Keraton Banjar

bangunan kuil di Indonesia

Keraton Banjar adalah istana kenegaraan Kesultanan Banjar sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

Litografi kompleks keraton Banjar di Martapura pada tahun 1843

Berdasar catatan sejarah, diketahui bahwa di Kalimatan Selatan pernah berdiri sebuah kerajaan yang besar yaitu kerajaan Banjar (1526–1905). Pada puncak masa kejayaannya, kerajaan Banjar memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, mencakup hampir sebagian besar pulau Kalimantan sekarang. Namun demikian hingga kini tidak diketahui lagi bagaimana keberadaannya, baik lokasi maupun bentuk arsitektur istana kerajaan Banjar.[1]

Penelitian mengenai rekonstruksi keraton Banjar sudah pernah dilakukan (Kasnowihardjo, dkk.2006; Muchamad, 2006a, 2006b), namun terbatas pada masa kerajaan Banjar saat berada di Kuin (1526–1612). Berdasar penelusuran sisa-sisa reruntuhan yang didominasi susunan batu bata, maka hasil studi rekonstruksi menunjukkan bahwa keraton pertama kerajaan Banjar tersebut sangat dipengaruhi kebudayaan kerajaan Negara Daha. Diyakini bentukan istana tersebut juga merupakan sebuah “bangunan” bekas peninggalan kerajaan Negara Daha. Sedangkan keraton kerajaan Banjar setelah masa tersebut (1612-1905), yaitu saat di daerah Batang Banyu, daerah Kayu Tangi, daerah Bumi Selamat, daerah Cempaka, dan terakhir di daerah Sei Mesa tidak pernah diketahui. Peristiwa perpindahan pusat pemerintahan kerajaan Banjar sendiri terjadi akibat pertikaian dengan bangsa Belanda yang dipicu oleh pertikaian dagang. Dan selama masa pertikaian tersebut, setidaknya keraton kerajaan berpindah sebanyak 5 kali. Akibat pertikaian ini, berakhir dengan dikeluarkannya pengumuman penghapusan kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860, yang ditandatangani oleh Residen Surakarta F.N. Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris Pemerintahan Belanda untuk afdeling Selatan dan Timur Kalimantan (Ideham, 2003). Penelitian terakhir yang telah dilaksanakan oleh Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan (Muchamad, 2009) difokuskan pada upaya mencari lokasi untuk rekonstruksi keraton kerajaan Banjar yang sesuai dari aspek kesejarahan dan pelestarian pusaka saujana budaya.[2][3]

Keraton Kuin Tahun 1520

 
Rumah Bubungan Tinggi merupakan type untuk Dalem Sirap (kedhaton hunian Sultan Banjar), salah satu bangunan di dalam kompleks keraton.

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai :

  • Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
  • Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibukota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut :

  • Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.
  • Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.
  • Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.
  • Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur= sebutan Siti Hinggil di keraton Banjar dan Banten.
  • Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.
  • Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
  • Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.
  • Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.
  • Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.
  • Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.
  • Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.
  • Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

Keraton Pemakuan Tahun 1622

Pada tahun 1612 keraton Keraton Kuin di Banjarmasih mendapat serangan dari VOC-Belanda, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pusat pemerintahan Kesultanan Banjar dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah Raja Banjar IV ke arah hulu sungai Martapura, tepatnya di Pemakuan, sambil menyiapkan keraton baru di Amuntai, namun saat pembangunan keraton Amuntai sudah digarap tetapi belum rampung, keraton Amuntai dibatalkan didiami karena Sultan Mustain Billah (Marhum Panembahan) mendapat mimpi bahwa Pangeran Suryanata (leluhur raja-raja Banjar) melarangnya menjadikan kota Amuntai sebagai ibukota kembali karena negeri lawas itu sudah rusak (Hikayat Banjar).


Keraton Batang Banyu / Muara Tambangan Tahun 1632

Sekitar 10 (sepuluh) tahun di Pemakuan, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Muara Tambangan/Batang Banyu pada sekitar tahun 1632.

Keraton Martapura 1642

Setelah 10 tahun di Batang Banyu atau Muara Tambangan, pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke lokasi baru tidak jauh dari Batang Banyu/Muara Tambangan, jaraknya sepenglihatan dari lokasi lama. Sebagian bangsawan masih tinggal di Batang Banyu/Muara Tambangan. Keraton baru ini dinamakan Martapura (1642).

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[4]

Marhum Panambahan hilang sepuluh hari lamanya. Dicari orang ke hulu ke hilir, ke darat ke laut, tiada dapat. Gelabah hati orang sekaliannya itu. Waktu tengah malam datang itu. Sudah siang hari itu Gadungsalat disuruh Marhum Panambahan memanggil Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara dan Kiai Jayanagara itu. Sama datang itu, disuruh menebas segala kayu dara itu - padang itu, akan tempat masjid dan tempet pe-dalem-an, tempat alun-alun. Sudah itu maka disuruh tebas oleh Pangeran Mancanagara itu. Sudah itu masjid yang dipindah itu. Sudah jadi masjid itu, pada waktu hari Jumaat itu Marhum Panambahan sembahyang, sekaliannya menteri-menteri dan para raden dan Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara, Dipati Ngganding sama sembahyang itu. Sudah itu pangandika Marhum Panambahan: "Sadanglah aku sepuluh hari mengelilingi alkah Banjarmasih ini tiada yang baik akan tempet negeri, hanya tanah rabat padang ini. Baik, bertuah, jika ada orang hendak mengalahkan tiada kalah dahulunya. Dengan patulung Allah serta berkat syafa'at Nabi Muhammad Rasul Allah itu sukar tempat seteru mendatangi, karena tempat negeri ini baik tapak udar naganya itu lawan muhara-halangan itu. Negeri ini aku namai Martapura. Maka anak cucuku atau buyutku menjadi raja tetap ia di Martapura ini insya-Allah Ta'ala sempurna kerajaannya. Maka lamun ia meninggal Martapura ini diam kepada tempat lain insya-Allah Ta'ala kepada rasaku binasa kerajaannya; haru-hara itu tiada keruan. Banyak tiada tersebutkan. Sudah itu itu pedaleman pula ditajak itu. Maka sekaliannya pindah ke Martapura itu. Raden Zakaria lawan Raden Aria Sagara itu masih diam di Batang Banyu itu, tetapi sepenglihatan jauhnya itu. Lamanya diam Marhum Panambahan di Batang Banyu itu sepuluh tahun, tumuli pindah ke Martapura itu.[4]

Raja-raja yang memerintah di keraton Martapura:

  1. Sultan Mustain Billah Raja Banjar IV
  2. Sultan Inayatullah (Ratu Agung) Raja Banjar V
  3. Sultan Saidullah (Ratu Anom) Raja Banjar VI
  4. Sultan Rakyatullah Raja Banjar VII (wali Sultan Amrullah Bagus Kasuma)

Keraton Sungai Pangeran di Banjarmasin Tahun 1663-1679

Tahun 1660 Sultan Saidullah Raja Banjar VI mangkat, sementara Putra Mahkota Raden Bagus (Suria Angsa) masih kecil, sehingga mangkubumi ditunjuk oleh Dewan Mahkota sebagai Pemangku Raja atau temporary king dengan gelar di atas tahta Sultan Rakyatullah. Setelah 3 tahun menjabat Pemangku Raja, timbul gejolak di istana, karena Pangeran Dipati Anom II (adik Sultan Saidullah Raja Banjar VI) berkeinginan mengambil alih jabatan Sultan Rakyatullah sebagai temporary king atau Pemangku Raja. Pangeran Dipati Anom II berhasil mengambil alih perangkat kerajaan dan prajurit kerajaan, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran di Banjarmasin pada tahun 1663 dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Banjar dengan sebutan Sultan Dipati Anom atau Pangeran Suryanata 2 yang memerintah di Banjarmasin (1663-1679). Sementara sebelum turun tahta di Martapura pada tahun 1663 Sultan Rakyatullah juga sempat melantik putra mahkota Raden Bagus menjadi Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma (Suria Angsa).

Keraton Kayu Tangi

Tahun 1679, keraton Sultan Dipati Anom di Sungai Pangeran diserang oleh Pangeran Suria Angsa (Sultan Amrullah) dan Pangeran Suria Negara, keduanay merupakan putera dari Sultan Saidullah (Sultan Ratu Anom) Raja Banjar VI. Serangan ini dibantu para pedagang Portugis. Serangan ini menyebabkan tewasnya Sultan Dipati Anom dan puteranya yang bernama Pangeran Dipati.

Pangeran Suria Angsa (Sultan Amrullah) kemudian membangun keraton baru di Kayu Tangi, sedangkan bekas keraton lama di Martapura menjadi milik adiknya, Pangeran Suria Negara.

