Iskak Tjokroadisurjo


Iskak Tjokroadisurjo (Jombang, 11 Juli 1896[1] -) merupakan salah satu politisi dan pakar hukum dari Indonesia. Ia merupakan salah satu tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, 4 Juli 1927 (ketika itu masih bernama Perhimpunan Nasional Indonesia) bersama Soekarno, Mr. Sartono, Mr. R.S. Budhyarto Martoatmodjo, Mr. Sunario Sastrowardoyo, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ir. Anwari, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sekaligus menjabat sebagai sekretaris dan bendahara pertama perkumpulan tersebut.[2] Pada masa kemerdekaan, ia pernah memangku jabatan sebagai Residen Banyumas dan Walikota Surakarta saat perang fisik kemerdekaan[3], Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952), Anggota Konstituante mewakili PNI[1] dan Menteri Perekonomian dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955).[4] Ketika menjabat sebagai Menteri Perekonomian, Ia mencetuskan ide sistem ekonomi Ali-Baba.[5] Suatu sistem ekonomi yang berusaha untuk membangkitkan wiraswasta lokal Indonesia.[5]

Iskak Tjokroadisurjo
[[Residen Banyumas]] ke-1
PresidenSoekarno
GubernurWongsonegoro
[[Walikota Surakarta]] ke-2
Masa jabatan
15 Juli 1946 – 14 November 1946
PresidenSoekarno
GubernurWongsonegoro
Sebelum
Pendahulu
Sindoeredjo
Pengganti
Sjamsoeridjal
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1896-07-11)11 Juli 1896
Hindia BelandaJombang
KebangsaanIndonesia
Partai politik Partai Nasional Indonesia
PekerjaanAnggota DPR RI, Pengacara
Dikenal karenaAnggota Konstituante RI, pendiri Partai Nasional Indonesia, Residen Banyumas, Residen (Walikota) Surakarta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

Masa Sebelum Kemerdekaan

Ia lahir di Ngoro, Jombang pada 11 Juli 1896.[4] Setelah menyelesaikan Sekolah Kehakiman (1917), ia melanjutkan ke bagian hukum Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada tahun 1925. Setamat Sekolah Kehakiman, ia menjadi pegawai kehakiman (1917-1922) dan sebagai pengacara di Surabaya (1925).

Sewaktu masih menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda, Iskaq Tjokrohadisoerjo tidak pernah terlihat ikut kegiatan Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Hindia Belanda di negeri penjajah itu. Ia lulus kuliah tepat waktu, 3 tahun. Namun, setelah mendapatkan gelar Master in de Rechten dan pulang ke tanah air, jiwa nasionalisme Iskaq seolah meledak. “Tanaman yang merambat d di bagian muka rumah dipotong karena bunganya berwarna oranye, dan bukan merah putih. Cangkir-cangkir di rumah harus berwarna merah putih,” tulis Mr Sunario, teman sejawat Iskaq dalam pengantar buku "Iskaq Tjokrohadisurjo, Alumi Desa Bersemangat Banteng" (R. Nalenan; 1982).[2]

Sejak pulang kampung pada 1926, karena sejak awal ingin menjadi orang bebas, Iskaq membuka kantor advokat di Bandung. Padahal pemerintah kolonial ingin menempatkannya di Batavia. Tiga orang teman sejak di negeri Belanda bergabung dalam firma hukum Iskak itu yaitu Sartono, Wiryono Kusumo, dan Ali Sastroamidjojo. Setahun kemudian, Iskaq menjadi satu dari tujuh orang yang pertama berkumpul di Regentsweg (kini Jalan Dewi Sartika) Bandung untuk mendirikan Partai Nasional Indonesia. Saat itu, dia diputuskan menjabat sekertaris merangkap bendahara. Nama Iskaq sejak itu tak dapat dipisahkan dari PNI dan pergerakan nasional yang mulai bangkit dan berhimpun pada masa-masa itu.[2]

