Gereja Santo Yusuf, Semarang
Gereja Santo Yusuf atau Gereja Santo Yosef, juga dikenal sebagai Gereja Gedangan[1] adalah sebuah gereja Katolik di Semarang yang merupakan gereja Katolik pertama di kota ini. Secara administratif, gereja ini merupakan bagian dari Paroki Santo Yusuf di Keuskupan Agung Semarang.
Gereja Santo Yusuf | |
---|---|
Koordinat: 6°57′57″S 110°25′52″E / 6.96583°S 110.43111°E | |
6°57′57″S 110°25′52″E / 6.965963°S 110.431006°E | |
Lokasi | Semarang |
Negara | Indonesia |
Denominasi | Katolik Roma |
Arsitektur | |
Status fungsional | Aktif |
Arsitek | W. I. van Bakel |
Gaya | Neogotik |
Peletakan batu pertama | 1 Oktober 1870 |
Selesai | 12 Desember 1875 |
Spesifikasi | |
Kapasitas | 800 orang |
Jumlah lantai | 2 |
Jumlah puncak menara | 1 |
Lonceng | 2 |
Administrasi | |
Paroki | Gedangan |
Provinsi | Jawa Tengah |
Gereja ini dirancang oleh arsitek Belanda bernama W.I. van Bakel dan dibangun pada tahun 1870 hingga 1875 untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk Katolik Semarang dengan biaya 110.000 gulden. Gereja tumbuh secara ekstensif selama lima puluh tahun dan pada awalnya didominasi oleh etnis Eropa dan orang-orang campuran, namun sejak kemerdekaan gereja mayoritas memiliki jemaat pribumi. Karena populasi Katolik bertumbuh, ukuran paroki mengecil karena paroki-paroki yang baru didirikan.
Kompleks gereja ini terdiri dari, antara lain gedung gereja, pastoran, dan sebuah biara. Gereja Santo Yusuf pun penuh hiasan, termasuk sembilan belas kaca patri jendela (termasuk tiga didedikasikan untuk santo pelindung gereja, Yusuf), ukiran-ukiran yang menampilkan empat belas salib, dan sebuah altar yang diimpor dari Jerman. Menara tunggal di gereja tersebut adalah rumah bagi dua lonceng yang dibuat oleh Petit & Fritsen.
Sejarah
Katolik di Semarang
Gereja Katolik Roma pertama kali memasuki kota Semarang, Hindia Belanda (kini Jawa Tengah, Indonesia) pada awal abad ke-19. Pada tahun 1808 Pastor Lambertus Prinsen (1777-1840) dikirim dari Belanda ke Hindia belanda sebagai pendeta untuk Semarang dan beberapa pemukiman sekitarnya, termasuk Salatiga dan Klaten. Dengan cepat ia mendirikan sebuah dewan untuk menangani tugas-tugas keagamaan, dan pembaptisan mulai tahun berikutnya. Empat belas orang, sebagian besar Belanda dibaptis pada tahun 1809. Namun, jemaat ini tidak memiliki sebuah gereja di mana mereka bisa berdoa. Sampai tahun 1815 jemaat menggunakan gereja terdekat, yakni Gereja Immanuel yang sebenarnya adalah gereja Protestan. Antara tahun 1815 dan 1822 ibadah diadakan di rumah-rumah anggota jemaat dan sejak 7 September 1822 misa diadakan di rumah baru Pastor Prinsen (dekat Gereja Immanuel).[2]
Jemaat membutuhkan bangunan gereja dan sudah memiliki tanah yang bisa digunakan karena pada tahun 1828 umat Katolik telah membeli tanah bekas rumah sakit dan sekitarnya yang berada di Gedangan, dekat pelabuhan dan mendirikan sebuah panti asuhan di sana. Namun, Monsiyur Joseph Lijnen (1815-1882), yang telah menjadi jemaat pendeta pada tahun 1858, meninggalkan Hindia Belanda ke Heythuysen, Belanda. Ia yakin bahwa di sana beberapa biarawati Fransiskani akan bergabung dengannya ke Hindia Belanda dan mengembangkan jemaat melalui pendidikan dan kementerian. Setelah kembali ke Hindia Belanda, desain dibuat untuk sebuah bangunan gereja di panti asuhan dan biara yang didirikan untuk para biarawati.[2]
Gereja yang baru
