Penangkapan Pangeran Diponegoro

sebuah karya seni dari Raden Saleh
Revisi sejak 13 Februari 2019 03.01 oleh Rizkynandi (bicara | kontrib) (ejaan dan pemilihan bahasa)

Penangkapan Pangeran Diponegoro (Belanda: Gevangenname van Prins Diponegoro) adalah sebuah lukisan 1857 karya Raden Saleh, yang menggambarkan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830. Pulang ke Jawa pada 1851 setelah lama belajar di Eropa, Saleh memulai pembuatannya pada 1856 dan dihadiahkan kepada Raja William III dari Belanda. Kemudian, lukisan tersebut berpindah dari Istana Den Haag, Bronbeek, Museum Pusat, sampai pada akhirnya museum Istana Negara. Lukisan tersebut merupakan lukisan Asia Tenggara pertama dalam genre lukisan sejarah, sekaligus karya pertama dari seorang seniman Asia Tenggara yang menggambarkan sebuah peristiwa dari kawasan tersebut. Lukisan tersebut juga dianggap menjadi contoh dari nasionalisme Asia Tenggara awal dalam seni rupa, meskipun juga dipakai sebagai bukti bahwa Saleh tak memiliki rasa nasionalisme. Selain Saleh, Nicolaas Pieneman sebelumnya telah membuat lukisan tentang peristiwa yang sama dengan judul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock pada sekitar tahun 1835.

Penangkapan Pangeran Diponegoro
Belanda: Gevangenname van Prins Diponegoro
Seorang pria Jawa yang mengenakab serban menyerahkan dirinya kepada otoritas Belanda
SenimanRaden Saleh
Tahun1857
Ukuran112 cm × 178 cm (44 in × 70 in)
LokasiIstana Merdeka, Jakarta, Indonesia

Deskripsi

Pangeran Diponegoro berdiri di depan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di depan bangunan milik pimpinan kolonial.[1] Ia mengenakan sebuah serban hijau, jubah putih dan celana, dan sebuah jaket; mengikatkan pinggangnya dengan ikat pinggang emas, memegang tasbih, dan mengalungkan punggungnya dengan syal.[2] Ia tampak sedang menahan kemarahannya – sebagai sebuah tindakan lazim dari Priyayi – sementara orang-orang Eropa digambarkan bermata tajam dan tidak saling bertatap muka.[3]

De Kock, sang penangkap, berdiri di kiri Diponegoro, pada tingkat yang sama dengan pejuang gerilya tersebut.[3] Bagian paling kiri adalah para perwira Belanda, yang diidentifikasikan oleh sejarawan dan biografer Diponegoro Peter Carey sebagai Kolonel Louis du Perr, Letkol W.A. Roest, dan Mayor-Ajudan Francois Victor Henri Antoine Ridder de Stuer. Di kanan pangeran, berdiri seorang pria Jawa yang diidentifikasikan oleh Carey sebagai putra Diponegoro, Diponegoro Muda, bersebelahan dengan Residen Kedu Franciscus Gerardus Valck, Mayor Johan Jacob Perié, dan Kapten Johan Jacob Roeps.[4] Di kaki Diponegoro, seorang wanita – diyakini istrinya Raden Ayu Rětnaningsih – berusaha untuk memegangnya.[2]

Pemandangan di bagian kanan atas lukisan menampilkan sebuah pemandangan yang masih pagi hari, dengan tanpa angin, dan terpusat pada Diponegoro.[5][6] Saleh memberikan kedalaman bidang pada lukisan tersebut, menampilkan para prajurit salihat berdekatan pada bagian depan secara jelas, sementara menyamarkan detail-detail dari orang-orang di barisan belakang.[7] Kepala-kepala orang Belanda digambarkan tampak lebih besar ketimbang badan mereka,[3] sementara para prajurit Jawa digambarkan dalam keadaan wajar.[2] Pelukisnya, Raden Saleh, mencantumkan dirinya sendiri dalam lukisan tersebut sebanyak dua kali: sebagai seorang prajurit yang menunduk kepada pemimpin yang menangkapnya, dan sebagai seorang prajurit yang menghadap ke arah penonton.[8]

Lukisan ini berukuran 112 x 178 sentimeter (44 in × 70 in).[9]