Sebagai tokoh muda pergerakan, ia turut mempersiapkan pendirian Partai Nasional Indonesia oleh kalangan Perhimpunan Pelajar di Bandung dalam Komite Persediaan (April 1927). Komite ini terdiri atas Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Budhiarto Martoatmojo, S.H., Mr. Soenario, Ir. Anwari, Mr. Sartono dan Dr. Samsi. Dalam perkembangannya, ia juga menjadi pengurus Partai Indonesia dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada zaman pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Chuo Sangi In di Jakarta dan kemudian anggota Surabaya-Syu Sangi Kai. Ia pernah berkunjung ke Jepang bersama 25 utusan dari Jawa lainnya.[4]

Masa Setelah Kemerdekaan

Sistem Ekonomi Ali Baba

Ketika menjabat sebagai menteri perekonomian, ia mencetuskan ide sistem ekonomi Ali-Baba. Di sini, Ali dimaksudkan sebagai pengusaha pribumi-nusantara dan Baba dimaksudkan sebagai pengusaha luar (dalam kasus ini pengusaha Tionghoa-Indonesia). Tujuan diterapkannya sistem ekonomi ini adalah memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi ekonomi dari sebelumnya yang berada di dalam kondisi ekonomi warisan kolonial Belanda.[5]

Penjabaran program ini adalah bagaimana cara pemerintah meningkatkan kemampuan ekonomi nasional melalui kerjasama antara pengusaha nasional (dalam hal ini pribumi-nusantara) dan pengusaha non-pribumi melalui suatu program kerjasama. Di dalam program kerjasama ini, pengusaha pribumi diberi kesempatan untuk bekerja di dalam pengusaha non-pribumi sehingga dapat menduduki jabatan minimal staf.[5][6]

Selain itu, kebijakan lain yang dikeluarkan Iskaq cenderung memiliki kebijakan yang berbau proteksi (proteksionisme) terhadap pengusaha lokal.[6] Untuk mencegah tentangan dari Partai Masyumi, Iskaq digantikan oleh Prof. Ir. Rooseno.[7]

Diperiksa Terkait Tuduhan Korupsi

Pada 14 April 1958, Kejaksaan Agung memeriksa Iskaq dan menemukan bukti yang cukup untuk mengajukannya ke pengadilan yakni terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang dan kereta, serta mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Iskaq menjawab semua tuduhan itu dengan menjelaskan satu per satu.[8]

Pada 1953, sebelum menjadi Menteri Perekonomian, dia menangani klien di Makassar mengenai perkara klaim asuransi jiwa sebesar fl.100.000 yang dibayarkan di Belanda dan ia berhasil dan mendapatkan honor 10 persen atau fl.10.000.[8] Pada akhir masa jabatannya sebagai Menteri Perekonomian, pada pertengahan tahun 1954, Iskaq mendapat tugas untuk berunding soal pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Belanda. Di sana, sahabatnya, Mr Muchjidin, meminjamkannya uang fl.7.200 untuk mencukupi pembelian Mercedes Benz 300 seharga fl.17.200. Merujuk keputusan Dewan Moneter tanggal 26 Juli 1954, Iskaq menganggap mobil itu sebagai devisa bebas yang tak perlu izin LAAPLN dan bukan sebagai devisa negara.[8]

Iskaq menguatkan argumennya dengan keputusan rapat ke-81 Kabinet Ali Sastroamidjojo I tanggal 4 November 1954 bahwa Menteri Keuangan mengeluarkan instruksi umum untuk membebaskan presiden, wakil presiden, dan para menteri dari pembayaran Tambahan Pembayaran Impor (TPI) dalam pembelian sebuah mobil di luar negeri yang dibawa ke Indonesia. Jika dijual, mobil tersebut baru dikenakan TPI. Kemudian, Ia juga mengajukan pengalaman Menteri Agama yang bisa memasukkan mobilnya ke Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Dewan Moneter No. 5/I tanggal 5 Februari 1955. Sebulan setelah membeli mobil itu, Iskaq memberitahukan jaksa agung dalam suatu pembicaraan. Selain itu, kepemilikan devisa di luar negeri yang kemudian dibelikan mobil telah diketahui oleh Inspeksi Keuangan dan dilaporkan ke ketua Dewan Moneter.[8]