Gereja ini dirancang oleh arsitek Belanda W. I. van Bakel dengan gaya neogotik. Biaya pembangunan sebesar 110.000 gulden didanai sebagian oleh pemerintah kolonial, serta penjualan tanah yang tidak terpakai dan sumbangan dari umat Katolik di seluruh koloni. Batu pertama diletakkan oleh pastor Lijnen pada 1 Juli 1870, dan konstruksi berjalan lancar hingga 12 Mei 1873 ketika menara runtuh, meskipun pembangunan hampir selesai. Berbagai alasan telah dikemukakan, termasuk rangka yang kurang bagus dan kualitas batu bata. Setelah runtuh, desain gereja telah dimodifikasi menjadi lebih rendah dan pembangunan lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan batu bata yang diimpor dari Belanda melalui kapal-kapal. Pembangunan gedung ini selesai pada tanggal 12 Desember 1875 dan gereja ini diberkati oleh Lijnen.[3][2] Gereja ini adalah gereja Katolik pertama di kota dan digunakan sebagian besar oleh orang-orang Eropa dan campuran.[4]
Penambahan interior dibuat selama seperempat abad selanjutnya. Altar gerja yang bertema neogotik diproduksi di Düsseldorf, Jerman dan dipasang pada tahun 1880. Dua tahun kemudian bangku persekutuan dipasang. Menara gereja ini juga dilengkapi denfgan sebuah jam dan lonceng, namum jam telah dilepas pada tahun 1978 karena mesinnya rusak. Lijden meninggal pada tahun 1882, dan Joannes de Vries dari Yesuit menjadi pastor paroki (yang pertama dalam garis tak terputus dari pendeta Yesuit yang berlanjut sampai hari ini).[2] De Vries segera terpilih sebagai pemimpin provinsi untuk provinsi sehingga ia menghabiskan banyak waktu jauh dari gereja. Pada tahun 1885 ada 1.620 umat Katolik di Semarang[2] dari sekitar 1.004 pada tahun sebelumnya. Banyak dari mereka berasal dari militer kolonial.[5]
J. Keijzer menggantikan de Vries setelah meninggalnya de Vries terakhir pada tahun 1887 dan memimpin gereja selama tujuh tahun. Selama masa jabatannya, gereja dan sekitarnya diperluas secara signifikan. Konstruksi bertingkat pastoran dimulai pada tahun 1880-an dan selesai pada 1 Agustus 1890. Di seberang jalan, pada tahun 1888 biarawati mendirikan sebuah sekolah dasar dan mereka juga mulai membangun sebuah kapel untuk biara yang dibuka pada tanggal 6 Agustus 1892. Selama periode ini bangunan gereja menerima kaca patri dan bangku gereja.[2] Pembangunan berlanjut hingga abad ke-20. Sebuah organ pipa dipasang pada tahun 1903 dan dipasang ulang pada tahun 1993, tetapi tetap dalam kondisi buruk. Pada tahun itu juga dipasang ukiran yang menggambarkan empat belas Jalan Salib.[2]
Pertumbuhan dan penginjilan di kalangan penduduk pribumi
Pada akhir abad ke-19 gereja Katolik di Hindia Belanda mulai menargetkan penduduk pribumi yang mayoritas Muslim. Mereka tidak sendirian karena misionaris Protestan seperti Sierk Coolsma dari Serikat Misionaris Belanda dan Mattheus Teffer dari Perhimpunan Misionaris Belanda telah memiliki beberapa keberhasilan dengan penginjilan dalam bahasa Sunda di Cianjur dan Jawa di Ambarawa.[6][2] Keijzer, sebelum mengundurkan diri sebagai kepala pendeta pada tahun 1894, mengirim surat ke Belanda untuk meminta agar mereka mengirim seseorang untuk belajar bahasa Jawa, dalam pemberitaan injil kepada orang-orang dan menerjemahkan katekismus dan beberapa buku-buku doa.[2]
Tiga anggota Yesuit dikirim, yaitu P. Hebrans pada tahun 1895 serta P. Hoevanaars dan Frans van Lith (1863-1926) pada tahun 1896. Mereka belajar bahasa Jawa selama satu tahun. Akhirnya van Lithlah yang paling sukses karena ia telah membangun sebuah sekolah di Muntilan untuk melatih guru-guru yang diaharapkan bisa menyebarkan agama Katolik melalui tugas mengajar. Hal ini akhirnya menyebabkan pendirian sejumlah sekolah Katolik di seluruh pulau Jawa. Selanjutnya, pada tahun 1904 ia memelopori baptis massa di Kalibawang, Kulon Progo, dekat Yogyakarta. Totalnya ada 168 orang Jawa dibaptis. Van Lith pun kembali ke Semarang, di mana ia mendirikan sebuah sekolah Kanisius di paroki Gedangan pada tahun 1924.[2]