Sejarah

Latar belakang

 
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock, Nicolaas Pieneman (sekitar 1830–35)

Diponegoro (1785–1855), seorang keturunan Sultan-Sultan Yogyakarta, dibujuk beberapa kali untuk naik tahta.[10] Pada 1825, setelah menyatakan dirinya sendiri adalah Ratu Adil dan perlawanan para musuhnya terhadap praktek Islam mereka, ia memulai sebuah perang melawan sultan yang memerintah dan pemerintah kolonial Belanda. Dalam perjuangan lima tahun berikutnya, yang menyebar ke sebagian besar Jawa Tengah, lebih dari 200,000 pasukan Jawa dan 15,000 pasukan Belanda tewas.[11] Pada 28 Maret 1830, dengan sebagian besar pemimpin gerilya lainnya yang tertangkap, Diponegoro diundang untuk mendatangi rumah Letjen De Kock di Magelang untuk menegosiasikan akhir pertikaian dan mewujudkan kesepakatan bersama. Disana, setelah tiga jam, Diponegoro ditangkap.[12] Ia diasingkan ke Makassar, Sulawesi, dimana ia menjalani sisa hidupnya disana sampai kematiannya.[10]

Penggambaran Saleh bukanlah satu-satunya versi lukisan dari penangkapan Diponegoro. Sebuah versi sebelumnya, Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock, diselesaikan pada sekitar tahun 1835 oleh Nicolaas Pieneman atas permintaan dari De Kock atau keluarganya.[13][12] Ketimbang seorang pria pemarah dan keras, Pieneman menampilkan seorang Diponegoro yang penurut dan terpukul, berdiri lebih rendah ketimbang penangkapnya, dan secara simbolik kurang memiliki kekuatan.[11][14] Secara keseluruhan, lukisan Pieneman memberikan penekanan bahwa, meskipun De Kock bertindak keras dalam mengasingkan Diponegoro, ini dilakukan demi kebaikan untuk Jawa.[15] Pengarang Susie Protschky menyebut karya Pieneman maupun Saleh sebagai "dua lukisan sejarah paling terkenal dari Hindia Belanda".[11]

Penyelesaian

Saleh pulang ke Jawa pada 1851 setelah lama belajar di Eropa, dimana ia mengklaim hubungan kekeluargaannya dengan kalangan gerilya dan menentang tindakan dari pemerintah kolonial Belanda. Diponegoro wafat pada 1855, yang sejarawan seni Werner Krauss nyatakan menginspirasi seniman tersebut untuk membuat Penangkapan Pangeran Diponegoro dan "merumuskan ulang" penangkapan tersebut dari sudut pandang Jawa, ketimbang sudut pandang kolonial Pieneman.[16] Meskipun Saleh tak pernah bertemu dengan pangeran tersebut, dan masih belajar di Eropa saat Diponegoro ditangkap, keluarganya berjuang untuk Diponegoro.[17][18]

 
Sketsa Saleh untuk lukisan tersebut (1856)

Lukisan Pieneman lebih dikenal ketimbang Saleh, dan ia juga lebih dikenal ketimbang seniman tersebut.[19] Saleh juga tampaknya terinspirasi dari para pelukis sejarah, terutama Louis Gallait; Krauss menemukaan kesamaan antara Abdikasi Charles V karya Gallait dan penggambaran penangkapan Diponegoro karya Saleh.[16] Pemakaian warna dari seniman tersebut mengikuti karya-karya alam dari Horace Vernet dan Eugène Delacroix, keduanya merupakan orang familiar bagi Saleh, dengan pose De Kock tampaknya terpengaruhi oleh lukisan-lukisan Renaisans Italia.[17]

Pengerjaannya dimulai pada 1856, saat Saleh meminta ijin untuk mengunjungi berbagai tempat yang berkaitan dengan Perang Jawa, namun ditolak. Sebuah sketsa permulaan diselesaikan setahun kemudian; Saleh sebelumnya telah mengunjungi seorang sepupu di Magelang, dimana Diponegoro ditangkap, dan kemudian mengamati kawasan dan latar belakangnya. Dalam persiapannya, Saleh membuat salah satu proyek paling ambisiusnya, dengan lebih dari empat puluh orang dalam gambar tersebut.[19] Krauss menyatakan bahwa Penangkapan Pangeran Diponegoro adalah lukisan Asia Tenggara pertama dalam genre lukisan sejarah, sekaligus karya pertama dari seorang seniman Asia Tenggara yang menggambarkan sebuah peristiwa dari kawasan tersebut.[20]

Sejarah berikutnya

Saat sudah rampung, lukisan tersebut dihadiahkan kepada Raja William III dari Belanda. Saleh berkata bahwa ini adalah sebuah "tanda terima kasih" karena pemerintah Belanda telah membayar pendidikannya di Eropa selama hampir dua puluh tiga tahun.[9] Setelah beberapa tahun disimpan di Istana Den Haag, Penangkapan Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Bronbeek, sebuah rumah dari para veteran Militer Kolonial Kerajaan Belanda.[20] Pada sekitar awal 1970an, Penangkapan Pangeran Diponegoro diberi beberapa restorasi, termasuk pemolesan baru.[7] Pada 1978, Yayasan Oranje Nassau memutuskan agar karya tersebut dikirim ke pemerintah Indonesia; ini dilakukan di bawah Undang-Undang Kebudayaan tahun 1969.[17][20]

Penangkapan Pangeran Diponegoro awalnya disimpan di Museum Pusat, bersama dengan artefak-artefak lainnya dari Perang Jawa, sampai awal 1980an.[17] Pada 2005, lukisan tersebut disimpan di museum Istana Negara. Dikabarkan, karya tersebut berada dalam kondisi buruk.[20] Perbaikan terhadap karya tersebut telah dilakukan,[21] dan pemolesannya telah membuat lukisan tersebut menjadi lebih kehijauan.[7]

Dalam rangka melindungi lukisan tersebut dari kerusakan beserta nilai sejarahnya, pada 2012, Goethe-Institut dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo meminta agar Penangkapan Pangeran Diponegoro direstorasi oleh konservator Susanne Erhards dari Köln Group.[21][7] Ini dimulai dengan sebuah pembersihan tak lama sebelum karya tersebut disimpan dalam Galeri Nasional Indonesia, disusul dengan sebuah analisis dari komposisi pemolesannya (membolehkannya untuk dihapus). Karya tersebut kemudian diberi garis batas di atas kanvas, kemudian diwadahi ulang.[21] Pada akhirnya, kerusakan pada lukisan tersebut diperbaiki dengan warna air, dan lapisan pemolesan baru diterapkan.[7]

Analisis

Penangkapan Pangeran Diponegoro telah dianggap menjadi contoh dari nasionalisme Asia Tenggara awal dalam seni rupa. Dalam buku buatannya tahun 1998, John Clark menyatakan bahwa lukisan tersebut mendeklarasikan "kamu melakukan ini kepada kami, namun kami tetaplah kami" kepada Belanda.[22] Krauss meluaskannya, menyatakan bahwa penempatan De Kock di bagian kiri ("perempuan", atau "kurang berkuasa") dan kepala-kepala ukuran besar dari para perwira Belanda menyiratkan mereka (kepada penonton Jawa) sebagai raksasa-raksasa impoten; Para penonton Belanda yang tak familiar dengan penganggapan kebudayaan Jawa semacam itu tak akan menyadari bahwa itu adalah sebuah "komentar pahit terhadap pemerintah kolonial Belanda".[23] Analisis tersebut didukung oleh Carey, yang menyebut penghadiahan lukisan tersebut sebagai sebuah "isyarat belakang tangan penasaran" terhadap raja Belanda. Ia menganggap pagi mengindikasikan "memori Dipanagara – kejeniusan dan keteguhannya – akan suatu hari ... menebus bangsanya dari belenggu kolonialisme.[24]

Lukisan tersebut juga dipakai sebagai bukti bahwa Saleh tak memiliki rasa nasionalisme sama sekali. Sejarawan Indonesia Harsja Bachtiar menyatakan bahwa penghadiahan lukisan tersebut kepada William III adalah bukti bahwa tak ada perjuangan, melainkan hubungan dari seorang abdi dan rajanya, atau seorang seniman dan patronnya.[25] Sejarawan seni Astri Wright memberikan pernyataan serupa, menyatakan penggambaran Saleh terhadap peristiwa akhir dari Perang Jawa disajikan sebagai sebuah peringatan untuk para pemberontak manapun di masa mendatang, dan menyatakan bahwa Saleh diminta untuk membuat lukisan tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda.[25] Protschky tampaknya mempertanyakan keberadaan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial, memandang lukisan-lukisan Saleh dari para Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dan menampilkan mereka sebagai "para penguasa tak tertandingi" di Hindia Belanda; sehingga, dengan mempersembahkan lukisan tersebut kepada raja Belanda, Saleh mengakui kekuasaan Belanda.[11]

