Sanca

familia ular reptil
Pythonidae
Sanca india, Python molurus
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Subfilum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Infraordo:
Famili:
Pythonidae

Fitzinger, 1826
Sinonim
  • Pythonoidea - Fitzinger, 1826
  • Pythonoidei - Eichwald, 1831
  • Holodonta - Müller, 1832
  • Pythonina - Bonaparte, 1840
  • Pythophes - Fitzinger, 1843
  • Pythoniens - A.M.C. Duméril & Bibron, 1844
  • Holodontes - A.M.C. Duméril & Bibron, 1844
  • Pythonides - A.M.C. Duméril & Bibron, 1844
  • Pythones - Cope, 1861
  • Pythonidae - Cope, 1864
  • Peropodes - Meyer, 1874
  • Chondropythonina - Boulenger, 1879
  • Pythoninae - Boulenger, 1890
  • Pythonini - Underwood & Stimson, 1990
  • Moreliini - Underwood & Stimson, 1990[1]

Sanca adalah nama umum bagi sekelompok ular-ular pembelit dari suku Pythonidae. Dikenal umumnya sebagai pythons dalam bahasa Inggris, kata ini sesungguhnya dipinjam dari bahasa Gerika python (πυθων), yang mengacu pada ular yang sama. Sanca diketahui menyebar luas di Afrika, Asia dan Australia; beberapa jenisnya diketahui sebagai ular yang terpanjang di dunia. Meskipun umumnya publik mengenal jenis-jenis sanca sebagai ular yang tak berbisa, sejatinya pada kadar tertentu masih terdapat kandungan bisa pada liurnya.

Saat ini diketahui delapan genus dan 40 spesies yang diakui dunia ilmiah tergabung dalam suku ini.[2]

Agihan geografis

Jenis-jenis sanca menyebar luas mulai dari Afrika, Nepal, India, Burma, Tiongkok selatan, Asia Tenggara, Filipina tenggara, Kepulauan Indonesia hingga Nugini dan Australia.[1]

Di Amerika Serikat, juga berkembang populasi sanca bodo (Python bivittatus) di Taman Nasional Everglades Florida sebagai spesies invasif semenjak akhir 1990an.[3]

Kebiasaan

 
Sanca kepala-hitam,
Aspidites melanocephalus

Kebanyakan jenis sanca merupakan predator penyergap, yang sabar menanti mangsanya sambil menyamar di antara dedaunan atau serasah, dan secara tiba-tiba menyerang mangsa yang lalu di hadapannya. Pada umumnya ular-ular ini tidak menyerang manusia jika tidak diganggu atau diprovokasi lebih dahulu; meskipun ular betina yang sedang melindungi telur-telurnya bisa berlaku agresif. Dahulu cukup sering terjadi serangan sanca pada manusia, sebagaimana dilaporkan dari Asia Selatan dan Tenggara, namun kini telah banyak berkurang.

Sanca menggigit dan memegang mangsanya dengan gigi-giginya yang tajam melengkung ke belakang, empat deret di rahang atas dan dua deret di rahang bawah, sebelum pada akhirnya membelit dalam beberapa lilitan untuk membunuh mangsanya itu. Berlawanan dengan pendapat umum, sanca --sekalipun yang berukuran besar seperti sanca kembang -- tidaklah meremuk mangsanya dengan belitan itu. Alih-alih, mangsa yang dibelitnya itu mati karena tak bisa bernafas, akibat tulang-tulang iganya tak bisa meregang tertahan oleh belitan yang semakin lama semakin mengetat.[4][5][6]

Ular-ular berukuran besar diketahui biasa memangsa hewan hingga seukuran kucing rumah, namun pernah tercatat pula mangsa-mangsa yang berukuran lebih besar. Sanca Asia diketahui pernah memangsa rusa dewasa, dan sanca afrika Python sebae tercatat pernah memangsa antelop. Mangsa-mangsa ini ditelan bulat-bulat, dan diperlukan waktu beberapa hari hingga beberapa minggu hingga ular itu dapat mencerna tubuh mangsa seluruhnya.

