Kuil Buddhis Korea

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 3 Desember 2018 07.16 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Kuil Buddha Korea merupakan bagian dari arsitektur dan aspek seni Buddhis yang berkembang di Korea.[1] Buddhisme merupakan agama yang terbesar dianut bangsa Korea selama ribuan tahun. Kuil Buddha Korea yang berkaitan erat dengan lingkungan alam di sekitarnya menciptakan suatu bentuk estetika visual seni khas Korea. Kuil Buddha Korea biasanya diberi nama dengan akhir kata sa (寺) yang berarti “kuil Buddha”.[2]

Biksu di Kuil Haein

Sejarah

 
Kuil Bulguk, salah satu kuil zaman Silla yang diperbaiki pada periode Joseon.

Praktik Buddhisme di Korea telah dimulai sejak abad ke-4 Masehi pada periode Tiga Kerajaan (57 SM-668 M).[1] Perkembangan Buddhisme dalam jangka waktu yang sangat panjang ini membuatnya menyerap unsur-unsur kepercayaan asli setempat yang lebih lama berakar. Tiga Kerajaan mendukung Buddhisme sebagai agama resmi dan aktif membangun kuil-kuil Buddha.[3] Periode keemasan Buddhisme berlangsung pada periode Silla Bersatu (668-935).[1] Dalam masa ini seni Buddha yang paling bermutu diciptakan bersamaan dengan pendirian kuil-kuil, pagoda, arca dan menara genta. Kejayaan seni dan arsitektur Buddhis berlanjut pada periode Goryeo (918-1392). Karena perang sering melanda semenanjung Korea, hanya tersisa sedikit sekali warisan kuil Buddha dari zaman Tiga Kerajaan dan Goryeo. Kuil-kuil besar pada zaman kuno menunjukkan dukungan besar dari penguasa kepada Buddhisme. Arsitektur Buddhis Tiga Kerajaan Korea juga mempengaruhi bangunan religius di Jepang yang sampai kini masih utuh dan memperlihatkan pengaruh Korea.[4] Kuil-kuil besar dari zaman Silla, hampir semua kini telah musnah. Sebagian besar kuil Buddha yang tersisa telah direnovasi mengikuti perkembangan zaman. Kehidupan religi terkonsentrasi pada kuil-kuil ini. Di antara yang terpenting adalah Kuil Bulguk di Gyeongju.[3] Tiga kuil besar lain dianggap sebagai perlambang tiga ratna-–"Buddha, dharma, dan sangha".[3] Buddha dilambangkan dengan Kuil Tongdo (Busan) yang menyimpan relik Sakyamuni dalam stupa. Korea menyerap arsitektur Buddhis Tiongkok, dimana stupa telah berbentuk pagoda. Kuil Haein yang melambangkan dharma memiliki perpustakaan yang menyimpan teks-teks suci.[3] Kuil Songgwang dibuat sebagai lambang sangha.

Arsitektur Buddhis Korea memiliki keunikan tersendiri dan cenderung didekorasi dengan lebih rumit dibanding bangunan berarsitektur khas Konfusianisme. Ia telah menyerap unsur kepercayaan Korea kuno ke dalamnya. Walau Kristiani telah mendapatkan banyak pengikut di Korea dan banyak tempat ibadah Kristen dibangun, arsitektur-arsitektur Buddhis merupakan mayoritas situs warisan budaya yang dilindungi pemerintah di seluruh negeri. Pada tanggal 2 Juli 2018, komplek kuil-kuil gunung Korea yakni Bongjeongsa, Seonamsa, Daeheungsa, Beopjusa, Magoksa, Tongdosa, Buseoksa ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO karena nilai-nilai historis yang dimilikinya.[5]

Kuil-kuil gunung

Sebagian besar kuil Buddha didirikan di kawasan pegunungan karena gunung dianggap sebagai lambang spiritual kuil itu sendiri.[2] Penempatan di wilayah yang lebih tinggi ini dikarenakan faktor politik - sosial, geomansi dan kepercayaan lokal. Sejak lama bangsa Korea menghormati gunung sebagai tempat keramat, tempat bersemayamnya dewata-dewata gunung. Tradisi memilih lokasi yang strategis untuk mendirikan bangunan (geomansi), juga amat dipengaruhi oleh keberadaan gunung. Kondisi geografi Korea memungkinkan dipraktekkannya geomansi.[2]

