Krabuku selayar

Revisi sejak 6 Desember 2018 23.55 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)
Krabuku selayar
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Erxleben, 1777
Spesies:
T.tarsier
Nama binomial
Tarsius tarsier
(Erxleben, 1777)
Sinonim

Tarsius spectrum (Pallas, 1779)

Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu)

adalah suatu jenis primata kecil, memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.

Tarsius memang layak disebut sebagai primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10-15 cm dengan berat sekitar 80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier yang merupakan jenis tarsius terkecil hanya memiliki panjang tubuh antara 93-98 milimeter dan berat 57 gram. Panjang ekornya antara 197-205 milimeter.[2]

Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming.[2]

Yang paling istimewa dari Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala Tarsius dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa.

Habitat Tarsius (Sulawesi)

Tarsius adalah makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik, dan kadang-kadang reptil kecil, burung, dan kelelawar. Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu, Selayar, dan Peleng. Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina. Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan "balao cengke" atau "tikus jongkok" jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia.

Tarsius tarsier ditemukan di hutan hujan primer dan sekunder, meskipun mereka lebih memilih hutan pertumbuhan sekunder. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelimpahan makanan yang melimpah di hutan pertumbuhan sekunder. Habitat mereka berkisar dari hutan hujan evergreen dataran rendah di dekat permukaan laut ke hutan hujan pegunungan rendah sampai 1500 m. Tarsius spektral juga ditemukan di hutan mangrove dan semak belukar.[(Wright, et al., 2003) 1]

Sebagai makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari, Tarsius tidak seperti kebanyakan binatang nokturnal lain, tarsius tidak memiliki daerah pemantul cahaya (tapetum lucidum) di matanya. Mereka juga memiliki fovea, suatu hal yang tidak biasa pada binatang nokturnal.[2]

Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.

Rumpun bambu digunakan tarsius sebagai tempat tidur dan tempat berlindung (cover), dimana tarsius membangun sarang di bagian bawah rumpun bambu yang cukup rapat dan terlindung dari kemungkinan serangan predator, misalnya ular.[3]

Pada saat tidur, tarsius menempati bagian bawah rumpun bambu. Satwa ini keluar dari tempat tidurnya pada pukul 6 sore hari, kemudian mereka mencari makan dan kembali ke tempat tidur/sarang sekitar pukul 5 dinihari. Tempat tidur tarsius dapat diketahui dengan mudah karena ketika keluar dari sarang, tarisus mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari makan (foraging), memebritahu keberadaan dari pasangan masing-masing. Selain itu, keberadaan tarsius di suatu pohon atau rumpun bambu dapat diketahui dari bau urinenya yang sangat khas.[3]

Seseorang yang masuk ke hutan, lebih sering mendengar suara tarsius daripada melihat satwanya itu sendiri, karena itu hanya beberapa orang yang betul-betul kenal tarsius, apalagi suara satwa ini sepintas seperti suara serangga (nada crit-crit-crit……., berulangkali) atau suara kelelawar kecil yang terbang malam hari. Tarsius aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), makanan utamanya adalah berbagai jenis serangga yang aktif pada malam hari. Selain serangga, tarsius juga makan berbagai jenis reptilia kecil serta burung berukuran kecil dinataranya burung kacamata (Zosterops sp.).

Dalam mencari makan, tarsius mengintai mangsanya, sambil mengendap perlahan, kemudian secara tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat menyergap mangsanya dengan cara kedua tangan memegang mangsa, dan kedua kaki membantu kedua tangan menekan mangsa, sampai mangsa bisa dikuasai sepenuhnya. Seperti halnya jenis primata lainnya, tarsius dapat menggenggam sempurna mangsanya dengan kedua tangannya secara sempurna karena satwa ini memiliki lima jari tangan dan lima jari kaki. Pada jari kaki tengah, terdapat kuku yang menonjol, seperti gigi agak melengkung yang memudahkan tarsius dalam mencengkram mangsanya. Karena makanan tarsius adalah berbagai jenis serangga, satwa ini tidak dianggap hama oleh petani dan pemilik kebun di sekitar hutan.

Tarsius hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil dimana dalam satu kelompok hanya terdapat satu ekor jantan dan betina dewasa. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari dua individu, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut terdiri dari jantan dan betina dewasa serta anak yang sudah beranjak dewasa dan anak yang masih kecil yang masih disapih oleh induknya. Setiap kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, dimana teritori dapat ditandai dengan air seni dan kotorannya serta bau badannya. Teritori dijaga secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang lain, dimana pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok.

Selama ini, mereka sering merawat dirinya sendiri dengan menjilati dan menggaruk bulunya dengan cakar toilet mereka. Jika terjadi hujan deras, tarsius menemukan daerah kering dan tetap tidak aktif. Mereka bergerak melalui pepohonan dan bisa melompati lebih dari 40 kali panjang tubuhnya. Saat mendekati pagi, tarsius spektral "bernyanyi" saat mereka kembali ke tempat tidur mereka, baik sebagai duet dengan pasangan mereka atau dalam paduan suara keluarga. Lagu-lagu ini memberi isyarat kepada kelompok tetangga yang wilayahnya ditempati. Tarsius tarsier sangat teritorial dan terlibat dalam sengketa dengan kelompok tetangga yang memasuki batas-batas mereka. Mereka menandai wilayah mereka dengan urin dan sekresi kelenjar.

