Dumping adalah politik dagang yang menetapkan harga jual di luar negeri lebih rendah dari harga normal. Tujuan dumping adalah untuk meningkatkan pangsa pasar di luar negeri dengan mematikan persaingan. Istilah ini memiliki konotasi negatif karena pendukung perdagangan bebas menganggap "dumping" (secara harfiah berarti "pembuangan" dalam bahasa Indonesia) sebagai salah satu bentuk persaingan yang tidak sehat.

Menurut Pasal VI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT), tindakan dumping tidak dilarang kecuali jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.[1] Pasal VI GATT juga menjabarkan tiga metode yang dapat digunakan untuk mengetahui harga normal suatu produk. Cara yang paling utama adalah dengan melihat harga di pasar domestik pengekspor. Jika metode ini tidak dapat digunakan, terdapat dua cara lain, yaitu dengan melihat harga yang dibebankan oleh pengekspor di negara lain atau dengan menggabungkan biaya produksi negara eksportir, biaya-biaya lain, dan batas keuntungan normal.

Pada tahun 1994, negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan Perjanjian Anti-Dumping yang mengklarifikasi dan mengembangkan Pasal VI GATT. Menurut catatan kaki 2 Perjanjian Anti-Dumping, penjualan domestik produk serupa cukup untuk menjadi landasan penentuan nilai normal jika penjualan tersebut mencakup lima persen atau lebih penjualan ekspor di negara yang melakukan penyelidikan anti-dumping. Aturan ini disebut "aturan 5 persen". Eak..

Catatan kaki

  1. ^ Van den Bossche, Peter (2017). The Law and Policy of the World Trade Organization. Cambridge, UK: Cambridge University Press. hlm. 700. ISBN 978-0-511-12392-4.