Terdapat tiga jenis kuil Buddha berdasarkan lokasinya, yaitu di dataran rendah, pegunungan dan gua.[2] Pada awal berkembangnya Buddhisme sebelum Joseon, kuil-kuil didirikan di pusat kota atau pemukiman dengan dukungan dari pemerintah.[2] Pada periode Joseon ketika Buddhisme mulai ditekan, para pemuka agama mundur ke daerah yang lebih jauh dari pusat kota. Saat ini, kuil-kuil sebagian besar masih berdiri di kawasan pegunungan, hanya sedikit tersisa kuil Buddha di kawasan perkotaan. Kuil Buddha di pegunungan atau lembah dibangun mengikuti geomansi dan pengaruh Zen dan merupakan kategori terbanyak.

Arsitektur

 
Patung dewa langit
 
Aula utama berisi rupang Buddha

Arsitektur tradisional Korea dirancang dengan fokus pada bagian tengah yang empat sisinya dibatasi oleh bangunan.[2] Penempatan kuil didesain sedemikian rupa dengan menara genta yang berada pada sisi selatan dan pintu masuk di bawahnya. Bangunan yang terpenting, aula rupang Buddha ditempatkan di sisi utara. Bangunan kuil lain ditaruh di sisi kiri dan kanan. Konstruksi seperti ini diyakini meniru bentuk gunung yang mengelilingi kompleks kuil. Bangunan dalam komplek kuil umumnya berupa tempat ibadah, tempat tinggal, ruang meditasi, ruang belajar dan kuil-kuil dewa gunung.[2]

Seseorang yang hendak memasuki komplek setidaknya harus melewati bagian-bagian yang diatur sedemikian rupa.[1] Gerbang pertama untuk masuk ke kuil disebut ”gerbang tunggal” (iljumun). Gerbang kedua dibuat untuk patung empat dewa langit (cheonwang) yang membawa masing-masing alat khusus di tangannya sebagai pelindung kuil.[1] Patung-patung ini biasanya diukir dari kayu yang dilukis. Setelah gerbang empat dewa, bertemulah dengan gerbang menara genta. Gerbang ini umumnya digunakan sebagai tempat menggantung empat instrumen; genta perunggu, bedug, gong serta kentongan kayu berbentuk ikan.[1] Selanjutnya di depan halaman utama kuil terdapat balai agung yang menjadi bagian terutama komplek. Balai agung merupakan pusat peribadatan, di dalamnya terdapat rupang Sakyamuni maupun Vairocana atau tokoh-tokoh lain.[1] Di belakang rupang terdapat lukisan gulung bertema buddhis (thaenghwa). Di salah satu sisi dinding bangunan utama terdapat lukisan dewa penjaga berwujud jenderal.[1] Di luar kuil biasanya dibangun suatu komplek kecil sebagai bentuk penghormatan bagi dewa gunung (sansin), menandakan Buddhisme telah bersanding lama dengan kepercayaan lokal.[6]

Bangunan kuil direnovasi secara berkala, kayu yang baru menggantikan kayu lama yang telah rusak.[1] Tiang dan balok disambungkan bersama menggunakan sistem breket yang juga dapat dilepaskan kembali untuk proses rekonstruksi. Tiang dan balok diwarnai dengan teknik dancheong yang berwarna merah, hijau, kuning dan biru. Bagian atap ditutup dengan genting berwarna gelap. Lekuk genting yang menurun di bagian tengah lalu naik sedikit pada bagian ujung melambangkan garis lekuk gunung-gunung yang mengelilingi kuil. Di sisi lain balai agung terdapat bangunan tambahan bernama “bangunan penghakiman” berisi patung tokoh neraka yang menghakimi orang setelah kematiannya. Di sini juga berisi catatan kematian. Bangunan lain berisi lukisan tokoh paderi zen yang memimpin kuil pada masa lalu.[1]

Referensi