Bisa

 
Tengkorak seekor sanca

Riset yang dilakukan Bryan G. Fry dkk. (2006) menyimpulkan bahwa semua jenis ular, termasuk sanca, berasal dari nenek moyang yang berbisa[7]. Kajian yang lebih mutakhir oleh Fry dkk. (2013) memperoleh bukti bahwa meskipun utamanya kelenjar-kelenjar di rahang sanca memproduksi lendir, kelenjar ludah itu juga menghasilkan beberapa jenis bisa dalam jumlah kecil, termasuk 3FTx (three-finger toxins), serta racun-racun lektin dan vefikolin; sebagaimana biasa didapati pula pada bisa ular-ular caenophidia dan kadal-kadal berbisa. Adanya kandungan bisa, bukan hanya racun-racun yang telah disebutkan itu, melainkan juga jenis-jenis racun yang lain, pada ludah ular kepala-dua (Cylindrophis ruffus) dan juga pada iguana dan biawak, mengindikasikan bahwa adanya sejumlah kecil bisa pada ludah sanca merupakan relik (sisa-sisa) perkembangan sistem kelenjar bisa pada nenek moyang sanca dan boa, yang kemudian menyusut karena tidak lagi dibutuhkan senyampang ular-ular besar itu mengembangkan sistem otot pembelit untuk membunuh mangsanya.[8]

Reproduksi

Ular-ular sanca bertelur (ovipar); dan ini yang membedakannya dengan ular-ular boa (suku Boidae) yang kebanyakan ovovivipar. Telur-telur ini kemudian dierami oleh induk sanca hingga menetas. Meskipun jenis-jenis ular dikenal sebagai ‘berdarah dingin’, induk sanca diketahui dapat meningkatkan suhu lingkungan di sekitar telur-telurnya. Sembari bergelung melingkari kumpulan telur-telurnya, ular betina menggerakkan otot-otot tubuhnya agar berkontraksi membangkitkan bahang untuk menghangatkan telur-telur dan udara di sekitarnya. Menjaga agar sedapat mungkin telur-telur itu berada pada temperatur yang konstan, adalah sangat penting bagi pertumbuhan embrio yang sehat. Selama masa mengerami itu, induk sanca tidak makan dan hanya meninggalkan telur-telurnya untuk berjemur di bawah matahari, untuk menaikkan suhu tubuhnya.

Konservasi

Banyak jenis-jenis sanca yang menjadi sasaran perburuan manusia; yang berukuran besar untuk diambil kulitnya yang berharga tinggi, dan yang berukuran kecil untuk dijadikan hewan timangan. Beberapa jenisnya telah menjadi langka dan bahkan terancam kepunahan, seperti jenis-jenis sanca india (Python molurus), sanca bodo (P. bivittatus), dan di beberapa daerah juga sanca kembang (P. reticulatus).

Sanca termasuk salah satu reptil timangan yang populer. Beberapa jenisnya telah berhasil ditangkarkan dan dikembangkan perdagangannya sebagai hewan timangan (pet). Akan tetapi jenis-jenis tertentu dapat tumbuh besar hingga mencapai ukuran yang dapat melukai atau membunuh manusia, sehingga pemeliharanya perlu berhati-hati menanganinya. Ada, meskipun jarang, catatan mengenai kasus terbunuhnya pemilik sanca oleh ular peliharaannya[9].