Di bagian pedalaman negara ini, ada beberapa kerajaan kecil, yang masing-masing diperintah oleh rajah, atau raja. Semua raja sebelumnya tunduk pada raja Borneo, yang dianggap sebagai raja tertinggi di seluruh pulau; tetapi wewenangnya dari tahun-tahun terakhir telah sangat berkurang; dan ada raja-raja lain yang sederajat, jika tidak lebih kuat dari dirinya sendiri; khususnya raja Caytonge (Kayu Tangi). Kota di mana pangeran ini berada terletak sekitar 80 mil di atas Sungai Banjar. Istana-Nya adalah sebuah bangunan yang sangat elegan yang didirikan pada pilar-pilar, dan terbuka di semua sisi. Sebelum istana adalah sebuah bangunan besar, yang hanya terdiri dari satu ruangan, yang dirancang khusus untuk mengadakan dewan, dan menjamu orang asing. Di tengah ruangan adalah takhta, ditutupi dengan kanopi kaya brokat emas dan perak. Tentang istana ditanam beberapa meriam, yang sudah sangat tua, dan dipasang di gerbong-gerbong celaka seperti itu, sehingga mereka tidak hias atau berguna. Pangeran ini dihormati sebagai yang terbesar, karena kebiasaan yang ia terima di pelabuhan Banjar Masseen (Banjarmasin), yang diperkirakan 8000 buah delapan per tahun. Raja atau Sultan Negaree adalah pangeran yang paling bisa dipercaya, di samping yang di atas: istananya terletak di sebuah tempat bernama Metapoora (Martapura), sekitar 10 mil dari Caytonge. Ada gudang senjata yang tampan di depan gerbang istananya, yang berisi sejumlah besar senjata api, dan beberapa meriam. Dia selalu berhubungan baik dengan tetangganya, pangeran Caytonge, dan sisanya adalah bawahan kedua pangeran ini; Penghormatan besar diberikan kepada mereka oleh penduduk asli, dan sulit bagi orang asing untuk mendapatkan akses kepada mereka: satu-satunya cara untuk melakukan ini adalah dengan memuji mereka dengan hadiah yang berharga, karena ketamakan adalah hasrat kesayangan mereka; dan orang asing itu akan diperlakukan dengan hormat sesuai dengan proporsi yang ia berikan.[5][6]

Keraton Bumi Kencana Tahun 1771

Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) memindah keraton Banjar dari Kayutangi ke Bumi Kencana (Martapura).Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>[7]

Tentang perubahan nama Keraton Bumi Kencana menjadi keraton Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban Dalam negeri Bumi kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun seribu delapan ratus enam

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh dan putera kesayangannya Pangeran Wira Nata, saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi : .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, di belakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba di bahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba di bahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru ke bahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia.

Keraton Sungai Mesa, Bajarmasin

Selain istana kenegaraan yang terdapat di Martapura, bersamaan itu pula terdapat keraton ke-2 (istana peraduan) yang terletak di Banjarmasin.

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan (Sultan Adam), Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II (istana peninggalan Sultan MUda Abdul Rahman). Berseberangan sungai dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amarong, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amarong (sekarang kantor gubernur Kalsel) merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu.[8][9]

Rujukan

  • Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa, Melacak Arsitektur Keraton Banjar, Desember 2006.


Referensi

  1. ^ http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1376.pdf
  2. ^ http://www.academia.edu/2097093/MELACAK_ARSITEKTUR_KERATON_BANJAR
  3. ^ (Indonesia) Bani Noor Muhammad; Namiatul Aufa (1 Desemeber 2006). MELACAK ARSITEKTUR KERATON BANJAR (PDF). 
  4. ^ a b (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  5. ^ (Inggris) James Cook (1790). A Collection of Voyages Round the World: Performed by Royal Authrity. Containing a Complete Historical Account of Captain Cook's First, Second, Third and Last Voyages, Undertaken for Making New Discoveries, &c. ... To which are Added Genuine Narratives of Other Voyages of Discovery Round the World, &c. Viz. Those of Lord Byron, Capt. Wallis, Capt. Carteret, Lord Mulgrave, Lord Anson, Mr. Parkinson, Capt. Lutwidge, Mess. Ives, Middleton, Smith, &c. &c... Printed for A. Millar, W. Law, and R. Cater. hlm. 1102. 
  6. ^ (Inggris) Thomas Bankes, Edward Warren Blake, Alexander Cook, Thomas Lloyd (1800). A New, Royal, and Authentic System of Universal Geography, Antient and Modern: Including All the Late Important Discoveries ... and a Genuine History and Description of the Whole World ... Together with a Complete History of Every Empire, Kingdom, and State ... to which is Added a Complete Guide to Geography, Astronomy, the Use of the Globes, Maps ... C. Cooke, No 17, Pater-noster Row. hlm. 288. 
  7. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 114. ISBN 9794074101. ISBN 978-979-407-410-7
  8. ^ (Indonesia) H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota Banjarmasin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986
  9. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Pranal luar