Panakawan

tokoh mitologi pewayangan Jawa
Revisi sejak 10 Desember 2018 20.17 oleh Pinerineks (bicara | kontrib)

Panakawan (diambil dari bahasa Jawa) atau panakawan KBBI adalah sebutan umum untuk para pengikut kesatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal kesatria yang menjadi asuhan mereka.

Hiasan kayu Punawakan, dari kiri: Petruk, Bagong, Semar, dan Gareng.

Peran Panakawan

Istilah panakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.

Hal yang paling khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Misalnya, sewaktu Bimasena kewalahan menghadapi Sangkuni dalam perang Baratayuda, Semar muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni.

Dalam percakapan antara para panakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang, tokoh Petruk mengaku memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.

Sejarah Punakawan

Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.

Menurut sejarawan Slamet Muljana, tokoh panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri. Naskah ini menceritakan tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang berusaha menikahi Ksitisundari, putri Sri Kresna.

Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama:

Ketiganya dianggap sebagai panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa.

Panakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar.

Gara-Gara

Para dalang dalam setiap bagian pertengahan pementasan wayang, hampir selalu mengisahkan adanya peristiwa gara-gara (baca: goro-goro seperti melafalkan 'gorong-gorong'; dari bahasa Jawa) yaitu sebuah keadaan saat terjadi bencana besar menimpa bumi. Antara lain gunung meletus, banjir, gempa bumi, bahkan sampai korupsi yang merajalela. Panjang-pendek serta keindahan tata bahasa yang diucapkan untuk melukiskan keadaan gara-gara tidak ada standar baku, karena semuanya kembali pada kreativitas dalang masing-masing.

Para dalang kemudian mengisahkan bahwa setelah gara-gara berakhir, para panakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.

Akibat kesalahpahaman, istilah gara-gara saat ini dianggap sebagai saat kemunculan para panakawan. Gara-gara dianggap sebagai waktu untuk dalang menghentikan sementara kisah yang sedang dipentaskan, dan menggantinya dengan sajian musik dan hiburan bagi para penonton.

Daftar Nama para Panakawan

Dalam pementasan wayang, baik itu gaya Yogyakarta, Surakarta, Sunda, ataupun Jawa Timuran, tokoh Semar dapat dipastikan selalu ada, meskipun dengan pasangan yang berbeda-beda.

Pewayangan gaya Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatria, yaitu Semar dengan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu terdapat pula panakawan golongan raksasa, yaitu Togog dan Bilung.

Pada zaman pemerintahan Amangkurat I raja Kesultanan Mataram tahun 1645-1677, seni pewayangan sempat terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang pro-Belanda, dan golongan yang anti-Belanda. Golongan pertama menghapus tokoh Bagong karena tidak disukai Belanda, sedangkan golongan kedua mempertahankannya.

Dalam pementasan wayang golek gaya Sunda, ketiga anak Semar memiliki urutan yang lain dengan di Jawa Tengah. Para panakawan versi Sunda bernama Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta anak Bagong yang bernama Besut.

Dalam pewayangan Bali, tokoh panakawan untuk golongan kesatria bernama Tualen dan Merdah, sedangkan pengikut golongan jahat bernama Delem dan Sangut.

Dalam pementasan ketoprak juga dikenal adanya panakawan, namun nama-nama mereka tidak pasti, tergantung penulis naskah masing-masing. Meskipun demikian terdapat dua pasang panakawan yang namanya sudah ditentukan untuk dua golongan tertentu pula. Mereka adalah Bancak dan Doyok untuk kisah-kisah Panji, serta Sabdapalon dan Nayagenggong untuk kisah-kisah Damarwulan dan Brawijaya. Bawor adalah wayang kulit Banyumasan atau panakawan Banyumas: kisah kisah bawor dadi ratu.