Pada awal abad ke-20 populasi Katolik Semarang telah menjadi cukup besar untuk membentuk beberapa paroki. Pada tahun 1915 kapel di Karangpanas, bagian selatan dari Semarang diangkat ke status gereja paroki dan didedikasikan untuk Santo Athanasius. Gereja ketiga, di Randusari, Semarang barat didirikan pada tahun 1927 dan menjadi gereja paroki pada tahun 1930. Paroki didirikan lebih lanjut selama dekade berikutnya, sampai pada tahun 2000 Gereja Santo Yusuf adalah salah satu dari sembilan gereja-gereja paroki di kota yang melayani kecamatan Semarang Timur, Genuk, Sayung, dan bagian Utara Semarang.[2]
Pada tahun 1940, di bawah rekomendasi dari Monsinyur Petrus Willekens, Keuskupan Agung Batavia dibagi dua; Semarang menjadi ibu kota baru untuk Keuskupan Agung Semarang. Vikariat Apostolik yang baru pun diangkat, yakni Monsinyur Albertus Soegijapranata (1896-1963) yang memiliki posisi di gereja Randusari, namun tinggal di pastoran Gedangan.[7][2]
Setelah Masa Kolonial
Pada bulan Maret 1942 Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang.[8] Penjajahan Jepang menimbulkan banyak penangkapan orang (kebanyakan belanda), baik laki-laki dan perempuan, para klerus dan orang awam, dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang mengubah cara ibadah diselenggarakan. Mereka melarang penggunaan bahasa Belanda dalam ibadah dan dalam menulis dan menyita beberapa kepemilikan gereja, termasuk pastoran Gedangan sehinnga para klerus harus bersusah payah menjaga.[9] Meskipun dianggap merusak gereja, Soegijapranata juga didukung beberapa kolaborasi. Misalnya, pada tanggal 28 Februari 1944 dari Paul Aijiro Yamaguchi, uskup dari Nagasaki.[2]
Pada tanggal 17 agustus 1945, tak lama setelah bom atom Hiroshima dan Nagasaki dan dengan kekalahan Jepang, Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Selama berlangsungnya revolusi melawan kembali pasukan Belanda, orang Eropa ditahan (meskipun kepala pastor Belanda tetap). Penahanan ini memastikan bahwa jemaat akan terus didominasi oleh orang Jawa dan pribumi lainnya.[2]
Sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an Gedangan tetap menjadi pusat aktivitas katolik di Semarang. Kantor pusat dari Yayasan Kanisius tetap di halaman gereja sampai kantor baru yang dibuka pada tahun 1970.[2] Selanjutnya ada beberapa pembangunan: gedung perkantoran, bernama Bintang Laut yang selesai pada tanggal 6 Agustus 1988 dan renovasi gedung gereja berlangsung di awal 1990-an.[2] Gereja rutin menyelenggarakan ibadah hingga pukul lima pada hari Minggu.[10]
Deskripsi
Gereja Santo Yusuf terletak di sisi timur Jalan Ronggowarsito di Semarang, Jawa Tengah. Secara administratif, gereja ini merupakan bagian dari Paroki Santo Yusuf di Keuskupan Agung Semarang. Bangunan gereja dapat menampung 800 orang.[2][1] Bangunan ini menghadap ke barat dan memiliki jendela di semua sisi, serta lima pintu masuk (dua di sisi utara, dua di sisi selatan, dan satu di sisi barat).[4] Atapnya berupa kubah berusuk silang putih yang disokong oleh tiang ionik.[4]
Interior gereja memiliki sembilan belas kaca patri, tiga di belakang altar dan delapan di sepanjang semua sisi bangunan gereja. Jendela di belakang altar berfokus pada Santo Yusuf dan menggambarkan, dari kanan ke kiri, persinggahan Keluarga Kudus di Mesir, kehidupan sehari-hari Keluarga Kudus, dan kematian Yusuf. Empat dari enam belas kaca patri pada sisi gereja menggambarkan bakung. Sisa dua belas kaca patri masing-masing menggambarkan satu santo, termasuk Ignatius dari Loyola, Stanislaus Kostka, dan Santa Cecilia.[2] Lebih lanjut ornamen dinding termasuk ukiran yang menggambarkan empat belas Jalan Salib serta dua belas triforium memegang lukisan yang menggambarkan Doa Bapa Kami, Roti Wacana Hidup, dan pujian kepada Kristus dan Maria.[2] Di atas mezbah, di ujung timur dari gereja adalah tempat tabernakel gereja berada. Altar, yang diimpor dari Jerman pada tahun 1880, dihiasi dengan patung-patung Abraham, Petrus, Paulus, dan Melkisedek.[1]