Tarsius tarsier juga terlibat dalam perilaku bermain, meringkuk, allogrooming, dan berbagi makanan. Persaingan untuk pangan menghasilkan peningkatan waktu mencari makan. Individu tampaknya mendapat keuntungan dari kehidupan kelompok, terutama saat tekanan predasi tinggi, ketika perempuan menerima secara seksual, dan bila ada kemungkinan besar menghadapi laki-laki yang berpotensi infantis.

Reproduksi

Mayoritas tarsius adalah monogami; Namun, tarsius spektral mungkin mempraktekkan monogami fakultatif atau poligini. Monogami tampaknya merupakan sistem kawin yang lazim di spesies ini karena terbatasnya jumlah situs tidur bermutu tinggi. Masing-masing betina membutuhkan tempat tidur berkualitas tinggi untuk dirinya dan anak-anaknya. Pohon ara dengan diameter besar lebih disukai tapi jarang, yang umumnya dijadikan oleh Tarsius jantan dan betina untuk berbagi tempat tidur dan dengan demikian membentuk pasangan monogami.

Kelompok poligini terjadi 19% dari waktu. Kelompok monogami sering terdiri dari dua atau tiga betina dengan satu betina yang bereproduksi dan satu laki-laki teritorial, sedangkan kelompok poligini terdiri dari enam atau lebih individu dengan beberapa wanita reproduksi dan satu laki-laki. Kehadiran testis besar di T. tarsier menunjukkan bahwa poligini cukup umum, karena testis besar terkait dengan sistem perkawinan acak.[Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006 1]

Tarsius tarsier berkembang biak dua kali dalam setahun, dan kopulasi terjadi pada bulan Mei atau November. Masa kehamilan kira-kira 6 bulan, dan kelahiran juga biasanya terjadi pada bulan Mei atau November. Betina melahirkan satu keturunan tunggal, yang lahir sepenuhnya berbulu dan dengan matanya terbuka. Bayi baru lahir bersifat precocial dan mampu memanjat hanya pada satu hari usia. Di antara mamalia, keturunan tarsius adalah yang terbesar relatif terhadap massa tubuh ibu. Berat badan bayi baru lahir rata-rata 23,7 g, hampir 22% dari massa tubuh ibu. Sebagian besar berat badan mereka diinvestasikan dalam massa otak, mata, dan tengkorak.

Laktasi umumnya berlangsung hingga 80 hari. Penyapihan terjadi antara usia 4 dan 10 minggu, dan kemandirian terjadi secara langsung setelah disapih karena keturunan mampu memburu sendiri. Tarsius spektral mencapai kematangan seksual pada usia 17 bulan. Betina memiliki rahim bicornuate dan plasenta haemochorial.[Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006 1]

Mereka terutama memangsa serangga terbang seperti ngengat, belalang, kumbang dan jangkrik. Mereka kadang-kadang makan vertebrata kecil, seperti kadal atau kelelawar. Tarsius tarsier mendengarkan dengan telinga mereka yang bergerak secara mandiri untuk menemukan mangsa potensial. Begitu item mangsa ditargetkan, seekor tarsius menyergap mangsanya dengan serangan mendadak, menangkapnya dengan jari-jarinya yang panjang dan ramping, dan gigitan untuk membunuhnya. Tarsius kemudian kembali ke tempat bertenggernya untuk mengkonsumsi mangsanya. Bentuk berburu penyergapan ini membutuhkan koordinasi mata-tangan yang bagus. Tarsius tarsierdapat mengumpulkan mangsa mereka dari udara, di tanah, atau di lepas daun dan dahan. Tarsius bisa makan 10% dari berat tubuh mereka sendiri setiap 24 jam, dan mereka minum air beberapa kali sepanjang malam.

Tarsius tarsier tampaknya memanfaatkan cahaya bulan saat mencari makan. Ini adalah perilaku yang tidak biasa, karena kebanyakan mamalia nokturnal kecil menunjukkan fobia lunar sebagai mekanisme penghindaran predator. Tarsius mengatasi peningkatan risiko predasi ini dengan mencari makan dalam kelompok.

Tarsius di Pulau Belitung[4]

Tarsius Bancanus Saltator atau dalam bahasa local Belitung dikenal dengan “pelilean” adalah salah satu jenis Tarsius yang baru ditemukan dan masuk dalam daftar appendix dunia melengkapi dari beberapa jenis Tarsius lainnya yang sudah lebih dahulu teridentifikasi. Variasi speciesnya ditemukan juga di Sumatra, Borneo, Sulawesi (Indonesia) serta pulau Bohor, Samar, Mindanau, dan Leyte (Philipina). Matanya yang bulat lebar dan hidungnya yang lucu sangat menarik untuk dilihat sementara ukurannya yang kecil pas banget bila berada di genggaman tangan kita. Hewan mirip monyet ini memakan serangga yang sering keluar dari kayu bekas terbakar atau arang kayu.

