dengan Tuhan. Dalam teks indonesia 'abobah diterjemahkan sebagai tanjakan. Namun, ada juga yang menafsirkan kata 'aqobah dalam kitab ini sebagai metode atau juga rintangan. Tujuh tanjakan tersebut harus ditempuh oleh setiap hamba untuk meningkatkan kualitas ibadahnya kepada Allah.
Dengan demikian, tema pokok dalam kitab Minhajul Abidin ini lebih fokus dan lebih bersifat praktis jika dibandingkan dengan kitab Ihya Ulumuddin. [1]
Tanjakan Pertama
Ilmu dan Ma'rifat [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Kedua
Taubat [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Ketiga
Godaan [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Keempat
Rintangan [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Kelima
Pendorong [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Keenam
Cacat-cacat (Celaan) [2]
Penjelasan segera menyusul
Tanjakan Ketujuh
Puji dan Syukur kepada Allah SWT [2]
Penjelasan segera menyusul
Rujukan
- ^ a b Penerbit Hikmah (2005). 7 Metode Menjernihkan Nurani. Cetakan I. ISBN 979-3674-45-8
- ^ a b c d e f g PENGERTIAN MA’RIFAT DAN MA’RIFAT MENURUT TOKOH-TOKOH TASAWUF A. Pengertian Ma’rifat Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui, mengenal,1 atau pengetahuan Ilahi.2 Orang yang mempunyai ma’rifat disebut a>rif. 3 Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, 4 atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan.5 Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqa>m (tingkatan) atau h}a>l (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT (ma’rifatulla>h) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.6 Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat eksoteris (z}ahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (bat}iniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan.7 Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.8 Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan bertafakkur melalui penz}ahiran (manifestasi) sifat keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini.