Anak Krakatau

pulau di Kabupaten Lampung Selatan
Revisi sejak 13 Januari 2019 06.26 oleh Kembangraps (bicara | kontrib) (tambahkan info)

Pulau Anak Krakatau 6°6′0″LS,105°25′0″BT, adalah pulau vulkanik kecil, anggota dari kepulauan Krakatau, yang berposisi di antara Pulau Sertung (Bld.: Verlaten Eiland) di sisi baratnya dan Pulau Rakata Kecil atau Pulau Panjang (Bld.: Lang Eiland) di sisi timurnya.

Anak Krakatau
Peta lokasi Anak Krakatau
Koordinat6°6′0″LS,105°25′0″BT
NegaraIndonesia
Gugus kepulauanKrakatau
ProvinsiLampung
KabupatenLampung Selatan
Luas-km²
Populasi0 jiwa
Peta

Tampilan pulau ini didominasi oleh gunung api yang masih selalu aktif, Gunung Anak Krakatau. Hampir setiap waktu, hanya dengan jeda beberapa bulan, gunung ini selalu meletus kecil dengan tipe "Stromboli", berupa letusan eksplosif yang memancarkan material baru ke udara, untuk membangun tubuhnya.

Pulau ini muncul pada tahun 1927, di titik yang dulunya adalah laut dengan kedalaman 27 m dan sebelumnya pernah menjadi bagian daratan Pulau Rakata. Dengan demikian, pulau ini adalah pulau termuda di Indonesia yang terbentuk melalui aktivitas vulkanik.

Kemunculan

Pulau Anak Krakatau dari citra satelit.
Pulau Anak Krakatau dari citra satelit.

Seusai letusan kataklismik Gunung Krakatau pada tahun 1883, Pulau Rakata kehilangan kira-kira 2/3 tubuhnya di sisi barat laut, melenyapkan puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, serta menyisakan paruh selatan Gunung Krakatau (yang sekarang tetap disebut Pulau Rakata). Bagian yang "hilang" ini menjadi laut dangkal.

Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, pada awal tahun 1927 mulai tampak aktivitas vulkanik di titik di antara bekas puncak Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan, dengan munculnya kepulan asap disertai letusan-letusan kecil. Usia daratan yang sempat muncul hanya seminggu, karena kemudian diruntuhkan kembali oleh gelombang laut. Beberapa bulan kemudian aktivitas vulkanik dimulai lagi hingga membentuk daratan[1]. Karena hujan dan gelombang, daratan ini kembali runtuh di bawah permukaan air laut kembali setelah aktivitas vulkaniknya terhenti. Proses ini berlangsung terus selama sekitar tiga tahun. Baru sejak 11 Agustus 1930 pulau ini tidak pernah lagi runtuh dan terus-menerus mengalami letusan-letusan[2]. Pada tahun 1935, pulau ini berbentuk hampir bundar dengan diameter sekitar 1200 m, ketinggian 63 m; pada tahun 1940 tingginya sudah 125 m. Pada tahun 1955 pulau ini tercatat ketinggiannya menjadi 155 m dari permukaan laut. Pada tahun 1959 gunung meletus kembali dan mengeluarkan asap hitam tebal sampai setinggi 600 m.

Bersamaan dengan aktivitas vulkanik gunung api yang ada di pulau ini, titik tertinggi pulau ini terus meningkat dengan laju 7-9 meter per tahun, dan hingga catatan bulan September 2018, yang merupakan catatan sebelum terjadi longsoran tubuh pada 24 Desember 2018, ketinggian yang tercapai adalah 338 meter dari permukaan laut[3].

Status administratif dan pengelolaan

 
Gunung Anak Krakatau

Sebagai anggota gugusan kepulauan Krakatau, Pulau Anak Krakatau, secara administratif merupakan wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Seluruh kawasan kepulauan merupakan kawasan dilindungi secara hukum, sebagai Cagar Alam Krakatau yang dikelola oleh BKSDA (Badan Konservasi Sumberdaya Alam) Lampung Selatan. Kawasan ini, terutama Pulau Anak Krakatau, memiliki keistimewaan dari sisi ekologi karena menjadi laboratorium alam bagaimana suatu ekosistem membangun kembali dirinya dalam situasi yang relatif terisolasi. Dari sisi geologi pun kawasan ini juga menjadi tempat pembelajaran yang sangat berguna.

Aktivitas gunung api saat ini dipantau dari dua titik: Pos Pengamatan Carita di sisi Pulau Jawa dan dari Pos Pengamatan Kalianda di sisi Pulau Sumatera. Selain itu, di beberapa titik Pulau Anak Krakatau juga dipasang beberapa alat pemantau aktivitas vulkanik (meskipun berkali-kali rusak karena aktivitas gunung api yang sangat tinggi).

Erupsi 2018

Dimulai sejak 29 Juni 2018, aktivitas vulkanik di pulau ini mulai meningkat kembali, sehingga statusnya meningkat menjadi level II (Waspada), sehingga aktivitas manusia dilarang pada radius 3 km dari titik puncak. Frekuensi erupsi semakin meningkat pada bulan Oktober-November, dengan munculnya letusan yang disertai lontaran lava pijar dan batu, serta awan panas. Setelah agak mereda, pada pertengahan Desember aktivitas kembali meningkat.

Pada tanggal 22 Desember, gunung Anak Krakatau seperti sebelumnya meletus dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah dan mencatatkan gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, namun tak teramati secara visual maupun terdeteksi oleh alat pencatat kegempaan tektonik. Selang beberapa menit dilaporkan terjadi tsunami di beberapa pantai barat Banten dan selatan Lampung. Longsoran yang menyebabkan tsunami ini dikonfirmasi berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, yang menunjukkan ada luasan seluas minimal 64 hektare yang " hilang" melalui tafsiran citra satelit sehari setelah laporan tsunami.

Aktivitas erupsi setelah longsor tetap berlangsung dengan frekuensi tinggi. Pada tanggal 26 Desember 2018 dilaporkan terjadi hujan debu vulkanik di kawasan Cilegon (Banten) yang telah dikonfirmasi. Pihak berwenang sejak pukul 06.00 tanggal 27 Desember 2018 menaikkan status Gunung Anak Krakatau menjadi level III (Siaga). Pada status ini, semua aktivitas pada radius 5 km dari puncak harus ditiadakan[3]. Level ini adalah level bahaya tertinggi yang dapat diberikan untuk gunung ini.

Pengamatan visual dan perkiraan berdasarkan citra satelit yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 2018 menunjukkan perubahan morfologi besar. Ketinggian puncak Gunung Anak Krakatau tinggal 110 m dari muka laut, dan volume daratan yang longsor ke dalam laut diperkirakan 150 juta sampai 180 juta meter kubik, menyisakan bagian daratan sebesar 40 juta sampai 70 juta meter kubik[4]. Dengan ketinggian baru ini, Pulau Anak Krakatau sejak 26 Desember 2018 memiliki puncak tertinggi lebih rendah daripada pulau-pulau tetangganya, Pulau Sertung (182 m dpl) dan Pulau Panjang (132 m dpl).

Memasuki tahun 2019, tercatat aktivitas letusan yang meskipun masih tinggi, namun semakin melemah. Aktivitas yang tinggi ini menyulitkan pengamatan morfologi pulau karena selalu tertutup asap dan abu tebal. Foto satelit yang dipublikasi PlanetLabs Inc. menunjukkan perubahan morfologi yang pesat dari 30 Desember sampai 4 Januari 2019. Di bekas runtuhan gunung sempat terbentuk laguna ke dalam, tetapi kemudian laguna itu terpotong daratan baru sehingga terbentuk semacam danau kawah[5]. Pada tanggal 5 Januari 2019 pukul 11:11 WIB terjadi lagi erupsi dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 m di atas puncak[6]. Seri foto dan rekaman video menggunakan satelit pada tanggal dron oleh seorang fotografer pada tanggal 10 Januari 2019 yang diunggah di media sosial menunjukkan dengan jelas danau kawah yang terbentuk dan kerusakan vegetasi yang ditimbulkan oleh longsoran, tsunami, dan letusan tanggal 22 Desember 2018 di pulau-pulau anggota gugus Krakatau[7]

Rujukan

  1. ^ Winchester, S. 2005. Krakatoa. The Day The World Exploded 27 August 1883. Penguin Books.
  2. ^ PBS. The Wild Indonesia. The birth of an island. Online book PBS. Diakses 27 Desember 2018.
  3. ^ a b Badan Geologi. 2018. Pers Rilis Aktivitas Gunungapi Anak Krakatau, Kamis 27 Desember 2018. Diakses 27 Desember 2018.
  4. ^ Kasbani. PERS RILIS AKTIVITAS GUNUNG ANAK KRAKATAU, 28 DESEMBER 2018. PVMBG, 29 Desember 2018 16:37 WIB
  5. ^ Jonathan Amos. https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46743383 Foto-foto satelit ungkap wujud terbaru Gunung Anak Krakatau BBC Indonesia daring. Edisi 3 Januari 2019. Diakses 13 Januari 2019.
  6. ^ Badan Geologi. Informasi Erupsi G. Anak Krakatau. Edisi 05 Januari 2019.
  7. ^ https://twitter.com/EarthUncutTV/status/1083710547164418048 Rekaman dron oleh @EarthUncuttv