Anak Krakatau
Artikel ini mungkin terdampak oleh suatu peristiwa terkini. Informasi di halaman ini bisa berubah setiap saat. |
Pulau Anak Krakatau , adalah pulau vulkanik kecil, yang muncul di antara Pulau Sertung (Bld.: Verlaten Eiland) dan Pulau Rakata Kecil atau Pulau Panjang (Bld.: Lang Eiland) pada tahun 1928, di titik yang dulunya adalah laut dengan kedalaman 27 m dan sebelumnya pernah berdiri Pulau Rakata. Tampilan pulau ini didominasi oleh gunung api yang masih selalu aktif, Gunung Anak Krakatau.
Koordinat | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Gugus kepulauan | Sumatra |
Provinsi | Lampung |
Kabupaten | Lampung Selatan |
Luas | -km² |
Populasi | - |
Pulau ini adalah pulau termuda di Indonesia.
Riwayat
Seusai letusan kataklismik Gunung Krakatau pada tahun 1883, Pulau Rakata kehilangan kira-kira 2/3 tubuhnya di sisi barat laut, melenyapkan puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, serta menyisakan paruh selatan Gunung Krakatau (yang sekarang tetap disebut Pulau Rakata). Bagian yang "hilang" ini menjadi laut dangkal.
Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, mulai tahun 1927 mulai tampak aktivitas vulkanik di titik di antara bekas puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, dengan munculnya kepulan asap disertai letusan-letusan kecil.
Pada tahun 1929, pulau kecil ini menghilang lagi, tetapi kemudian muncul kembali bersamaan dengan letusan-letusan pada tahun 1930, dan setelah letusan-letusan hebat dalam Februari 1933 muncul dengan ukuran lebih besar. Pada tahun 1935, pulau ini bentuknya hampir bundar, dengan diameter sekitar 1200 m, ketinggian 63 m dan pada tahun 1940 tingginya 125 m. Pada tahun 1955 pulau ini bertambah ketinggiannya menjadi 155 m dari permukaan laut. Pada tahun 1959 pulau ini meledak kembali dan mengeluarkan asap hitam tebal sampai setinggi 600 m.
Bersamaan dengan aktivitas vulkanik gunung api yang ada di pulau ini, titik tertinggi pulau ini terus meningkat dengan laju 7-9 meter per tahun, dan hingga catatan terakhir ketinggian yang tercapai adalah 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018)[1]
Erupsi 2018
Dimulai sejak 29 Juni 2018, aktivitas vulkanik di pulau ini mulai meningkat kembali, sehingga statusnya meningkat menjadi level II (Waspada), sehingga aktivitas manusia dilarang pada radius 3 km dari titik puncak. Frekuensi erupsi semakin meningkat pada bulan Oktober-November, dengan munculnya letusan yang disertai lontaran lava pijar dan batu, serta awan panas. Setelah agak mereda, pada pertengahan Desember aktivitas kembali meningkat. Pada tanggal 22 Desember, gunung Anak Krakatau seperti biasa mengalami letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah dan mencatatkan gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, yang tampaknya disertai dengan longsor tubuh gunung. Selang beberapa menit dilaporkan terjadi tsunami di beberapa pantai barat Banten dan selatan Lampung. Longsoran yang menyebabkan tsunami ini dikonfirmasi berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, yang menunjukkan ada luasan seluas minimal 64 hektare yang " hilang" dari citra satelit sehari setelah laporan tsunami.
Aktivitas setelah longsor tetap berlangsung dengan frekuensi tinggi. Pada tanggal 26 Desember 2018 dilaporkan terjadi hujan debu vulkanik di kawasan Cilegon (Banten) yang telah dikonfirmasi. Pihak berwenang sejak pukul 05.00 tanggal 27 Desember 2018 menaikkan status Gunung Anak Krakatau menjadi level III (Siaga). Pada status ini, semua aktivitas pada radius 5 km dari puncak harus ditiadakan[1].