Tarsius Bancanus Saltator ini adalah hewan yang sangat aktif dan menarik dengan ciri-cirinya yang khas. Meski tubuhnya dibalut dengan bulu warna abu-abu, ekornya yang sepanjang kira-kira 232mm hampir tidak berbulu alias gundul. Dari kepala hingga ekor panjangnya antara 118-149mm dengan berat 113-142 gram. Yang mengesankan dari hewan ini adalah mata besarnya yang menonjol yang sepertinya tidak pas dibandingkan dengan tubuh mungilnya. Ukuran rongga matanya hingga melebihi ukuran tempurung otak dan perutnya.[4]

Tangan dan kakinya mempunyai jari-jari yang mirip dengan manusia yang digunakannya untuk bertengger di pohon dan ekornya digunakan untuk keseimbangan. Anda bisa melihat saat jari tengahnya mulur dan tulang pergelangannya yang panjang bekerja seperti shock absorber. Hal ini membantunya melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dengan mudah. Kepalanya sangat mirip dengan kepala burung hantu karena bentuknya dan pertemuan yang unik di tengah-tengah sinus dan tengkoraknya membuatnya mampu memutar kepalanya 180 derajat. Tarsier juga memiliki gigi-gigi yang tajam untuk membantunya memangsa serangga selama berburu di malam hari.

Tarsier lebih suka tinggal di lubang-lubang di pohon atau akar-akar bambu meski masih mungkin menemukannya di tempat lain. Hewan ini banyak melakukan aktivitasnya di malam hari, meski sekali-kali Anda bisa memergokinya di siang hari.

Saat ini Tarsius di Belitung semakin terancam keberadaannya akibat kerusakan di habitat hutan alamnya. Pembukaan lahan hutan dengan dibakar, perkebunan besar dan illegal logging menjadi biang keladi menurunnya jumlah tarsius. Untuk itu kami bekerjasama dengan GEF dan UNEP serta Pemkab Beitung berupaya untuk melakukan upaya konservasi terhadap Tarsius yang mana saat ini difokuskan di tempat Wisata Alam terpadu Batu Mentas[5], HL Gunung Tajam, Kecamatan Badau.

Referensi

  1. ^ Shekelle, M. & Salim, A. (2008). "Tarsius tarsier". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2008. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 1 January 2009. 
  2. ^ a b c Harun, Surya. "Tarsius (Tarsius tarsier) Primata Mungil dari Sulawesi - Dishut Prov. Sulteng". dishut.sultengprov.go.id. Diakses tanggal 2017-11-02. 
  3. ^ a b c Administrator. "Habitat, Populasi dan Perilaku Tarsius (Tarsius tarsier) Di TN. Bantimurung Bulusaraung". tn-babul.org. Diakses tanggal 2017-11-02. 
  4. ^ a b www.travel.belitungku.com | Portal Informasi Wisata pulau Belitung
  5. ^ Batu Mentas, Kelekak Datuk, Badau, Belitung

Wright, P., E. Simons, S. Gursky. 2003. Tarsiers: past, present, and future. United States of America: Rutgers University Press. Gursky, S. 2010. Dispersal Patterns in Tarsius spectrum. International Journal of Primatology, 31: 117-131.

MacDonald, D. 2006. The Encyclopedia of Mammals. New York: Facts on File.Gron, K. 2010. "Primate Factsheets: Tarsier (Tarsius) Taxonomy, Morphology, & Ecology" (On-line). Primate Info Net. Accessed November 08, 2011 at http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/tarsier/taxon.

Gursky, S. 2002. The behavioral ecology of the Spectral tarsier, Tarsius spectrum. Evolutionary Anthropology, 11: 226-234.

MacKinnon, J., K. MacKinnon. 1980. The behaviour of wild spectral tarsiers.. International Journal of Primatology, 1(4): 361-379.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "(Wright, et al., 2003)", tapi tidak ditemukan tag <references group="(Wright, et al., 2003)"/> yang berkaitan
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "[Gron, 2010; Gursky, 2002; Gursky-Doyen, 2011; MacKinnon and MacKinnon, 1980 1]", tapi tidak ditemukan tag <references group="[Gron, 2010; Gursky, 2002; Gursky-Doyen, 2011; MacKinnon and MacKinnon, 1980 1]"/> yang berkaitan
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006", tapi tidak ditemukan tag <references group="Gursky-Doyen, 2010; MacDonald, 2006"/> yang berkaitan
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "Gron, 2010; Gursky, 2002; MacDonald, 2006; MacKinnon and MacKinnon, 1980; Shekelle and Salim, 2008", tapi tidak ditemukan tag <references group="Gron, 2010; Gursky, 2002; MacDonald, 2006; MacKinnon and MacKinnon, 1980; Shekelle and Salim, 2008"/> yang berkaitan