Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Revisi sejak 25 November 2018 01.36 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-  + ))

Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing

Penyidik Pegawai Negeri Sipil
SingkatanPPNS
Yurisdiksi hukumSesuai Undang Undang Masing-Masing

Berdasarkan UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian[1], Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. PPNS Menjalankan penyidikan berdasarkan KUHAP tetapi berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang Undang spesifik masing-masing

Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepada Pimpinan Kementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung

Dasar Hukum

  1. UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP)[2]
  2. PP no. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Umum Hukum Acara Pidana[3]
  3. UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
  4. PP no. 58 tahun 2010 tentang Perubahan PP no. 27 tahun 1983
  5. Peraturan Kapolri no. 6 tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipii
  6. Peraturan Menteri Hukum dan HAM no. M.HH.01.AH.09.01 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, dan Pengambilkan Sumpah dan Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk, ukuran warna format dan penerbitan Kartu Tanda Pengenal, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
  7. PP no. 43 tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa

Pengangkatan

Berdasarkan PP no. 54 tahun 2010[4], Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 3A)

  1. masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;
  2. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
  3. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;
  4. bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum;
  5. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;
  6. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
  7. mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan

Kementerian / Lembaga yang akan memiliki Pejabat PPNS mengajukan nama-nama tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM kemudian diajukan ke Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 3B)

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dididik melalui Lembaga Pendidikan Polri khususnya Pusat Pendidikan Reserse dan Kriminal Polri di Cisarua

Selain harus memenuhi syarat, Calon Pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kapolri dan Jaksa Agung (Pasal 3C), barulah kemudian diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM untuk Pejabat PPNS yang memenuhi persyaratan

Sumpah PPNS

Pelantikan dilakukan oleh Menteri/Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum atau Pejabat lain untuk PPNS tingkat pusat (Kementerian/Lembaga) dan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham atau Pejabat lain untuk PPNS Daerah (Pasal 7 Ayat 3 Permenkumham M.HH.01.AH.09.01 tahun 2011[5]) Sumpah pelantikannya yaitu sebagai berikut:

”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:

Bahwa saya, untuk diangkat menjadi pejabat penyidik pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah yang sah;

Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat pejabat penyidik pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".

Dirjen atas nama Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Kartu Tanda Anggota (Pasal 3F PP 54 2010 jo. Pasal 8 Permenkumham), dan diberitahukan apabila Pimpinan Kementerian Lembaga tempat PPNS bernaung akan melakukan mutasi kepada Pejabat PPNS (Pasal 3G PP 54 2010 jo. Pasal 9 Permenkumham), dan memberhentikan PPNS atas syarat-syarat tertentu (Pasal 33I PP 54 2010 jo Pasal 12 Permenkumham).

Manajemen dan Pengawasan

PPNS bukan merupakan subordinasi dari lembaga Kepolisian yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), akan tetapi PPNS diluar subsistem peradilan tidak boleh mengacaukan sistem peradilan pidana yang telah ada. Untuk itu diatur beberapa hal agar tidak terjadi tumpang tindih[6]

  1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri).
  2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP).
  3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP. Dalam hal dimulainya penyidikan, PPNS wajib terlebih dahulu memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), kecuali undang-undang menentukan lain (Perkap 6 2010)
  4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP). Hal ini dilakukan melalui Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
  5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP).
  6. Pelimpahan penyidikan dari PPNS kepada Penyidik Polri, dilaksanakan apabila (Pasal 46 Perkap 6 2010[7]):
    1. peristiwa pidana yang ditangani, meliputi lebih dari satu wilayah hukum PPNS;
    2. berdasarkan pertimbangan keamanan dan geografi, PPNS tidak dapat melakukan penyidikan; dan
    3. peristiwa pidana yang ditangani, merupakan gabungan tindak pidana tertentu dan tindak pidana umum, kecuali tindak pidana yang bukan merupakan kewenangan Penyidik Polri.
  7. Berdasarkan aturan terbaru (PP 43 tahun 2012), Koordinasi di bidang operasional penyidikan dilaksanakan dengan cara (Pasal 9):
    1. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari PPNS serta meneruskan kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. merencanakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan penyidikan bersama sesuai kewenangan masing-masing;
    3. memberikan bantuan teknis, taktis, tindakan upaya paksa, dan konsultasi penyidikan kepada PPNS;
    4. menerima berkas perkara hasil penyidikan dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    5. menghadiri atau menyelenggarakan gelar perkara yang ditangani oleh PPNS;
    6. menerima pemberitahuan mengenai penghentian penyidikan dari PPNS dan diteruskan ke Penuntut Umum;
    7. tukar menukar data dan informasi mengenai dugaan tindak pidana yang penyidikannya dilakukan oleh PPNS; dan
    8. menghadiri rapat berkala yang diselenggarakan oleh PPNS.
  8. Pengawasan Polisi terhadap kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS yaitu (Pasal 14 PP 43 2012):
    1. pelaksanaan gelar perkara;
    2. pemantauan proses penyidikan dan penyerahan berkas perkara;
    3. melaksanakan supervisi bersama kementerian/instansi yang memiliki PPNS atas permintaan pimpinan instansi PPNS;
    4. pendataan penanganan perkara oleh PPNS; atau
    5. analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan secara berkala