Menara adalah rumah bagi dua lonceng besi tuang. Lonceng pertama berukuran 935 sentimeter (368 in) dan tinggi 90 sentimeter (35 in) lebar di dasar dan yang kedua berukuran 75 sentimeter (30 in) dan tinggi 70 sentimeter (28 in) diameter di dasar. Lonceng dibuat oleh Petit & Fritsen pada April 1882 dan diimpor dari Rotterdam oleh Caminada bersaudara. Keduanya tertulis dengan sebuah dedikasi, dalam bahasa Latin, yang menyatakan bahwa lonceng disumbangkan oleh orang Perancis yang lahir di Semarang bernama Joseph Andrieux. Lonceng pun dihiasi dengan tanaman dan salib. Ketika lonceng dipasang pada tahun 1882, lonceng didampingi sebuah jam. Namun, selama bertahun-tahun mesinnya rusak, dan pada tahun 1978 diganti dengan Kristogram IHS (singkatan dari "Iesus Hominum Salvator", yang berarti "Yesus, Juruselamat Manusia").[1]
Di sisi utara dari gereja adalah tempat pastoran yang didirikan pada 1 Agustus 1890 berada. Gedung berlantai dua ini memiliki dasar yang tinggi dan lantai marmer. Kedua lantai memiliki langit-langit yang tinggi, yakni 4 meter di atas lantai.[2] Lebih jauh ke utara adalah Bintang Laut, gedung yang berisi kantor-kantor untuk dewan paroki dan administrasi lainnya. Di sisi barat Jalan Ronggo Warsito adalah sebuah biara untuk para biarawati Fransiskan, yang memiliki kapel berdesain neogotik.[2]
Referensi
- ^ a b c d Widiarto 2003, Patung.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Parochial Council 2000.
- ^ Gereja Gedangan, Sejarah Singkat.
- ^ a b c Setiabudi 2013.
- ^ Steenbrink 2003.
- ^ Aritonang & Steenbrink 2008.
- ^ Moeryantini 1975.
- ^ Adi 2011.
- ^ Subanar 2003.
- ^ Gereja Gedangan, Jadwal Misa.
Kutipan karya
- Adi, A. Kresna (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia [Soedirman: Father of the Indonesian Military] (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: Mata Padi Pressindo. ISBN 978-602-95337-1-2.
- Aritonang, Jan S.; Steenbrink, Karel A., ed. (2008). A History of Christianity in Indonesia. Studies in Christian Mission. 35. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-17026-1.
- "Jadwal Misa" [Schedule for Mass] (dalam bahasa Indonesian). Gereja Gedangan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 June 2014. Diakses tanggal 23 June 2014.
- Moeryantini, Henricia (1975). Mgr. Albertus Soegijapranata S.J (dalam bahasa Indonesian). Ende: Nusa Indah. OCLC 7245258.
- Parochial Council (2000). Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam Rangka Peringatan 125 Th Gedung Gereja [History of St. Joseph's Church, Gedangan, in Commemoration of the 125th Anniversary of the Church Building] (dalam bahasa Indonesian). Semarang: St. Joseph's Church.
- Setiabudi, Leonardo (2013). "Studi Gaya Desain Interior Gereja Katolik Santo Yusuf Ronggowarsito dan Kapel Susteran OSF di Gedangan Semarang" [An Interior Design Study of Saint Joseph's Catholic Church and the OSF Convent Chapel in Gedangan, Semarang]. Intra (dalam bahasa Indonesian). Petra Christian University. 1 (2): 1–11.
- "Sejarah Singkat" [Short History] (dalam bahasa Indonesian). Gereja Gedangan. Diakses tanggal 22 June 2014.
- Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1900. 1. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-141-9.
- Subanar, G. Budi (2003). Soegija, Si Anak Bethleham van Java [Soegija, the Son of the Javanese Bethlehem] (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: Kanisius. ISBN 978-979-21-0727-2.
- Widiarto, Arie (23 December 2003). "Patung Tahun 1880 Masih Berdiri Megah" [Statues from 1880 Still Standing Strong]. Suara Merdeka (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 June 2014.
Pranala luar