Tanggapan

Lukisan tersebut telah dianggap menjadi salah satu adikarya Saleh.[15] Krauss menganggapnya memiliki keseimbangan dan komposisi yang bagus.[19] Carey menganggap lukisan tersebut lebih "beranimasi" ketimbang karya Pieneman, dan menganggap sinar pagi menambah "kualitas transluken" pada "pemandangan Jawa yang luar biasa".[17] Namun, sejarawan H.J. de Graaf menyayangkan penggambaran kepala yang tak semestinya dalam lukisan tersebut, dan mempermasalahkan ketidakpadanan antara galeri yang digambarkan dalam lukisan Saleh dan bagian dalam sebenarnya dari ruangan dimana penangkapan tersebut terjadi.[26]

Pada 2001, seniman asal Yogyakarta Rudi Winarso membuat sebuah parodi dari lukisan tersebut, yang menggambarkan Raden Saleh menunjukkan Penangkapan Pangeran Diponegoro kepada Diponegoro, sebagai dua orang yang dijadikan tahanan oleh Pieneman, De Kock, dan Raja William III; Winarso menyatakan bahwa lukisan tersebut dipakai untuk menyoroti sudut-sudut pandang kontras yang dipersembahkan oleh Saleh dan Pieneman dalam penggambaran mereka terhadap penangkapan Diponegoro.[27] Pada 2010, koreografer Indonesia Sardono W. Kusumo memakai sebuah reproduksi skala besar dari lukisan tersebut sebagai sebuah skrim untuk drama opera Taking a Fresh Look at Diponegoro.[1] Sebuah adaptasi panggung, yang berdasarkan peristiwa tersebut, ditampilkan di Galeri Nasional Indonesia pada Juni 2012.[28]

Penyair Taufiq Ismail, setelah melihat lukisan tersebut pada 1995, menulis sebuah puisi pendek terkait lukisan tersebut:[28]

Aku termangu melihat lukisan itu...
Kau beri adegan abad ke 19 yang begitu tegang...
seorang Pangeran, pangeran, ditangkap dengan khianat
Wahai Raden Saleh Syarif Bustaman, betapa padat dan kaya isyarat lukisan Tuan

Referensi

  1. ^ a b Taufiqurrahman 2010.
  2. ^ a b c Carey 2007, hlm. 698.
  3. ^ a b c Krauss 2005, hlm. 285.
  4. ^ Carey 1982, hlm. 25.
  5. ^ Krauss 2005, hlm. 286.
  6. ^ Carey 2007, hlm. 699.
  7. ^ a b c d e Latief 2013.
  8. ^ Carey 1982, hlm. 5.
  9. ^ a b Carey 1982, hlm. 1.
  10. ^ a b Encarta.
  11. ^ a b c d Protschky 2011, hlm. 74.
  12. ^ a b Rijksmuseum.
  13. ^ Krauss 2005, hlm. 279.
  14. ^ Krauss 2005, hlm. 284.
  15. ^ a b Krauss 2005, hlm. 282.
  16. ^ a b Krauss 2005, hlm. 290.
  17. ^ a b c d e Carey 1982, hlm. 2.
  18. ^ Carey 2007, hlm. 742.
  19. ^ a b c Krauss 2005, hlm. 276–82.
  20. ^ a b c d Krauss 2005, hlm. 260.
  21. ^ a b c Rulistia 2013.
  22. ^ dikutip dalam Krauss 2005, hlm. 260
  23. ^ Krauss 2005, hlm. 285–86.
  24. ^ Carey 2007, hlm. 698–99.
  25. ^ a b dikutip dalam Krauss 2005, hlm. 287
  26. ^ dikutip dalam Krauss 2005, hlm. 286
  27. ^ Maharani 2013.
  28. ^ a b Zakiya 2012.

Kutipan karya