Anak Krakatau
Artikel ini mungkin terdampak oleh suatu peristiwa terkini. Informasi di halaman ini bisa berubah setiap saat. |
Pulau Anak Krakatau , adalah pulau vulkanik kecil, yang muncul di antara Pulau Sertung (Bld.: Verlaten Eiland) dan Pulau Rakata Kecil atau Pulau Panjang (Bld.: Lang Eiland) pada tahun 1927, di titik yang dulunya adalah laut dengan kedalaman 27 m dan sebelumnya pernah berdiri Pulau Rakata. Tampilan pulau ini didominasi oleh gunung api yang masih selalu aktif, Gunung Anak Krakatau.
Koordinat | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Gugus kepulauan | Sumatra |
Provinsi | Lampung |
Kabupaten | Lampung Selatan |
Luas | -km² |
Populasi | - |
Pulau ini adalah pulau termuda di Indonesia yang terbentuk melalui aktivitas vulkanik.
Kemunculan
Seusai letusan kataklismik Gunung Krakatau pada tahun 1883, Pulau Rakata kehilangan kira-kira 2/3 tubuhnya di sisi barat laut, melenyapkan puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, serta menyisakan paruh selatan Gunung Krakatau (yang sekarang tetap disebut Pulau Rakata). Bagian yang "hilang" ini menjadi laut dangkal.
Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, pada awal tahun 1927 mulai tampak aktivitas vulkanik di titik di antara bekas puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, dengan munculnya kepulan asap disertai letusan-letusan kecil. Usia daratan yang sempat muncul hanya seminggu, karena kemudian diruntuhkan kembali oleh gelombang laut. Beberapa bulan kemudian aktivitas vulkanik dimulai lagi hingga membentuk daratan hingga ketinggian 200 m[1] Karena hujan dan gelombang, daratan ini kembali runtuh di bawah permukaan air laut kembali setelah aktivitas vulkaniknya terhenti. Proses ini berlangsung terus selama sekitar tiga tahun. Baru sejak 11 Agustus 1930 pulau ini tidak pernah lagi runtuh dan terus-menerus mengalami letusan-letusan,ref name=pbs>PBS. The Wild Indonesia. The birth of an island. Online book PBS. Diakses 27 Desember 2018.</ref>. Pada tahun 1935, pulau ini berbentuk hampir bundar dengan diameter sekitar 1200 m, ketinggian 63 m; pada tahun 1940 tingginya sudah 125 m. Pada tahun 1955 pulau ini tercatat ketinggiannya menjadi 155 m dari permukaan laut. Pada tahun 1959 gunung meletus kembali dan mengeluarkan asap hitam tebal sampai setinggi 600 m.
Bersamaan dengan aktivitas vulkanik gunung api yang ada di pulau ini, titik tertinggi pulau ini terus meningkat dengan laju 7-9 meter per tahun, dan hingga catatan terakhir ketinggian yang tercapai adalah 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018)[2].
Status administratif dan pengelolaan
Gugusan kepulauan Krakatau, termasuk Anak Krakatau, secara administratif merupakan wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Seluruh kawasan kepulauan merupakan kawasan dilindungi secara hukum, sebagai Cagar Alam Krakatau yang dikelola oleh BKSDA (Badan Konservasi Sumberdaya Alam) Lampung Selatan. Kawasan ini, terutama Pulau Anak Krakatau, memiliki keistimewaan dari sisi ekologi karena menjadi laboratorium alam bagaimana suatu ekosistem membangun kembali dirinya dalam situasi yang relatif terisolasi. Dari sisi geologi pun kawasan ini juga menjadi tempat pembelajaran yang sangat menarik.
Aktivitas gunung api saat ini dipantau dari dua titik: Pos Pengamatan Carita di sisi Pulau Jawa dan dari Pos Pengamatan Kalianda di sisi Pulau Sumatera. Selain itu, di beberapa titik PUlau Anak Krakatau juga dipasang beberapa alat pemantau aktivitas vulkanik (meskipun berkali-kali rusak karena aktivitas gunung api yang sangat tinggi.
Erupsi 2018
Dimulai sejak 29 Juni 2018, aktivitas vulkanik di pulau ini mulai meningkat kembali, sehingga statusnya meningkat menjadi level II (Waspada), sehingga aktivitas manusia dilarang pada radius 3 km dari titik puncak. Frekuensi erupsi semakin meningkat pada bulan Oktober-November, dengan munculnya letusan yang disertai lontaran lava pijar dan batu, serta awan panas. Setelah agak mereda, pada pertengahan Desember aktivitas kembali meningkat. Pada tanggal 22 Desember, gunung Anak Krakatau seperti biasa mengalami letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah dan mencatatkan gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, yang tampaknya disertai dengan longsor tubuh gunung. Selang beberapa menit dilaporkan terjadi tsunami di beberapa pantai barat Banten dan selatan Lampung. Longsoran yang menyebabkan tsunami ini dikonfirmasi berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, yang menunjukkan ada luasan seluas minimal 64 hektare yang " hilang" dari citra satelit sehari setelah laporan tsunami.
Aktivitas setelah longsor tetap berlangsung dengan frekuensi tinggi. Pada tanggal 26 Desember 2018 dilaporkan terjadi hujan debu vulkanik di kawasan Cilegon (Banten) yang telah dikonfirmasi. Pihak berwenang sejak pukul 05.00 tanggal 27 Desember 2018 menaikkan status Gunung Anak Krakatau menjadi level III (Siaga). Pada status ini, semua aktivitas pada radius 5 km dari puncak harus ditiadakan[2].