Sementara itu, mengenai uang dari Lim Kay, utusan Dewan Pimpinan Pusat PNI, sejumlah M$3.363 atau US$1.008 untuk pembelian tiket pesawat Singapura-Jerman Barat pada 1954 dan menerima uang sebanyak fl.5.000 dari Seylhouwer di Jerman Barat untuk tiket kereta api dari Jerman Barat ke Paris, Perancis, Iskaq menganggap tuduhan itu aneh dan salah alamat karena kejadian tersebut terjadi pada tahun 1955 ketika dia tak lagi menjabat menteri tetapi saat itu Iskaq hendak ditangkap terkait kebijakannya selama menjadi menteri yang menguntungkan PNI. Menerima sumbangan tak bisa dianggap sebagai penyalahgunaan dan sama sekali tak merugikan pemerintah sehingga tak perlu izin LAAPLN.[8]

Setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum Mr. Baharsan dan pembelaan Iskaq, pada 4 Januari 1960 Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta M. Soebagio memutuskan menolak eksepsi Iskaq dan menjatuhkan vonis hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp 200.000 dan tambahan hukuman kurungan lima bulan jika denda tak dibayar. Terdakwa juga menanggung biaya perkara. Barang bukti berupa mobil Mercedes Benz 300 disita untuk negara. Iskaq naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dia berharap pengadilan membebaskannya dari segala tuduhan dan mengembalikan mobil Mercedes Benz 300. Bandingnya ditolak. Tak patah arang, Iskaq meminta grasi kepada presiden. Presiden mengabulkan karena Soekarno bagaimanapun mengenal Iskaq sebagai sesama pendiri PNI pada 1927 di Bandung. Berkat grasi tersebut, Iskaq tak harus menjalani hukuman tetapi ia tak bisa mendapatkan kembali mobilnya, Mercedes Benz 300.[8]

Referensi

  1. ^ a b "Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo - PNI (Partai Nasional Indonesia) - Profil Anggota - Konstituante.Net". Konstituante.Net. Diakses tanggal 2018-10-07. 
  2. ^ a b c sulindo, Admin koran. "Iskaq Tjokrohadisoerjo, Pendiri dan Kader Abadi PNI | Koran Sulindo". koransulindo.com. Diakses tanggal 2017-11-28. 
  3. ^ "Aksi Soedirman Melucuti Senjata Jepang Tanpa Kontak Senjata (9)". MerahPutih. Diakses tanggal 2018-10-07. 
  4. ^ a b c "Jakarta.go.id • Detail | Encyclopedia". www.jakarta.go.id. Diakses tanggal 2017-11-28. 
  5. ^ a b c d 1937-, Mustopo, M. Habib, (2005). Sejarah (edisi ke-Ed. 2., cet. 2). Jakarta: Yudhistira. ISBN 9789796767083. OCLC 253610492. 
  6. ^ a b 1925-, Willmott, Donald Earl, (2009). The national status of the Chinese in Indonesia 1900-1958 (edisi ke-First Equinox ed). Jakarta [Indonesia]: Equinox Publishing. ISBN 9786028397285. OCLC 752262870. 
  7. ^ Yanto., Bashri,; Retno., Suffatni, (2005). Sejarah tokoh bangsa (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa. ISBN 9793381779. OCLC 70276495. 
  8. ^ a b c d e f "Mobil Mercy Mantan Menteri Ekonomi Disita". historia.id. Diakses tanggal 2017-12-01.