Jenis-Jenis PNS dan Evaluasi

Penyidik PNS Pusat

Wewenang PPNS yang diberikan setiap Undang Undang berbeda-beda, seperti kewenangan untuk menggeledah, menangkap, menyita, memblokir rekening, menyetop kendaraan dsb. Beberapa Undang-Undang juga mengamanatkan bahwa hanya PPNS yang berhak eksklusif menyidik pelanggaran UU tersebut dan dapat langsung menyerahkan berkas kepada penuntut umum, dan tidak bisa dilakukan oleh penyidik Polri, seperti dalam UU Perpajakan & UU Imigrasi

Beberapa contoh PPNS diantaranya yaitu:

  1. Perhubungan
    1. Lalu Lintas Angkutan Jalan
    2. Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai
  2. Pajak
  3. Imigrasi
  4. Bea Cukai
  5. Komunikasi dan Informatika
    1. Telekomunikasi
    2. Informasi Transaksi Elektronik
  6. Kehutanan
  7. Pertanian
    1. Perkebunan
    2. Karantina
  8. Pengawasan Obat dan Makanan
  9. Lingkungan Hidup
  10. Hak Kekayaan Intelektual
  11. Otoritas Jasa Keuangan
  12. Perlindungan Cagar Budaya
  13. Penataan Ruang

Masih banyak terdapat kekurangan dan tantangan dalam pelaksanaan PPNS, seperti jumlah yang kurang dibandingkan kebutuhan yang tinggi sehingga butuhnya koordinasi tinggi dilapangan baik dengan Polri atau Kantor Wilayah lain, kerap dipandang sebelah mata penegak hukum lain, perkara yang lama disidangkan dan dakwaan lemah sehingga pelaku masih bisa bebas, profesionalitas sebagai penyidik,[8] kementerian yang belum ada PPNS sama sekali,[9], keengganan Polri untuk melatih[10], mutasi PPNS ke posisi bukan penegakan hukum sehingga butuhnya pemetaan, rapat koordinasi dan pelatihan baru[11], tumpang tindih aturan Undang Undang induk, koordinasi pusat dan daerah[12], pemahaman seragam terhadap implementasi UU dsb[13].

Penyidik PNS Daerah

Sebagaimana PPNS, dilingkungan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) juga terdapat PPNS yang berfungsi untuk menegakkan Peraturan Daerah[14]

  1. Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 6 tahun 2003 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah
  2. Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 7 tahun 2003 tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah
  3. Keputusan Menteri Dalam Negeri no. 8 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaran Pendidikan dan Latihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah
  4. Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 11 tahun 2009 tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah
  5. Peraturan Pemerintah no. 6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
  6. Surat Menteri Dalam Negeri nomor 890/1772/SJ 4 April 2013 tentang Diklat PPNS
  7. Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri dengan Lembaga Pendidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor. 182.1/848/PUM dan Nomor: B/473/11/2014/Lemdikpol tanggal 28 Februari 2014 tentang Diklat Pembentukan PPNS Penegak Perda dan Manajemen PPNS

Penyidik PNS Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah dan PPNS Daerah tidak berwenang untuk melakukan penangkapan atau penahanan (Pasal 4 Kepmendagri 6 2003[15]). Pembinaan Umum PPNS Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 24), Pembinaan Teknis oleh Menkumham, Kapolri dan Jaksa Agung (Pasal 25) dan Pembinaan Operasional dilakukan oleh Kepala Daerah (Pasal 26) Satpol PP tidak langsung secara otomatis menjadi PPNS, akan tetapi Satpol PP menyerahkan kepada PPNS Daerah tentang pelanggaran Perda (Pasal 8 PP 6 2010[16]). Akan tetapi, apabila seorang Satpol PP telah mengikuti persyaratan dan telah diangkat menjadi PPNS sebagaimana dijelaskan diatas, dia dapat langsung mengadakan penyidikan (Pasal 9)

Kebutuhan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Satpol PP di seluruh Indonesia dinilai masih kurang. Menurutnya, ada sekitar 500 kabupaten dan masing-masing kabupaten atau daerah membutuhkan sekitar 3 personel PPNS sehingga total yang dibutuhkan 1500 per 2014. Kebutuhan PPNS tersebut saat ini akan dikonsentrasikan di Satpol PP dan diperkuat[17]

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ "UU 2 2002"
  2. ^ "UU 8 1981 KUHAP"
  3. ^ <"PP 27 1983"
  4. ^ "PP 58 2010"
  5. ^ "Permenkumham M.HH.01.AH.09.01 tahun 2011"
  6. ^ "Mengenal PPNS"
  7. ^ "Perkap 6 tahun 2010"
  8. ^ "PPNS tangani secuil Tindak Pidana dengan Sejengkal Kewenangan"
  9. ^ "Publik desak Menteri Agama segera bentuk PPNS Umrah"
  10. ^ "Kualitas dan Kuantitas Penyidik Imigrasi masih minim"
  11. ^ "Ditjen AHU Rakor PPNS di Kanwil Kemenkumham"
  12. ^ "Saatnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dirjen Perkebunan PPNS Ditjenbun Bergerak"
  13. ^ "Penyidikan PPNS Ditjen Hubla butuh Pemahaman Seragam UU Pelayaran"
  14. ^ "Pengusulan Calon Peserta Diklat Penyidik PNS"
  15. ^ "Kepmendagri 6 2003"
  16. ^ "PP 6 2010"
  17. ^ "Kemendagri: Penyidik PNS di Satpol PP Masih Kurang"