Kusumah Atmaja

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 28 November 2018 07.43 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Prof. Dr. Mr. Kusumah Atmaja (ER, EYD: Kusumah Atmaja, nama lahir: Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja) (8 September 1898 – 11 Agustus 1952) adalah salah satu pahlawan Indonesia dan Ketua Mahkamah Agung Indonesia pertama. [1]

Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja
LahirRaden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja
(1898-09-08)8 September 1898
Belanda Purwakarta, Tatar Pasundan Hindia Belanda
Meninggal11 Agustus 1952(1952-08-11) (umur 53)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Nama lainKoesoemah Atmadja
Almamater
Pekerjaan
Dikenal atas
Karya terkenalDe Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie
JabatanKetua Mahkamah Agung Indonesia Pertama
PendahuluJabatan Baru
PenggantiWirjono Prodjodikoro
Penghargaan
  • Pahlawan Kemerdekaan Nasional [note 2] [2]
  • Pahlawan Pembela Kemerdekaan. [3]

Perjalanan

Masa muda

Dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 8 September 1898 dalam sebuah keluarga terpandang sebagai Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja. Kusumah Atmadja pun dapat mengenyam pendidikan yang layak. Ia memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman pada 1913.

Kusumah Atmadja mengawali kariernya sebagai pegawai pengadilan pada 1919. Ia diangkat sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor. Tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda.

Pada 1922, Kusumah Atmadja menyelesaikan studinya. Gelar Doctor in de recht geleerheid pun diperoleh dengan disertasi yang berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda). Dalam disertasinya itu, Kusumah Atmadja menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.

Penegak hukum

Pulang ke Hindia Belanda, Kusumah Atmadja langsung ditawari menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia. Setahun berkiprah di sana, Kusumah Atmadja langsung diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.

Kiprahnya sebagai hakim pun semakin malang melintang di era Pemerintahan Hindia Belanda. Ia pernah tercatat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Padang, Ketua PN Semarang, dan Hakim PT Semarang.

Kariernya tak berhenti sampai di situ. Bahkan ketika pemerintahan berganti dari Hindia Belanda ke penjajahan Jepang, Kusumah Atmadja tetap eksis sebagai pejabat pengadilan. Pada 1942, ia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah pada 1944.

Persiapan kemerdekaan

Kusumah Atmaja menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI pada tanggal 29 April 1945. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dengan janji Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia.

Seputar kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno melantik/mengangkat Kusumah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia, Kusumah Atmadja tetap menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.[4][5].

Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan Kusumah Atmadja kembali diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia hingga ia meninggal tahun 1952.[4]

Kusumah Atmaja pernah diminta oleh Belanda untuk memimpin Negara boneka bentukan Belanda Negara Pasundan pada tahun 1947. Tapi ia menolaknya. [6] [note 3] Jabatan lain yang pernah disandang ia adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Guru Besar Sekolah Tinggi Kepolisian.

Catatan

  1. ^ Pada 1946, terjadi usaha penculikan Perdana Menteri Sjahrir oleh sekelompok tentara yang dipimpin oleh Mayjen Sudarsono. Kelompok yang berencana melakukan kudeta ini adalah orang-orang dekat Presiden Soekarno, salah satunya adalah Muhammad Yamin. Tujuan penculikan agar negara Indonesia kembali ke sistem presidensiil.
    Usaha penculikan itu gagal. Para pelakunya pun diadili di sidang Mahkamah Agung Tentara. Tersiar kabar Sukarno meminta agar MA agar bertindak lebih lembut. Kusumah Atmadja pun berang. Ia mengancam akan mengundurkan diri dari Ketua MA kecuali Sukarno mundur dari kasus tersebut. Ia pun menegaskan salah satu wujud independensi kekuasan kehakiman adalah bebas dari intervensi eksekutif.[1]
  2. ^ SK Presiden RI no.124/1965
  3. ^ Tak hanya dari dalam negeri, Kusumah Atmadja juga harus menghadapi tantangan dari luar. Setelah menyerahnya Jepang, Belanda kembali berusaha menancapkan kakinya di bumi pertiwi. Lembaga Yudikatif pun terbelah. Sebastian Pompe dalam disertasinya yang bertajuk The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse menyatakan kala itu banyak hakim senior asal pribumi yang menyebrang ke kubu Belanda.
    Pada 1948, dari 23 hakim senior, hanya sembilan hakim yang tetap di Republik. Salah satunya adalah Kusumah Atmadja. Padahal, Guru Besar dari Universitas Gajah Mada ini juga sempat ditawari oleh Belanda untuk menjadi Wali Negara Pasundan. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah karena loyalitasnya kepada republik.
    Meski begitu, beberapa golongan pemuda sempat mencurigai Kusumah Atmadja berada di pihak penjajah Belanda. Kecurigaan itu akhirnya sirna.[1]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c ALI/SUT/MON (Jumat, 25 September 2009). "Kusumah Atmadja, Hakim Tiga Zaman". Edisi Khusus Hukum Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2012. Diakses tanggal 3 Oktober 2015. 
  2. ^ Arya Aji Saka 2004, hlm. 135.
  3. ^ Gamal Komandoko 2006, hlm. 179.
  4. ^ a b Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2010
  5. ^ "Demi Martabat Peradilan"
  6. ^ Gamal Komandoko 2006, hlm. 177.
Daftar pustaka


Jabatan peradilan
Posisi baru Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
1945–1952
Diteruskan oleh:
Wirjono Prodjodikoro