Marga[2] Pembuat takson[2] Spesies[2] Subsp.*[2] Nama umum Agihan geografis[1]
Antaresia Wells & Wellington, 1984 4 0 Children's Pythons Australia, di wilayah tropis dan kering
Aspidites Peters, 1877 2 0 Sanca perisai Australia, kecuali bagian selatan benua
Bothrochilus Fitzinger, 1843 7 0 Sanca bibir-putih (termasuk Leiopython) Irian Jaya, Papua Nugini, Kepulauan Bismark, dan pulau-pulau di sekitarnya
Liasis Gray, 1842 4 0 Sanca air Indonesia, dari Nusa Tenggara, ke timur hingga Nugini, ke selatan hingga Australia utara dan barat
Malayopython Reynolds, Niemiller & Revell, 2014 2 0 Sanca Melayu Asia Tenggara, dari Myanmar, Laos, Vietnam, ke timur sampai Filipina dan ke selatan sampai Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi)
Morelia Gray, 1842 4 0 Sanca pohon Oseania Dari Kepulauan Maluku, ke timur ke wilayah Nugini, termasuk Kep. Bismarck, dan juga Australia
PythonT Daudin, 1803 10 0 Sanca sejati Afrika tropis di selatan Sahara (tidak termasuk Madagaskar selatan dan barat daya), Bangladesh, Pakistan, India, Sri Lanka, Kepulauan Nikobar, Burma, Indocina, Tiongkok selatan, Hong Kong, Hainan, Indonesia bagian barat dan Filipina
Simalia Gray, 1849 7 0 Sanca batu Oseania Indonesia, dari Maluku Utara, Maluku, lalu ke timur sampai Papua Nugini dan Kepulauan Bismark, serta Australia bagian utara

*) Tidak termasuk subspesies pemegang nama.
T) Marga tipe.[1]

Catatan taksonomis

Ular-ular sanca berkerabat erat dengan boa, lebih dekat ketimbang suku-suku ular lainnya. Boulenger (1890) sempat memasukkan kelompok sanca sebagai anak suku (Pythoninae) dari suku ular-ular boa (Boidae) namun sekarang dipisah menjadi suku tersendiri, Pythonidae.[1]


Catatan kaki

  1. ^ a b c d e McDiarmid RW, JA Campbell, T Touré. 1999. Snake Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference, vol. 1. Herpetologists' League. 511 pp. ISBN 1-893777-00-6 (series). ISBN 1-893777-01-4 (volume).
  2. ^ a b c d e "Pythonidae". Integrated Taxonomic Information System. Diakses tanggal 15 September 2007. 
  3. ^ "Huge, Freed Pet Pythons Invade Florida Everglades", National Geographic News. Accessed 16 September 2007.
  4. ^ Mehrtens JM. 1987. Living Snakes of the World in Color. New York: Sterling Publishers. 480 pp. ISBN 0-8069-6460-X.
  5. ^ Stidworthy J. 1974. Snakes of the World. Grosset & Dunlap Inc. 160 pp. ISBN 0-448-11856-4.
  6. ^ Carr A. 1963. The Reptiles. Life Nature Library. Time-Life Books, New York. 192 pp. LCCCN 63-12781.
  7. ^ Bryan G. Fry, Nicolas Vidal, Janette A. Norman, Freek J. Vonk, Holger Scheib, S. F. Ryan Ramjan, Sanjaya Kuruppu, Kim Fung, S. Blair Hedges, Michael K. Richardson, Wayne. C. Hodgson, Vera Ignjatovic, Robyn Summerhayes, Elazar Kochva (2006). "Early evolution of the venom system in lizards and snakes". Nature. 439 (7076): 584–588. doi:10.1038/nature04328. PMID 16292255. 
  8. ^ Bryan G. Fry, Eivind A. B. Undheim, Syed A. Ali, Jordan Debono, Holger Scheib, Tim Ruder, Timothy N. W. Jackson, David Morgenstern, Luke Cadwallader, Darryl Whitehead, Rob Nabuurs, Louise van der Weerd, Nicolas Vidal, Kim Roelants, Iwan Hendrikx, Sandy Pineda Gonzalez, Alun Jones, Glenn F. King, Agostinho Antunes, Kartik Sunagar (2013). "Squeezers and leaf-cutters: differential diversification and degeneration of the venom system in toxicoferan reptiles". Molecular & Cellular Proteomics. 12 (7): 1881–1899. doi:10.1074/mcp.M112.023143. 
  9. ^ "The Keeping of Large Pythons" at Anapsid. Accessed 16 September 2007.

Pranala luar