Bataha Santiago

Raja ketiga Manganitu yang berkuasa pada 1670-1675
Revisi sejak 10 Februari 2019 08.54 oleh Myifn (bicara | kontrib)

Bataha Santiago merupakan salah satu tokoh masyarakat yang berasal dari Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.[1] Ia merupakan raja ketiga Kerajaan Manganitu. Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago adalah nama lengkapnya (Bataha berarti sakti). Lahir di desa Bowongtiwo-Kauhis,Manganitu pada tahun 1622.[1] Ia merupakan satu-satunya raja di Kepulauan Sangihe yang keras kepala dan menolak menandatangani perjanjian dagang dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda.

Bataha Santiago

Riwayat Hidup

Dia disekolahkan oleh ayahnya di Universitas Santo Thomas Manila, Filipina pada tahun 1666 (saat itu dia sudah berumur 44 tahun) dan menyelesaikan kuliahnya empat tahun kemudian. Sepulangnya dari Filipina, dia lalu dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Manganitu dan selama lima tahun ia memegang tampuk kekuasaan.[1]

Hubungan dengan VOC

VOC beberapa kali memaksa Santiago untuk menandatangani kontrak panjang (Lange Contract). Dia menolaknya dan mengumumkan perang terhadap VOC. Isi Lange Contract yang ditolak antara lain instruksi untuk melenyapkan tanaman cengkih dan semua benda yang dianggap kafir oleh VOC. Mereka memanfaatkan Sultan Kaitjil Sibori, anak Sultan Mandarsyah, untuk membujuk Santiago supaya menandatangai kontrak. Namun Santiago tetap tidak mau menandatanganinya. Sultan Kaitjil Sibori pulang ke daerahnya tanpa hasil. VOC kecewa dan marah dan Santiago pun telah siap dengan segala akibatnya. Kalimatnya yang terkenal yang disampaikan ketika ia mengumpulkan para pejabat kerajaan dan semua pihak yang terkait maupun yang akan melibatkan diri melawan VOC adalah “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng.” Kalimat itu berarti kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh.[1]

VOC lalu mengutus Sultan Kaitjil Sibori ke Sangihe untuk mempersunting Maimuna, putri raja VI Tabukan, supaya VOC dan sekutunya masuk ke Sangihe. Pasukan VOC dan pasukan kerajaan Manganitu yang dipimpin oleh Santiago berperang di laut berhari-hari. Korban dari keduanya sangat banyak. VOC mundur dan menghentikan perang yang sengit itu karena kerugian yang besar. VOC kemudian memanfaatkan Sasebohe dan Bawohanggima, sahabat dekat Santiago, agar menyerah namun gagal. Pertempuran antara VOC dan pasukan Santiago terjadi lagi dan Sasebohe dan Bawohanggima terus membujuk Santiago. Tetapi dia berhasil dibawa VOC ke kantornya di Tahuna. Dipaksa lagi untuk menandatangani kontrak. Namun, Santiago tetap memegang teguh prinsipnya. VOC menyiapkan satu tim tembak. Mereka menembak. Tapi tidak ada satu pun peluru berhasil melukai tubuh Santiago. Mereka takut dan heran, lalu membawa Santiago ke tanjung Tahuna dan menggantungnya.

Sultan Kaitjil Sibori tidak yakin tubuh Santiago yang tak ditembus peluru, tetapi dapat tewas dengan tali. Diperintahkannya salah seorang anggota pasukannya untuk memenggal kepala Santiago. Sebelum subuh tiba, adik Santiago yang bernama Sapela, datang mengambil jenasah saudarah tuanya. Ia hanya bisa membawa kepala Santiago dan menguburkannya di antara akar pepohonan besar, beberapa meter di atas pantai dan menandai tempat itu dengan tumpukan batu di Nento di desa Karatung-Paghul pada 1675. Kubur kepala Santiago yang dirahasiakan terungkap pada tahun 1950. Sedangkan tubuhnya diduga dikuburkan di tempat ia dihukum mati, di kelurahan Santiago saat ini.

Sebagai wujud penghargaan, diabadikan sebuah patung di Miangas di daerah perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Namanya juga diabadikan sebagai nama markas Kodim 1301/Sangihe dan Korem 131 Provinsi Sulawesi Utara.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e "Bataha Santiago, Pahlawan Dari Sangihe - SulutHebat.com". SulutHebat.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-12.